Hukum Islam Terkait Kesenian Menurut MTT Muhammadiyah

Di tengah kompleksitas pandangan ini, musik tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Berbagai aliran musik telah menjadi kebutuhan dasar bagi manusia, sekaligus sebagai ekspresi dari rasa keindahan yang melekat pada diri manusia. Pemenuhan terhadap rasa keindahan ini pun merupakan suatu kebutuhan yang tak dapat diabaikan.
Dalam konteks ini, musik bukan hanya menjadi hiburan semata, tetapi juga menjadi jendela yang menghadirkan keindahan dan mendalamnya perasaan manusia. Sebagai bagian integral dari kehidupan, musik terus memperkaya pengalaman manusia dan menyatukan mereka dalam ekspresi yang universal dan mendalam.
Kebutuhan akan musik memang bersifat komplementer, yang pemenuhannya mampu menghiasi hidup manusia yang sudah normal menjadi lebih indah dan lebih mewah. Ini sejalan dengan konsep maslahah tahsiniyah, yaitu kebutuhan yang tidak vital namun berperan dalam meningkatkan kualitas hidup tanpa membahayakan atau menyebabkan kesulitan.

Putusan MTT Muhammadiyah
Berkait dengan Tuntunan Seni Budaya Islam telah dimuat dalam buku Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah Jilid 3 Cetakan 1, Mei 2018, Buku Bagian Kedua, Keputusan Kedua mulai halaman 127 sampai dengan halaman 185 tentang TUNTUNAN SENI BUDAYA ISLAM, ada 10 bab di dalamnya.

Bagian khusus tentang hukum Islam terkait kesenian dibahas pada halaman 159, BAB VI HUKUM ISLAM KESENIAN.

Dalam memahami dan memahamkan hukum Islam tentang kesenian dipergunakan manhaj tarjih yang telah diputuskan dalam Munas Tarjih ke-25 pada muktamar Muhammadiyah ke-44 di Jakarta tahun 2000, melalui pendekatan “Bayani, Burhani dan Irfani“, sebagai elemen metode atau manhaj yang sangat penting untuk dapat melakukan pembacaan terhadap seni budaya secara menyeluruh.

Terkait dengan hukum beberapa bentuk seni dapat dibaca penjelasannya sebagai berikut:

1. Seni patung, seni lukis, dan seni relief

Di dalam al-Quran tidak terdapat larangan tegas membuat patung, lukisan dan relief. Dalam catatan sejarah dalam al-Quran yang menyatakan bahwa di istana Nabi Sulaiman yang megah terdapat patung-patung. Dalam QS Saba (34) ayat 12-13 Allah berfirman:

وَالسُلَيْمَانَ الرِّيحَ عُدُوهَا شَهْرٌ وَرَوَاحُهَا شَهْرُ وَأَسَلْنَا لَهُ عَيْنَ الْقِطْرِ وَمِنَ الْجِنِ من يَعْمَلُ بَيْنَ يَدَيْهِ بِإِذْنِ رَبِّهِ وَمَنْ يَزغ ملهُمْ عَنْ أَمْرِنَا نُذِقْهُ مِنْ عَذَابِ السَّعِيرِ يعْمَلُونَ لَهُ مَا يَشَاءُ مِنْ مَحَارِيبَ وَتَمَائِيلَ وَجِفَانٍ كَالْجَوَابِ وَقُدُورٍ رَاسِيَاتٍ عمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِي الشَّكُورُ . .

Dan kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman, yang perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya di waktu sore sama dengan perjalanan sebulan (pula) dan kami alirkan cairan tembaga baginya. Dan sebahagian dari jin ada yang bekerja di hadapannya (di bawah kekuasaannya) dengan izin Tuhannya Dan siapa yang menyimpang di antara mereka dari perintah kami, kami rasakan kepadanya azab neraka yang apinya menyala-nyala (12) Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku).  Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah), dan sedikit sekali dari hamba-hambaku yang berterima kasih (13) (QS Saba’ (34) ayat 12-13]

Hadis Nabi saw riwayat Muslim menyatakan, “Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan. Memang ada beberapa hadis yang keras melarang membuat patung dan melukis. Dalam memahami hadis-hadis ini menggunakan Manhaj Tarjih bukan hanya bayani, tetapi juga burhani (konteks) dan irfani (filosofis). Atas dasar pemahaman ayat dan hadis serta Manhaj Tarjih tersebut, maka seni patung relief dan lukis adalah mubah boleh, dan kalau dipergunakan untuk dakwah atau meneguhkan Tauhid (seperti dilakukan oleh Nabi Ibrahim) menjadi sunnah bahkan dapat menjadi wajib (paling tidak wajib kifayah).

BACA JUGA:   KOMPILASI FATWA MAJELIS TARJIH DAN TAJDID PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH SEPUTAR PUASA DAN IBADAH RAMADHAN

2. Seni suara dan seni pertunjukan/tari

Ditinjau dari segi asas umum ajaran agama, tarı, nyanyi dan musik termasuk kategori muamalah duniawiyah yang asasnya adalah segala sesuatu itu pada dasarnya boleh sampai ada dalil yang melarang:

الأصل في الأشياء الإتاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيلُ عَلَى التَّحْرِيمِ

Atas dasar itu, maka menari, menyanyi dan memainkan musik pada dasarnya mubah. Larangan timbul karena suatu hal yang lain, misalnya dilakukan dengan cara dan tujuan yang tidak dibenarkan agama.

3. Seni bahasa/sastra, baik prosa maupun puisi

Hal ini dicontohkan sendiri oleh al-Quran, sebagai suatu bentuk karya seni Allah yang belum ada tandingannya. Oleh karena itu seni bahasa sangat dianjurkan dalam Islam sebagaimana ditegaskan dalam “Pedoman Hidup Islami bagı Warga Muhammadiyah” hasil Muktamar Muhammadiyah ke-44 di Jakarta, “Menghidupkan sastra Islam sebagai bagian dari strategi membangun peradaban dan kebudayaan manusia.”.


Nukilan dari buku: Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, halaman 22.

KEHIDUPAN DALAM SENI DAN BUDAYA

  1. Islam adalah agama ftrah, yaitu agama yang berisi ajaran yang tidak bertentangan dengan fitrah manusia (Q.S. Ar-Rum/30: 30), Islam bahkan menyalurkan, mengatur, dan mengarahkan fitrah manusia itu untuk kemuliaan dan kehormatan manusia sebagai makhluq Allah.
  2. Rasa seni sebagai penjelmaan rasa keindahan dalam diri manusia merupakan salah satu fitrah yang dianugerahkan Allah SWT yang harus dipelihara dan disalurkan dengan baik dan benar sesuai dengan jiwa ajaran Islam.
  3. Berdasarkan keputusan Munas Tarjih ke-22 tahun 1995 bahwa karya seni hukumnya mubah (boleh) selama tidak mengarah atau mengakibatkan fasad(kerusakan), dlarar (bahaya), isyyan (kedurhakaan), dan ba’id `anillah (terjauhkan dari Allah); maka pengembangan kehidupan seni dan budaya di kalangan Muhammadiyah harus sejalan dengan etika atau norma-norma Islam sebagaimana dituntunkan Tarjih tersebut.
  4. Seni rupa yang objeknya makhluq bemyawa seperti patung hukumnya mubah bila untuk kepentingan sarana pengajaran, ilmu pengetahuan, dan sejarah; serta menjadi haram bila mengandung unsur yang membawa `isyyan (kedurhakaan) dan kemusyrikan.
  5. Seni suara baik seni vokal maupun instrumental, seni sastra, dan seni pertunjukan pada dasarnya mubah (boleh) serta menjadi terlarang manakala seni dan ekspresinya baik dalam wujud penandaan tekstual maupun visual tersebut menjurus pada pelanggaran norma-norma agama.
  6. Setiap warga Muhammadiyah baik dalam menciptakan maupun menikmati seni dan budaya selain dapat menumbuhkan perasaan halus dan keindahan juga menjadikan seni dan budaya sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah dan sebagai media atau sarana da’wah untuk membangun kehidupan yang berkeadaban.
  7. Menghidupkan sastra Islam sebagai bagian dari strategi membangun peradaban dan kebudayaan muslim.
Seni suara sebagai salah satu bentuk ekspresi indah manusia tidak secara inheren bertentangan dengan ajaran agama. Namun, penting untuk memperhatikan konteks dan penyajian seni tersebut. Dalam hal musik, khususnya penggunaan alat-alat bunyian, hukumnya bergantung pada illatnya atau alasan di balik penggunaannya. Terdapat tiga klasifikasi:
  1. Apabila musik memberikan dorongan kepada keutamaan dan kebaikan, maka hukumnya disunahkan;
  2. Apabila musik hanya bersifat main-main atau hiburan semata tanpa dampak yang signifikan, maka hukumnya biasanya dimakruhkan. Namun, jika musik tersebut mengandung unsur negatif, maka hukumnya menjadi haram;
  3. Apabila musik mendorong kepada perbuatan maksiat atau kemaksiatan, maka hukumnya jelas haram.
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya musik itu diperbolehkan secara kondisional, yang juga berarti bahwa pelarangan terhadapnya juga bersifat kondisional. Artinya, konteks, penyajian, dan dampak musik tersebut menjadi faktor penentu dalam menilai kebolehannya atau keharamannya.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Tanya Jawab Agama jilid V, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2013.
===

Pertanyaan:

  1. Sejauh mana pandangan Islam tentang Seni Budaya (musik, tari, dan MTQ yang selalu diperlombakan itu)?
  2. Apakah suara wanita termasuk aurat, halalkah atau haramkah mendengar nyanyian serta apakah hukumnya bagi kita yang menyaksikannya?
BACA JUGA:   Kualitas Hadis Shalat Tarawih 8 Rakaat

 

Jawaban:

1.) Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa yang dikatakan kebudayaan itu adalah hasil cipta budi dan daya ummat manusia sendiri. Masyarakat tumbuh oleh kebudayaan, tak mungkin ada kebudayaan tanpa masyarakat dan tiap masyarakat melahirkan kebudayaannya sendiri. Sedangkan kesenian itu, baik musik, tari, lukis, dan sebagainya ialah penjelmaan rasa keindahan umumnya, rasa keharuan khususnya, untuk kesejahteraan hidup. Rasa itu disusun dan dinyatakan oleh pikiran, sehingga ia menjadi bentuk-bentuk yang dapat disalurkan dan dimiliki.

Keindahan dalam segala hal, dan bagi kehidupan ummat manusia dituntut oleh agama Islam untuk mencintai keindahan itu, dan itu telah menjadi fithrah manusia. Rasulullah saw bersabda:

أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ: اْلمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ وَ اْلمَسْكَنُ اْلوَاسِعُ وَ اْلجَارُ الصَّالِحُ وَ اْلمَرْكَبُ اْلهَنِيءُ
[رواه ابن حبان في صحيحه]

Artinya: “Empat perkara termasuk dalam kategori kebahagiaan: wanita yang shalihah, rumah yang luas/lapang, tetangga yang baik, dan kendaraan yang menyenangkan.” [HR. Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya]

Di dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya, Rasulullah saw bersabda:

[إِنَّ اللهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ . [رواه مسلم

Artinya: “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah, ia menyukai keindahan.” [HR. Muslim]

Di dalam hadits yang lain lagi yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Iman Abu Dawud, Nabi saw bersabda:

[زَيِّنُوا اْلقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ. [رواه البخاري وأبو داود

Artinya: “Hiasilah al-Qur’an itu dengan suaramu. Bukanlah ia golongan kami, siapa-siapa yang tidak melagukan (bacaan) al-Qur’an.” [HR. al-Bukhari dan Abu Dawud]
Di dalam kitab Fathul-BariSyarah Shahih al-Bukhari, disebutkan:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ تُغَنِّيَانِ بِغِنَاءِ بُعَاثَ فَاضْطَجَعَ عَلَى الْفِرَاشِ وَحَوَّلَ وَجْهَهُ وَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ فَانْتَهَرَنِي وَقَالَ مِزْمَارَةُ الشَّيْطَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللهِ عَلَيْهِ السَّلاَم فَقَالَ دَعْهُمَا فَلَمَّا غَفَلَ غَمَزْتُهُمَا فَخَرَجَتَا
[رواه البخاري]

Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah ra, beliau menjelaskan, telah masuk kepadaku Rasulullah saw sementara bersama saya terdapat dua orang gadis sedang bernyanyi dengan Bu’ats, lalu Rasulullah saw berbaring di atas tikar sambil memalingkan mukanya. Dan masuklah Abu Bakar, lalu ia membentak aku sambil berkata: “Serunai syaithan di sisi Nabi saw?” Lalu Rasulullah menghadapkan mukanya kepada Abu Bakar, sambil berkata: “ Biarkanlah mereka bernyanyi (hai Abu Bakar)”. Dan manakala Rasulullah saw tidak ada perhatiannya lagi, keduanya saya singgung (sentuh), lalu mereka keluar.” [HR. al-Bukhari]

Di dalam riwayat yang lain disebutkan dengan redaksi:

تُغَنِّيَانِ بِدُفَّيْنِ

Artinya: “Kedua gadis itu bernyanyi dengan memukul rebana.”

Dengan memperhatikan dalil-dalil tersebut di atas, maka seni budaya (yang baik), baik berupa musik atau tari-tarian yang sopan yang tidak mengundang atau membangkitkan nafsu syahwat, dibolehkan dalam Islam. Apalagi musabaqah tilawah al-Qur’an, lebih-lebih lagi diperbolehkan, apalagi kalau hal itu dipakai sebagai sarana untuk mendakwahkan agama Islam.

2.) Sebelum menjawab pertanyaan saudara yang kedua, di bawah ini kami sebutkan hadits berikut ini:

عَنِ عَائِشَةَ قَالَتْ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا عَلَى بَابِ حُجْرَتِي وَالْحَبَشَةُ يَلْعَبُونَ فِي الْمَسْجِدِ وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتُرُنِي بِرِدَائِهِ أَنْظُرُ إِلَى لَعِبِهِمْ. [رواه البخاري] وَ فِي رِوَايَةٍ وَكَانَ يَوْمَ عِيدٍ يَلْعَبُ السُّودَانُ بِالدَّرَقِ وَالْحِرَابِ فَإِمَّا سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِمَّا قَالَ تَشْتَهِينَ تَنْظُرِينَ فَقُلْتُ نَعَمْ فَأَقَامَنِي وَرَاءَهُ خَدِّي عَلَى خَدِّهِ وَهُوَ يَقُولُ دُونَكُمْ يَا بَنِي أَرْفِدَةَ حَتَّى إِذَا مَلِلْتُ قَالَ حَسْبُكِ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ فَاذْهَبِي

Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah, beliau berkata: Sebenarnya saya pernah melihat Rasulullah saw pada suatu hari (berdiri) di pintu kamarku, sementara orang-orang Habsyi sedang melakukan pertunjukan di masjid. Rasulullah menutupi saya dengan selendangnya sambil memperhatikan (menonton) permainan mereka.” [HR. al-Bukhari] Dalam suatu riwayat lain: “Adalah hari itu Hari Raya, dimana orang-orang hitam (Habsyi) itu sedang bermain-main dengan perisai dan tombak. Adakala saya bertanya (sesuatu) kepada Rasulullah SAW dan adakala beliau bertanya: “Anda suka melihatnya”. “Ya,” jawab aku. Lalu beliau menegakkan saya dibelakangnya, pipi saya bersentuh dengan pipi beliau sambil beliau bersabda: “Teruskan hai anak Arfadah, sehingga bila saya telah bosan.” Rasulullah bersabda: “Cukup?” “Ya,” jawab aku. “Pergilah,” sabda beliau.”

Dalam hadits lain lagi disebutkan:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا زَفَّتِ امْرَأَةً إِلَى رَجُلٍ مِنَ اْلأَنْصَارِ فَقَالَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَائِشَةُ مَا كَانَ مَعَكُمْ لَهْوٌ فَإِنَّ اْلأَنْصَارَ يُعْجِبُهُمُ اللَّهْوُ
[رواه البخاري و أحمد]

Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah bahwa beliau mempertandingkan seorang wanita dengan seorang laki-laki dari kaum Anshar, lalu berkata Nabi saw: “Hai Aisyah, apakah ada padamu permainan, karena kaum Anshar amat suka kepada permainan.”

Dalam kaitan hadits tersebut di atas, diriwayatkan oleh as-Sarraj dari Hasyal bahwa Nabi saw pernah bersabda:

لِتَعْلَمَ اْليَهُوْدُ أَنَّ فِي دِيْنِنَا فُسْحَةً إِنِّي بُعِثْتُ بِحَنَفِيَّةٍ

Artinya: “Supaya orang-orang Yahudi mengetahui bahwa agama kita (Islam) adalah lapang, sungguh aku diutus untuk membawa agama yang lapang (mudah) bagi manusia.”

Dari kedua hadits tersebut di atas, maka jelas kepada kita bahwa suara perempuan itu bukan aurat, dan kita boleh mendengar nyanyian yang dinyanyikan oleh orang perempuan (biduwanita), asal penampilannya sopan, menutup aurat, tidak mempertontonkan bodinya dengan pakaian yang seronok, serta nyanyian yang dinyanyikannya tidak bersifat porno dan mengumbar hawa nafsu birahi.

BACA JUGA:   Rasionalisasi Penentuan Awal Bulan Qomariyah Tahun 2025 Sesuai Kriteria KHGT

Dalam kaitan itu, maka tidak dapat disalahkan kalau ada ulama yang mengharamkan nyanyian, tarian, musik, dan semisalnya, karena disebabkan oleh fakta-fakta dari luar (‘aridly) yang bertentangan dengan jiwa agama, bukanlah haram zatnya, yaitu musik, lagu, dan tari itu sendiri. Bahkan akhir-akhir ini tayangan-tayangan lewat media elektronik banyak yang bersifat merusak, destruktif. Misalnya penayangan film-film kartun (walaupun itu boneka), karena ditayangkan tepat pada waktu maghrib, sehingga melalaikan anak-anak dari melakukan shalat.

Sebagai penutup uraian untuk saudara, barangkali ada baiknya kami sebutkan di sini apa yang ditulis Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin Juz 2 halaman 284 yang maksudnya kurang lebih sebagai berikut: “Bahwa permainan itu gunanya untuk menyenangkan hati, meringankan beban-beban berat yang terpendam dalam pikiran manusia. Hati (akal) itu apabila terus menerus dipaksakan untuk berpikir, ia akan menjadi buta. Membuat kesenangan kepada hati/pikiran serta jiwa sebenarnya satu pertolongan baginya untuk dapat bergiat kembali”.

Tidaklah berlebihan, hiburan-hiburan itu adalah obat hati terhadap penyakit letih, lesu, bosan, dan jemu, maka seharusnyalah hiburan berupa nyanyian, musik, tarian, itu menjadi mubah hukumnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *