Penjelasan Hadits – “Soomu li-Ru’yatihi………….”

Bahkan sebelum Nabi Muhammad SAW, orang-orang Arab sudah mengetahui praktik penggunaan kalender lunar dan Ramadhan adalah salah satu bulannya. Diketahui bahwa bulan lunar terdiri dari 29 hari atau 30 hari. Ketika Al-Qur’an Ayah (2:189) diturunkan, dikatakan, “Jika kamu menyaksikan bulan Ramadhan, berpuasalah”. Islam mewajibkan Ramadhan untuk bulan puasa, karena puasa diwajibkan bagi umat bahkan sebelumnya, agar umat Islam memperoleh ketakwaan (Taqwa) dan Al-Qur’an diturunkan pada bulan ini, sehingga dipilih untuk mencapai Tqawa dan puasa.

Kalender lunar dan Ramadhan tidak dimulai di Dien (Madhhab) kami. Mereka dikenal oleh kaum Musyrik di Makkah. Puasa bulan Ramadhan dimulai bahkan ketika amalan Nasi’ (sela atau selingan sebulan) telah berlangsung. Awal Ramadhan bukanlah masalah agama. Ibaratnya shalat khusus diwajibkan pada hari Jum’at, sedangkan hari Jum’at itu bukan urusan Dien (Madhhab). Begitu pula kalender lunar dan bulan Ramadhan di dalamnya pun sudah dikenal orang Arab. Puasa pada bulan itu diwajibkan, namun kapan Ramadhan tiba bukanlah urusan Dien; ini adalah masalah pola berulang yang diamati, sains, dan astronomi. Allah (SWT) berfirman dalam Al-Qur’an (2:185), “Jika kamu menyaksikan bulan Ramadhan, berpuasalah padanya”.

Hadits terkenal yang diawali dengan, “Ashshahru tis’un wa ishroon fa soomu li-ru’yatihi wa aftiru li-ru’yatihi fa in ghumma alaikum faqduru lah……”, artinya bulan itu 29 hari jadi jika kamu melihat bulan mulailah bulan itu. Inilah jawaban Nabi SAW atas pertanyaan para Sahabat yang bertanya, Karena pahala setiap amal di bulan Ramadhan jauh lebih besar, mengapa kita tidak menjadikan Ramadhan selalu 30 hari, agar mendapatkan pahala yang sebanyak-banyaknya. . Nabi SAW menjelaskan; N0, bulan bisa 29 hari. Maka ketika melihatnya mulailah berpuasa………”. Tidak dijadikan syarat untuk melihat hilal. Perlu diketahui juga bahwa tidak ada satupun hadits yang menyebutkan bahwa Nabi sendiri pernah berdiri untuk melihat hilal. 29. Setelah beliau tidak ada satupun hadis yang menyatakan bahwa 4 Khulafa’ pernah berdiri melihat bulan.

BACA JUGA:   Larangan Rasulullah ﷺ yang Sering Dilanggar Tanpa Disadari

Penampakan tersebut pertama kali disebutkan dalam sebuah hadits terkenal oleh Hadrat Kuraib, pada masa Hadrat Moaviah. Kebingungan itu bermula dari penafsiran Hadits, “Ashshahru tis’un wa ishroon fa soomu li-ru’yatihi wa aftiru li-ru’yatihi fa in ghumma alaikum faqduru lah……”, (tidak disengaja) oleh sebagian orang. perawi yang menghilangkan bagian pertama hadis, “Ashshahru tis’un wa ishroon” (bulan juga 29 hari), yang menyebabkan kebingungan dan penafsiran hadis yang sangat berbeda. Dalam konteks hadits ini Nabi SAW menjelaskan bahwa jangan stres untuk memiliki 30 hari Ramadhan, jika bulan terlihat pada hari ke 29, mulailah bulan tersebut. Jika bulan tidak terlihat pada hari ke-29, maka tidak ada syarat untuk melihat bulan pada hari ke-30, karena berdasarkan pengamatan dan pengalaman umum diketahui bahwa satu bulan lunar tidak boleh lebih dari 30 hari. Melihat bulan bukanlah masalah agama. Pembuatan penanggalan bukan urusan “Dien” atau bukan tanggung jawab Ulama’ sepanjang penanggalannya penanggalan lunar; melainkan tanggung jawab orang-orang yang mempunyai “Ilm” (pengetahuan) tentang benda-benda langit, pergerakan matahari, bulan dan bumi. Ini bukan masalah agama; itu adalah tanggung jawab Negara atau pemerintah, yang harus menggunakan para ahli astronomi untuk menghasilkan kalender lunar bagi masyarakat atau negara. Untuk memulai suatu bulan, segala cara yang tersedia (untuk memastikan bahwa siklus bulan telah selesai) harus digunakan. Jika ilmu pengetahuan telah memberikan cara yang lebih baik untuk memastikan bahwa bulan baru telah dimulai, maka itulah yang bisa digunakan. Sebagaimana waktu-waktu shalat yang didapat dari pengamatan pada masa Nabi, dan kita sekarang menggunakan jam tangan dan perhitungan, demikian pula kita dapat menggunakan instrumen-instrumen ilmiah dan ilmu-ilmu untuk kepastian awal suatu bulan. Penampakan bukanlah syarat yang diperlukan untuk memulai bulan. Jika secara ilmiah kita mengetahui dengan pasti bahwa telah terjadi kelahiran bulan, maka setelah itu cara atau kondisi apa pun yang dirasa memuaskan dapat digunakan.

BACA JUGA:   Marhaban Ya Ramadhan 1445 H

Yang terjadi adalah dalam riwayat tersebut terjadi kesalahan (tidak disengaja) oleh sebagian perawi dengan menghilangkan bagian pertama hadits, “Ashshahru tis’un wa ishroon (bulan 29 hari)” , yang menyebabkan penafsiran yang sangat berbeda. dari Hadits. Dalam konteks hadits ini Rasulullah SAW menjelaskan bahwa jangan memaksakan diri untuk menjalani 30 hari Ramadhan, jika bulan terlihat pada hari ke 29, mulailah bulan berikutnya. Jika bulan tidak terlihat pada hari ke 29, dan pada hari ke 30 tidak terlihat karena awan, maka mulailah bulan tersebut meskipun bulan tidak terlihat. Artinya melihat bulan bukanlah syarat yang diperlukan; Taksiran atau perhitungan 30 hari adalah syarat lain yang dapat mengawali bulan, karena dari pengamatan dan pengalaman umum diketahui bahwa satu bulan lunar tidak boleh lebih dari 30 hari.

Hadits tidak berarti bahwa penampakan itu wajib untuk memulai bulan. Melihat bulan bukanlah suatu keharusan dan bukan pula merupakan masalah agama. Pembuatan penanggalan bukan urusan “Dien” atau bukan tanggung jawab Ulama’ sepanjang penanggalannya penanggalan lunar; melainkan tanggung jawab orang-orang yang mempunyai “Ilm” (pengetahuan) tentang benda-benda langit, pergerakan matahari, bulan dan bumi. Ini bukan masalah agama; itu adalah tanggung jawab Negara atau pemerintah, yang harus menggunakan para ahli astronomi untuk menghasilkan kalender lunar bagi masyarakat atau negara.

Sumber: https://moonsighting.com/soomu-hadith.html

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *