Para ulama dari berbagai generasi dan aliran pemikiran memiliki perspektif yang berbeda mengenai hukum musik. Ada yang menganggapnya haram, ada yang menganggapnya makruh, dan ada pula yang menganggapnya mubah. Pertanyaannya kemudian, bagaimana sebenarnya hukum musik menurut ilmu fiqih?
Pendapat Syaikh Ali Jumah
Syekh Ali Jumah, seorang ahli fatwa dari Mesir, menjelaskan posisi musik dalam Islam. Musik dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari jiwa manusia, dijadikan sebagai sarana untuk menikmati keindahan irama. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika keberadaan musik menjadi ikon dalam berbagai acara.
Menurut pandangan Syekh Ali Jumah, musik adalah setiap irama yang dihasilkan dari alat musik. Perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum musik disebabkan oleh ketiadaan ketentuan yang jelas dalam Al-Qur’an, hadits, atau konsensus ulama. Dengan demikian, penjelasan dari Syekh Ali Jumah memberikan pemahaman tentang hukum musik serta alasan di balik keharaman atau kebolehannya.
وَمَسْأَلَةُ الْمُوْسِيْقِى مَسْأَلَةٌ خِلَافِيَةٌ فِقْهِيَّةٌ، لَيْسَتْ مِنْ أُصُوْلِ الْعَقِيْدَةِ، وَلَيْسَتْ مِنَ الْمَعْلُوْمِ مِنَ الدِّيْنِ بِالضَّرُوْرَةِ، وَلَا يَنْبَغِي لِلْمُسْلِمِيْنَ أَنْ يُفَسِّقَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا، وَلَا يُنَكِّرُ بِسَبَبِ تِلْكَ الْمَسَائِلِ الْخِلَافِيَّةِ
Artinya, “Persoalan tentang musik merupakan persoalan khilafiyah (berbeda pendapat) dalam ranah fiqih, bukan termasuk ranah pokok akidah, bukan pula bagian dari suatu agama yang setiap muslim tahun tentangnya, sehingga tidak sepantasnya bagi kaum muslimin untuk menuduh fasik sebagian dari mereka pada sebagian yang lain, tidak pula mengingkari mereka disebabkan persoalan yang masih berselisih (hukumnya),” (Syekh Ali Jumah, al-Bayan li Ma Yusyghilu al-Azhan fi Fatawa Syafiyah wa Qadhaya ‘Ajilah, [Darul Ma’arif: cetakan pertama], juz I, halaman 365).
Selanjutnya, menurut ulama yang lahir di Beni Seuf, Mesir, penyebab perbedaan pendapat di antara para ulama fiqih adalah karena tidak adanya ketentuan khusus dari Al-Qur’an, hadits, atau konsensus ulama yang secara tegas mengharamkannya. Tidak hanya itu, ulama tersebut juga berpendapat bahwa umat Islam seharusnya tidak terlalu terlibat dalam perdebatan hukum yang masih menjadi perselisihan di kalangan ulama, dan setiap individu memiliki hak untuk memilih salah satu pendapat yang ada, baik yang dianggap halal maupun haram. Oleh karena itu, tidak patut untuk terlalu mempermasalahkannya agar tidak menimbulkan perpecahan di antara umat Islam.
Syekh Ali Jumah mengutip pendapat Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (wafat 505 H) yang mengklasifikasikan musik sebagai bagian dari al-lahwu (permainan-kesenangan). Karenanya, tidak jarang banyak orang yang menggunakan musik sebagai cara untuk meredakan kelelahan, sehingga seharusnya diperbolehkan selama tidak melibatkan alat-alat yang secara tegas diharamkan, seperti gitar dan seruling.
فَاللَّهْوُ دَوَاءُ الْقَلْبِ مِنْ دَاءِ الْإِعْيَاءِ وَالْمِلَالِ، فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُوْنَ مُبَاحًا وَلَكِنْ لَا يَنْبَغِي أَنْ يَسْتَكْثِرَ مِنْهُ كَمَا لَا يَسْتَكْثِرُ مِنَ الدَّوَاءِ
Artinya, “al-Lahwu (kesenangan-musik) merupakan obat hati dari rasa lelah dan bosan, maka sudah seharusnya untuk diperbolehkan. Hanya saja, lebih baik untuk tidak memperbanyak dengannya, sebagaimana tidak berlebihan dalam mengonsumsi obat,” (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz II, halaman 287).
Sementara itu, ada juga ulama yang menegaskan bahwa tempat-tempat nyanyian yang di dalamnya disertai dengan alat-alat musik, hukumnya haram. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Dr Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili, ia mengatakan:
وَتَكُوْنُ مَجَالِسُ الْغِنَاءِ الْمَقْرُوْنَةِ بِالْآلَاتِ الْمُوْسِيْقِيَّةِ حَرَاماً
Artinya, “Tempat-tempat nyanyian yang di dalamnya bersamaan dengan alat-alat musik hukumnya haram,” (Syekh Wahbah Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa Adillatih, [Damaskus, Darul Fikr: tt], juz IV, halaman 215).
Dari pernyataan tersebut, Syaikh Ali Jumah mengartikulasikan bahwa musik dalam Islam merupakan area yang masih terdapat perbedaan pendapat di antara ulama, sehingga tidak seharusnya menjadi sumber konflik atau penghakiman moral antar umat Muslim. Persoalan ini terletak pada bidang fikih dan bukan merupakan inti dari ajaran agama yang fundamental sehingga setiap muslim diharapkan memahaminya. Hal ini menekankan pentingnya toleransi dan penghindaran dari tindakan saling menuduh atau mengkafirkan sesama Muslim karena perbedaan pendapat dalam masalah fikih seperti musik.
Pendapat Imam Ghazali
Perihal lagu, musik, nyanyian, dan bunyi-bunyian ini menjadi perbincangan hangat di kalangan ulama. Ulama berbeda pendapat perihal mendengarkan lagu, musik, nyanyian, dan bunyi-bunyian. Sebagian ulama mengharamkannya. Tetapi sebagian lagi membolehkannya. Untuk masalah ini Imam Al-Ghazali mengangkat pandangan ulama yang mengharamkannya dan ulama yang membolehkannya. Namun demikian dalam Ihya Ulumiddin Imam Al-Ghazali secara detil menanggapi dalil dan argumentasi yang dikemukakan oleh para ulama yang mengaharamkannya.
Berikut ringkasan ulasan Imam Al-Ghazali perihal masalah ini. Dalam ringkasan ulasannya, Imam Al-Ghazali cenderung memperbolehkan mendengarkan musik, lagu, dan nyanyi-nyanyian.
اعلَمْ أَنَّ قَوْلَ الْقَائِلِ السَّمَاعُ حَرَامٌ مَعَنَاهُ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُعَاقِبُ عَلَيْهِ وَهَذَا أَمْرٌ لَا يُعْرَفُ بِمُجَرَّدِ الْعَقْلِ بَلْ بِالسَّمْعِ وَمَعْرِفَةِ الشَّرْعِيَّاتِ مَحْصُورَةٌ فِي النَّصِّ أَوْ الْقِيَاسِ عَلَى الْمَنْصُوصِ وَأَعْنِي بِالنَّصِّ مَا أَظْهَرَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَوْلِهِ أَوْ فِعْلِهِ وَبِالْقِيَاسِ الْمَعْنَى الْمَفْهُومُ مِنْ أَلْفَاظِهِ وَأَفْعَالِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ نَصٌّ وَلَمْ يَسْتَقِمْ فِيهِ قِيَاسٌ عَلَى مَنْصُوصِ بَطَلَ الْقَوْلُ بِتَحْرِيمِهِ وَبَقِيَ فِعْلًا لَا حَرَجَ فِيهِ كَسَائِرِ الْمُبَاحَاتِ وَلَا يُدْلِي عَلَى تَحْرِيمِ السَّمَاعِ نَصٌّ وَلَا قِيَاسٌ وَيَتَضَحَّ ذَلِكَ فِي جَوَابِنَا عَنْ أَدْلَةِ الْمَائِلِينَ إِلَى التَّحْرِيمِ وَمَهْمَا تَمَّ الْجَوَابُ عَنْ أَدْلَتِهِمْ كَانَ ذَلِكَ مَسْلَكًا كَافِيًّا فِي إِثْبَاتِ هَذَا الْغَرَضِ لَكِنْ نَسْتَفْتِحُ وَنَقُولُ قَدْ دَلَّ النَّصُّ وَالْقِيَاسُ جَمِيعًا عَلَى إِبَاحَتِهِ أَمَّا الْقِيَاسُ فَهُوَ أَنَّ الْغِنَاءَ اجْتَمَعَتْ فِيهِ مَعَانٍ يَنْبَغِي أَنْ يَبْحَثَ عَنْ أَفْرَادِهَا ثُمَّ عَنْ مَجْمُوعِهَا فَإِنَّ فِيهِ سَمَاعَ صَوْتٍ طَيِّبٍ مُوَزَّوَّنٍ مُفْهَوَمَ الْمَعْنَى مُحَرَّكً لِلْقَلْبِ فَالْوَصْفُ الْأَعْمَى أَنَّهُ صَوْتٌ طَيِّبٌ ثُمَّ الطَّيِّبُ يَنْقَسِمُ إِلَى الْمُوَزَّوَّنِ وَغَيْرِهِ وَالْمُوَزَّوَّنُ يَنْقَسِمُ إِلَى الْمُفْهَوَمِ كَالْأَشْعَارِ وَإِلَى غَيْرِ الْمُفْهَوَمِ كَأَصْوَاتِ الْجُمُادَاتِ وَسَائِرِ الْحَيَوَانَاتِ أَمَّا سَمَاعُ الصَّوْتِ الطَّيِّبِ مِنْ حَيْثُ إِنَّهُ طَيِّبٌ فَلَا يَنْبَغِي أَنْ يُحَرَّمَ بَلْ هُوَ حَلَالٌ بِالنَّصِّ وَالْقِيَاسِ.
Artinya, “Ketahuilah, pendapat yang mengatakan, ‘Aktivitas mendengar (nyanyian, bunyi, atau musik) itu haram’ mesti dipahami bahwa Allah akan menyiksa seseorang atas aktivitas tersebut.’ Hukum seperti ini tidak bisa diketahui hanya berdasarkan aqli semata, tetapi harus berdasarkan naqli. Jalan mengetahui hukum-hukum syara‘ (agama), terbatas pada nash dan qiyas terhadap nash. Yang saya maksud dengan ‘nash’ adalah apa yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW melalui ucapan dan perbuatannya. Sementara yang saya maksud dengan ‘qiyas’ adalah pengertian secara analogis yang dipahami dari ucapan dan perbuatan Rasulullah itu sendiri.
Jika tidak ada satu pun nash dan argumentasi qiyas terhadap nash pada masalah mendengarkan nyanyian atau musik ini, maka batal pendapat yang mengaharamkannya. Artinya, mendengarkan nyanyian atau musik itu tetap sebagai aktivitas yang tidak bernilai dosa, sama halnya dengan aktivitas mubah yang lain. Sementara (pada amatan kami) tidak ada satupun nash dan argumentasi qiyas yang menunjukkan keharaman aktivitas ini. Hal ini tampak jelas pada tanggapan kami terhadap dalil-dalil yang dikemukakan oleh mereka yang cenderung mengharamkannya.
Ketika tanggapan kami terhadap dalil mereka demikian lengkap, maka itu sudah memadai sebagai metode yang tuntas dalam menetapkan tujuan ini. Hanya saja kami mulai membuka dan mengatakan bahwa nash dan argumentasi qiyas menunjukkan kemubahan aktivitas mendengarkan nyanyian atau musik.
Argumentasi qiyas menyatakan bahwa kata ‘bunyi’ itu mengandung sejumlah pengertian yang perlu dikaji baik secara terpisah maupun keseluruhan. Kata ini mengandung pengertian sebuah aktivitas mendengarkan suara yang indah, berirama, terpahami maknanya, dan menyentuh perasaan. Secara lebih umum ‘bunyi’ adalah suara yang indah. Bunyi yang indah ini terbagi atas yang berirama (terpola) dan yang tidak berirama. Bunyian yang berirama terbagi atas suara yang dipahami seperti syair-syair dan suara yang tidak terpahami seperti suara-suara tertentu.
Sedangkan mendengarkan suara yang indah ditinjau dari keindahannya tidak lantas menjadi haram. Bahkan bunyi yang dihasilkan dari gerakan benda-benda mati dan suara hewan itu halal berdasarkan nash dan argumentasi qiyas,” (Lihat Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, Mesir, Musthafa Al-Babi Al-Halabi, tahun 1358 H/1939 H, Juz 2, Halaman 268).
Berangkat dari apa yang kemukakan di atas, Imam Al-Ghazali tidak menemukan satupun nash yang secara jelas mengharamkannya. Kalau pun ada nash yang mengharamkan musik dan nyanyian, keharamannya itu bukan didasarkan pada musik dan nyanyian itu sendiri, tetapi karena dibarengi dengan kemaksiatan seperti minum-minuman keras, perzinaan, perjudian, ataupun melalaikan kewajiban.
Adapun aktivitas mendengarkan musik atau nyanyian itu sendiri, menurut Imam Al-Ghazali seperti disebutkan di atas, halal. Jadi Imam Al-Ghazali memisahkan secara jelas antara musik beserta nyanyian itu dan kemaksiatan yang diharamkan secara tegas di dalam nash maupun qiyas terhadap nash.
- Madzhab Hanafi: Secara umum, madzhab Hanafi lebih toleran terhadap musik. Musik dianggap diperbolehkan selama tidak mengandung unsur yang haram dan tidak mengalihkan perhatian dari kewajiban-kewajiban agama. Alat musik dan jenis musik yang tidak mengundang hawa nafsu atau mengarah pada perbuatan tercela dianggap boleh.
- Madzhab Maliki: Pendapat dalam madzhab Maliki cukup bervariasi, tetapi secara umum, musik yang tidak mengandung lirik yang haram atau tidak dipakai dalam konteks yang haram (seperti pesta mabuk-mabukan) dianggap diperbolehkan. Beberapa ulama Maliki memperbolehkan musik dengan syarat tidak mengganggu kewajiban agama dan aktivitas sehari-hari.
- Madzhab Syafi’i: Imam Syafi’i sendiri dikatakan melarang musik dan menyanyi yang bisa membawa kepada fitnah atau mengganggu tatanan moral. Akan tetapi, beberapa pendapat dalam madzhab ini menyatakan bahwa musik itu sendiri tidak haram kecuali jika dikaitkan dengan kegiatan yang jelas-jelas dilarang.
- Madzhab Hanbali: Madzhab Hanbali umumnya memiliki pendirian yang lebih ketat mengenai musik. Imam Ahmad bin Hanbal diketahui memiliki pandangan yang keras terhadap penggunaan alat musik, menyatakan bahwa musik bisa memalingkan hati dari mengingat Allah dan mengundang fitnah. Musik dan menyanyi dianggap haram kecuali nyanyian (nasheed) yang tidak mengandung unsur musik dan lirik yang merusak.
Simpulan Hukum
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum musik masih diperselisihkan oleh para ulama sejak masa dahulu. Lantas, bagaimana cara menggabungkan dua pendapat di atas? Berikut jawabannya.
Menurut Syekh Ali Jumah, setiap musik dan nyanyian yang mengandung unsur mengajak pada hal-hal yang diharamkan, mengandung keburukan, kejelekan, mengajak pada kemaksiatan, maka hukumnya haram. Dan, setiap nyanyian yang di dalamnya tidak ada unsur-unsur tersebut hukumnya boleh sepanjang tidak terjadi percampuran antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram:
وَلِهَذَا نَرَى جَوَازَ الْغِنَاءِ، سَوَاءٌ كَانَ مَصْحُوْبًا بِالْمُوْسِيْقِي أَوْ لَا، بِشَرْطٍ أَلَّا يَدْعُوْ اِلَى مَعْصِيَةٍ أَوْ تَتَنَافِي مَعَانِيْهِ مَعَ مَعَانِي الشَّرْعِ الشَّرِيْفِ، غَيْرِ أَنَّ اسْتِدَامَتَهُ وَالْاِكْثَارَ مِنْهُ يُخْرِجُهُ مِنْ حَدِّ الْاِبَاحَةِ اِلَى حَدِّ الْكَرَاهَةِ وَرُبَّمَا اِلَى حَدِّ الْحُرْمَةِ
Artinya, “Oleh karena itu, saya memandang bolehnya nyanyian, baik disertai musik atau tidak, dengan syarat tidak mengajak pada kemaksiatan atau di dalamnya mengandung nyanyian yang menghilangkan makna syariat yang mulia. Hanya saja, selalu menggunakan dan memperbanyaknya bisa mengeluarkannya pada batas boleh hingga masuk pada batas makruh, dan terkadang bisa sampai pada batas haram.” (Jumah: 1/368).
Demikian penjelasan perihal hukum musik perspekstif Syekh Ali Jumah. Dengan mengetahuinya, semoga tidak lagi menjadikan musik sebagai legitimasi untuk saling menyalahkan sesama, dan semakin menimbulkan kesadaran bahwa perbedaan pendapat antarlama adalah rahmat bagi semua manusia. Wallahu a‘lam.