KETENANGAN JIWA DALAM ISLAM

Kerangka Konsep

  1. Konsep Ketenangan Jiwa dalam Islam – Definisi dan dasar pemikirannya dalam ajaran Islam.
  2. Dalil dari Al-Qur’an dan Hadits – Menyertakan teks Arab berharakat beserta terjemahannya.
  3. Pendapat Para Ulama – Mengutip tafsir dan pandangan ulama terkait konsep ini.
  4. Penerapan dalam Kehidupan Sehari-hari – Cara praktis untuk mencapai ketenangan jiwa sesuai Islam.
  5. Contoh dari Nabi, Sahabat, dan Ulama Salafiyah – Kisah-kisah inspiratif dari mereka.
  6. Referensi Jurnal dan Sumber Akademik – Menyertakan link jurnal dan referensi yang relevan.

 

Ketenangan Jiwa dalam Islam

Pendahuluan: Setiap manusia mendambakan ketenteraman batin dan bebas dari kegelisahan. Dalam ajaran Islam, ketenangan jiwa dipandang sebagai anugerah yang muncul ketika hati terhubung dengan Allah. Secara literal, kata Islam sendiri berarti “damai” atau “penyerahan diri,” dan memang Islam memiliki keterkaitan erat dengan kedamaian batin melalui ketenteraman yang dirasakan saat seseorang menginternalisasi keimanan ((PDF) Inner Peace in Islam). Ketenangan ini ditandai dengan kondisi jiwa yang stabil, tidak gelisah, tidak cemas, dan tetap tenang bahkan dalam situasi genting (). Berikut ini akan diuraikan konsep ketenangan jiwa menurut Islam, dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits, pandangan ulama, cara menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, contoh teladan para nabi dan salaf, serta dukungan dari studi akademik.

Konsep Ketenangan Jiwa dalam Islam

Islam memandang ketenangan jiwa sebagai keadaan tenang dan tentramnya hati berkat kedekatan dengan Allah SWT. Al-Qur’an menggambarkan jiwa yang mencapai derajat ini sebagai “an-nafs al-muṭma’innah” (jiwa yang tenang) yang kelak dipanggil memasuki surga dengan ridha Allah (QS Al-Fajr 89:27-30). Ketenangan jiwa lahir dari keimanan yang kokoh dan penyerahan diri sepenuhnya kepada takdir Allah (tawakal), sehingga hati ridha (rela) dengan segala ketetapan-Nya. Ulama menjelaskan bahwa dalam Islam konsep ini terkait dengan sejumlah istilah spiritual, antara lain: riḍā (kerelaan hati terhadap keputusan Allah), sakīnah (ketenteraman yang Allah turunkan ke dalam hati), dan iṭmi’nān (ketenangan atau ketenteraman hati) ((PDF) Inner Peace in Islam). Ketiga konsep ini berpadu membentuk definisi kedamaian batin menurut tradisi Islam, yaitu ketenangan yang dicapai ketika hidup dan seluruh peristiwa dimaknai secara tauhid-sentris sehingga memuaskan hati dan akal ((PDF) Inner Peace in Islam). Dengan kata lain, ketenangan jiwa muncul saat seorang hamba senantiasa mengingat Allah, memahami kebesaran-Nya, serta yakin bahwa kasih sayang dan pertolongan-Nya selalu menyertai.

Dalil dari Al-Qur’an dan Hadits

Ajaran Islam tentang ketenangan jiwa bersumber dari dalil-dalil wahyu. Al-Qur’an dan hadits Nabi ﷺ banyak memberikan petunjuk mengenai cara meraih ketenteraman hati dan tanda-tanda jiwa yang tenang. Berikut beberapa dalil penting yang berhubungan dengan konsep ini:

Dalil Al-Qur’an

  • QS. Ar-Ra’d 13:28 – Allah SWT berfirman:

اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبُۗ

(Tafsir Surat Ar-Ra’d Ayat 28: Dzikir: Obat Mujarab Hati Gelisah )

Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”

(Tafsir Surat Ar-Ra’d Ayat 28: Dzikir: Obat Mujarab Hati Gelisah )

Ayat ini menegaskan bahwa dzikrullah (mengingat Allah) adalah kunci penenang hati. Hati orang beriman akan tathma’innu (menjadi tenang dan mantap) berkat zikrullah.

Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa hati orang beriman merasa tenang dan tentram setiap kali mengingat Allah, karena ia ridha Allah sebagai pelindungnya (Surah Raad ayat 28 Tafsir Ibn Kathir | Those who have believed and whose hearts).

Demikian pula tafsir Al-Jalalain menerangkan bahwa hati menjadi tenang berkat janji pahala dari Allah dan rasa tawakal kepada-Nya (Surah Raad ayat 28 Tafsir Ibn Kathir | Those who have believed and whose hearts).

Jadi, zikrullah ibarat “obat mujarab” bagi hati yang gelisah, mengusir kecemasan dan menghadirkan ketenangan (Tafsir Surat Ar-Ra’d Ayat 28: Dzikir: Obat Mujarab Hati Gelisah ) (Tafsir Surat Ar-Ra’d Ayat 28: Dzikir: Obat Mujarab Hati Gelisah ).

 

Al-Fath 48:4 – Allah SWT berfirman:

هُوَ الَّذِيٓ أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُواْ إِيمٰنًا مَّعَ إِيمٰنِهِمْۗ وَلِلّٰهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًاۙ

Asal Kata السَّكِينَةُ

  • Kata السَّكِينَةُ (as-sakīnah) berasal dari akar kata Arab س ك ن (sīn–kāf–nūn), yang secara harfiah bermakna:

diam, tenang, menetap, tinggal, menetramkan, atau menenangkan.

Kata ini memiliki konotasi ketenangan, kestabilan, kedamaian, serta ketentraman hati maupun pikiran.

Dalam kamus bahasa Arab seperti Al-Mu’jam Al-Wasith (المعجم الوسيط), arti السكينة dijelaskan sebagai:

الطُّمَأْنِيْنَةُ وَالْهُدُوْءُ وَالْوَقَارُ

  • الطُّمَأْنِيْنَةُ (aṭ-ṭuma’nīnah): ketenangan hati, ketenteraman batin
  • وَالْهُدُوْءُ (wal-hudū’u): ketenangan, ketentraman, keteduhan
  • وَالْوَقَارُ (wal-waqāru): ketenangan sikap, kewibawaan, ketentraman yang disertai keteguhan dan kemuliaan diri.

(Ketenangan, ketentraman, ketentuan hati, ketenangan jiwa).

Pendapat Para Ulama tentang Makna السَّكِينَةَ

  1. Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan:
    • السكينة (as-sakīnah) bermakna ketenangan hati, keteguhan, ketentraman jiwa, serta keadaan batin yang tenang akibat keyakinan kuat kepada Allah dan janji-Nya.
  2. Imam Al-Qurthubi menyatakan:
    • السكينة adalah rahmat khusus dari Allah yang diturunkan ke dalam hati seorang mukmin, membuat hati tenteram, tidak cemas, tidak panik, dan yakin terhadap pertolongan Allah.
  3. Imam Al-Ghazali:
    • Al-Ghazali menyebut السكينة sebagai kondisi jiwa yang tenang akibat hubungan yang erat dengan Allah dan ridha kepada-Nya dalam segala kondisi kehidupan. Ketenangan jiwa muncul karena ketundukan total kepada kehendak Allah.

Arti:

“Dialah yang telah menurunkan ketenangan (sakinah) ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

“Dialah yang telah menurunkan ketenangan (sakīnah) ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan yang telah ada…”

Ayat ini menunjukkan bahwa ketenangan jiwa adalah karunia dari Allah. Sakīnah berarti ketenteraman atau ketenangan luar biasa yang Allah turunkan, misalnya ketika kaum mukmin menghadapi situasi genting (seperti saat Perjanjian Hudaibiyah atau di medan perang). Dengan sakīnah, hati orang beriman menjadi teguh, tidak goyah oleh tekanan eksternal. Ini sejalan dengan pengalaman para nabi dan sahabat yang merasakan ketenangan ilahi di tengah ujian berat.

Tafsir Singkat:

Ayat ini mengungkapkan bahwa ketenangan jiwa (sakinah) merupakan karunia dari Allah yang diturunkan kepada orang-orang beriman, khususnya saat mereka menghadapi ujian dan tantangan, agar keimanan mereka semakin kuat, kokoh, dan teguh. Ini menegaskan bahwa ketenangan hati merupakan anugerah ilahiah yang erat kaitannya dengan iman kepada Allah.

  1. Al-Fajr 89:27-30 – Allah SWT berfirman tentang jiwa yang tenang di akhir hayat:

يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ۙ ﴿٢٧﴾
ارْجِعِيْٓ إِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً ۙ ﴿٢٨﴾
فَادْخُلِي فِي عِبَادِي ۙ ﴿٢٩﴾
وَادْخُلِي جَنَّتِي ࣖ ﴿٣٠﴾

“Wahai jiwa yang tenang (nafs al-muṭma’innah).
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya.
Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku.
Dan masuklah ke dalam surga-Ku.”

Hai jiwa yang tenang (muṭma’innah)! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku.

Ayat ini menggambarkan puncak pencapaian ketenangan jiwa seorang mukmin. Jiwa yang di dunia senantiasa tenang, sabar, dan ridha kepada Allah akan dipanggil dengan penuh kemuliaan pada hari kiamat.

Para ulama tafsir menyebut bahwa an-nafsul muṭma’innah adalah jiwa orang beriman yang ikhlas, teguh dalam ketaatan, dan selalu merasa tentram dengan mengingat Allah () (). Ayat ini memotivasi kita untuk mengejar ketenangan jiwa agar meraih kebahagiaan abadi kelak.

Penjelasan Singkat:

Ayat ini menggambarkan kondisi tertinggi dari ketenangan jiwa (nafsul muṭma’innah), yaitu jiwa yang mencapai ketenangan sejati berkat kedekatan kepada Allah SWT, selalu ridha atas takdir-Nya, dan diridhai Allah. Menurut ulama seperti Ibnu Katsir dan Imam Al-Qurthubi, jiwa yang tenang ini adalah jiwa seorang mukmin yang penuh keikhlasan, selalu ridha terhadap segala keputusan Allah, dan senantiasa mengingat-Nya di segala keadaan. Pahala dari ketenangan hati seperti ini adalah panggilan istimewa Allah untuk masuk ke dalam surga-Nya.

Selain ayat-ayat di atas, banyak ayat lain terkait ketenangan batin. Misalnya, QS. At-Taubah 9:40 mengisahkan Rasulullah ﷺ di gua Tsur menenangkan Abu Bakar yang cemas dengan berkata: “Lā taḥzan innallāha ma’ana” (“Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita”). Ucapan ini menunjukkan tawakal dan keyakinan bahwa kehadiran Allah adalah sumber ketenangan terbaik.

إِلَّا تَنْصُرُوْهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِيْنَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِۦ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا ۖ فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُۥ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُۥ بِجُنُودٍ لَمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُوا السُّفْلَىٰ ۗ وَكَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

BACA JUGA:   PENGAJIAN TARHIB RAMADHAN 1445 H RS ROEMANI MUHAMMADIYAH KOTA SEMARANG

Terjemahan:

“Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad), sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir mengusirnya, sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada di dalam gua. Ketika itu dia berkata kepada sahabatnya, ‘Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.’ Maka Allah menurunkan ketenangan kepadanya (Muhammad), dan membantu dengan bala tentara (malaikat) yang tidak kamu lihat. Dan Dia menjadikan seruan orang-orang kafir itu rendah. Sedangkan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”

Penjelasan Singkat:

Ayat ini merujuk peristiwa hijrah Nabi Muhammad ﷺ bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq RA ke Madinah saat bersembunyi di Gua Tsur. Ketika Abu Bakar merasa cemas melihat musuh sangat dekat dengan mereka, Nabi ﷺ menenangkan dengan kalimat penuh keyakinan:

لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا

“Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.”

Kalimat ini menunjukkan sikap tawakal Nabi ﷺ yang sangat kuat, hingga ketenangan (sakinah) turun ke dalam hati mereka sebagai pertolongan langsung dari Allah, menghilangkan rasa takut dan kecemasan. Sikap ini menjadi teladan sempurna tentang bagaimana seorang mukmin hendaknya bersikap ketika menghadapi kesulitan dan tekanan hidup: tetap tenang, tawakal, dan percaya bahwa Allah selalu hadir dengan pertolongan-Nya.

Al-Qur’an juga mengingatkan kebalikan konsep ini dalam QS. Ṭāhā 20:124, bahwa barangsiapa berpaling dari mengingat Allah, maka ia akan menjalani kehidupan yang sempit (penuh kesempitan batin). Dengan demikian, ingat Allah = hati tenang, lupa Allah = hati sempit – formula spiritual yang jelas dalam Islam.

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَّنَحْشُرُهُۥ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمٰى

“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku (Al-Qur’an), maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit (sulit), dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Ṭāhā 20:124)

Penjelasan Singkat:

Ayat ini menegaskan bahwa kehidupan yang jauh dari zikir kepada Allah, jauh dari nilai-nilai Al-Qur’an, menyebabkan manusia mengalami kesempitan batin. Kehidupan yang sempit yang dimaksud adalah kehidupan yang penuh kegelisahan, kecemasan, dan tidak adanya ketenangan jiwa. Sebaliknya, jiwa yang senantiasa mengingat Allah, taat, dan tunduk kepada-Nya akan memperoleh ketenangan hidup dan kedamaian hati. Ayat ini merupakan peringatan bahwa ketenangan sejati tidak akan ditemukan di luar agama dan ketaatan kepada Allah.

Dalil Hadits

  • Ketenteraman dengan Dzikir dan Ilmu: Rasulullah ﷺ bersabda:

“Mā ijtama‘a qaumun fī baitin min buyụtillāhi yatlụna kitāballāhi wa yatadārasụnahu baynahum illā nazalat ‘alaihim as-sakīnah wa ghasyiyat hum ar-raḥmah wa ḥaffat-humul-malā`ikah wa żakarahumullāhu fīman ‘indahُ” (HR. Muslim)

( Riyad as-Salihin 1023 – The Book of Virtues – كتاب الفضائل – Sunnah.com – Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم) ).

Artinya: “Tidaklah sekelompok orang berkumpul di salah satu rumah Allah, mereka membaca Kitabullah (Al-Qur’an) dan mempelajarinya bersama-sama, melainkan ketenangan (sakīnah) akan turun kepada mereka, rahmat meliputi mereka, para malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di hadapan (malaikat) yang ada di sisi-Nya.” Hadits sahih ini menunjukkan dzikir dan tadabbur Al-Qur’an secara berjamaah mengundang turunnya sakīnah, yakni ketenangan ilahi yang menentramkan hati ( Riyad as-Salihin 1023 – The Book of Virtues – كتاب الفضائل – Sunnah.com – Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم) ) ( Riyad as-Salihin 1023 – The Book of Virtues – كتاب الفضائل – Sunnah.com – Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم) ). Ini sejalan dengan QS. Ar-Ra’d 13:28 di atas – ketika hati diisi dengan mengingat Allah dan ilmu yang bermanfaat, kegelisahan pun sirna digantikan kedamaian.

  • Kaya Hati (Qana’ah) Sumber Ketenangan: Nabi Muhammad ﷺ juga menekankan bahwa ketenangan jiwa erat kaitannya dengan sikap qana’ah (puas dan cukup dengan karunia Allah). Beliau bersabda:

“Laisa al-ghiná ‘an kaṡratil ‘araḍ, walākinna al-ghiná ghinal-nafs.” “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan (yang sebenarnya) adalah kekayaan jiwa.” (HR. Bukhari dan Muslim) ([Daily Hadeeth Blog — #Hadith

Abu Hurairah (May Allah be pleased with…]

(https://dailyhadeeth.tumblr.com/post/173032682786/hadith-abu-hurairah-may-allah-be-pleased-with#:~:text=%D8%B9%D9%86%20%D8%A3%D8%A8%D9%8A%20%D9%87%D8%B1%D9%8A%D8%B1%D8%A9%20%D8%B1%D8%B6%D9%8A%20%D8%A7%D9%84%D9%84%D9%87,%E2%80%8F)).

Hadits ini (diriwayatkan dari Abu Hurairah ra.) mengajarkan bahwa kekayaan sejati adalah hati yang merasa cukup (rich in contentment), bukan berlimpahnya materi. Orang yang hatinya qana’ah akan selalu tenang, tidak diperbudak oleh keinginan duniawi yang tiada habisnya. Sebaliknya, tamak dan tidak pernah puas akan menghilangkan ketenteraman jiwa meski harta berlimpah (ما المقصود بحديث (لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ)؟ – الإسلام سؤال وجواب). Jadi, salah satu resep Nabi untuk jiwa tenang adalah mensyukuri dan merelakan apa yang ada, sehingga hati lapang.

Dalil-dalil di atas menegaskan bahwa Islam memberikan panduan holistik untuk mencapai ketenangan jiwa, melalui keimanan yang kuat, dzikir dan tilawah, qana’ah, sabar, syukur, serta ilmu yang mendekatkan diri kepada Allah. Janji Allah akan ketenangan bagi hati yang mengingat-Nya adalah motivasi utama bagi muslim untuk selalu memupuk hubungan spiritual dengan-Nya.

Pendapat Para Ulama tentang Ketenangan Jiwa

Para ulama sejak dahulu hingga kini telah banyak membahas hakikat ketenangan jiwa dalam perspektif Islam. Berikut beberapa pandangan ulama dan tafsir yang memperkaya pemahaman kita:

  • Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) – dalam tafsirnya tentang QS. Ar-Ra’d:28, beliau menjelaskan bahwa “hati orang-orang beriman menjadi tenteram dengan mengingat Allah” karena hati mereka merasakan kenyamanan di sisi Allah, tenang ketika Allah diingat, dan ridha Allah sebagai pelindungnya (Surah Raad ayat 28 Tafsir Ibn Kathir | Those who have believed and whose hearts). Beliau menegaskan kalimat أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ” (Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang) sebagai penegasan bahwa hanya zikir kepada-Nya-lah yang mampu menenangkan hati manusia (Surah Raad ayat 28 Tafsir Ibn Kathir | Those who have believed and whose hearts) (Surah Raad ayat 28 Tafsir Ibn Kathir | Those who have believed and whose hearts). Dengan demikian, Ibnu Katsir menggarisbawahi aspek tauhid: hati akan tenang bila bergantung penuh pada Allah.
  • Syekh Wahbah Az-Zuhaili (ulama kontemporer, penulis Tafsir Al-Munir) – beliau menggambarkan QS. Ar-Ra’d:28 dengan indah: “Hati yang selalu ingat kepada Allah laksana pelita yang memancarkan cahaya terang, menuntun seseorang melewati kegelapan hidup penuh kegelisahan.” (Tafsir Surat Ar-Ra’d Ayat 28: Dzikir: Obat Mujarab Hati Gelisah ) (Tafsir Surat Ar-Ra’d Ayat 28: Dzikir: Obat Mujarab Hati Gelisah ) Dzikir menurutnya menanamkan keyakinan kokoh akan kuasa dan kasih sayang Allah, sehingga orang beriman merasakan kedamaian tiada banding (Tafsir Surat Ar-Ra’d Ayat 28: Dzikir: Obat Mujarab Hati Gelisah ). Wahbah Zuhaili menekankan bahwa ketenangan yang dirasakan orang beriman bukan ketenangan biasa, melainkan yang berakar dari keyakinan penuh akan kebesaran dan kesempurnaan Allah (Tafsir Surat Ar-Ra’d Ayat 28: Dzikir: Obat Mujarab Hati Gelisah ). Cahaya iman dalam hati mengusir segala kecemasan dan ketakutan (Tafsir Surat Ar-Ra’d Ayat 28: Dzikir: Obat Mujarab Hati Gelisah ). Pandangan ini selaras dengan hadis bahwa dzikir adalah penawar hati yang gelisah.
  • M. Quraish Shihab – cendekiawan dan mufasir Indonesia dalam Tafsir Al-Mishbah menjabarkan bahwa terdapat beberapa faktor penentu ketenangan jiwa: (a) Keimanan yang kuat, (b) Ketakwaan (ketaatan menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya), (c) Dzikir yang rutin, dan (d) Shalat yang khusyuk (). Jika seseorang berpegang teguh pada keempat faktor tersebut, Quraish Shihab menyatakan pasti ia akan merasakan aman, tenang, dan tentram yang semuanya bersumber dari Allah (). Beliau juga mengaitkan istilah mutma’innah dengan sikap rela dan ridha mengingat Allah dalam setiap keadaan () (). Intinya, iman dan ibadah yang konsisten akan menghadirkan ketenangan dalam batin menurut Quraish Shihab.
  • Imam Al-Ghazali (w. 505 H) – meskipun tidak disebut langsung dalam permintaan, pemikiran ulama tasawuf klasik seperti Al-Ghazali relevan. Al-Ghazali menyatakan bahwa hati yang tenang lahir dari ma’rifatullah (mengenal Allah) dan mujahadatun nafs (pengendalian diri). Menurutnya, jika hati dipenuhi cinta dan makrifat kepada Allah, dunia tidak lagi menghanyutkan ketenteraman batin. Ketenangan adalah “hakikat kejiwaan” yang menjadi esensi kepribadian mukmin (). Pandangan ini menekankan aspek tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) sebagai jalan mencapai sakīnah.

Secara umum, para ulama sepakat bahwa ketenangan jiwa merupakan buah dari iman yang mendalam dan hubungan dekat dengan Allah. Ketika seorang hamba mengenal Tuhannya (ma’rifah), senantiasa berdzikir, bertaqwa, dan menjaga shalat, maka Allah akan menanamkan sakīnah dalam hatinya (Tafsir Surat Ar-Ra’d Ayat 28: Dzikir: Obat Mujarab Hati Gelisah ) ().

BACA JUGA:   Yel-Yel Masjid

Sebaliknya maksiat dan kelalaian akan mengeruhkan jiwa. Ibnu Taimiyah berkata, “Sungguh di dunia ini ada surga (ketenangan iman); siapa yang tidak memasukinya, ia tak akan masuk surga akhirat.” Beliau mengisyaratkan bahwa ketenangan iman di dunia adalah kenikmatan rohani tiada banding yang Allah berikan kepada para kekasih-Nya.

Penerapan dalam Kehidupan Sehari-hari

Mencapai ketenangan jiwa bukan hanya konsep teoretis, namun dapat diraih dengan langkah-langkah praktis dalam kehidupan sehari-hari sesuai tuntunan Islam. Berikut beberapa cara aplikatif untuk menggapai jiwa yang tenang:

  • Memperbanyak Dzikir dan Tilawah Al-Qur’an: Seperti dalil yang telah disebut, dzikir merupakan obat hati gelisah. Luangkan waktu setiap hari untuk membaca Al-Qur’an, berdzikir, dan berdoa. Ibnu Mas’ud RA pernah menasihati seseorang yang gelisah agar melakukan tiga hal: (1) mendatangi majelis Al-Qur’an, membaca atau mendengarkan bacaan Al-Qur’an; (2) menghadiri majelis ilmu yang mengingatkan hati kepada Allah; (3) shalat malam di waktu sunyi untuk bermunajat kepada Allah ( Ketenangan Jiwa Bertauhid ). Orang tersebut mengikuti nasihat itu – ia berwudhu, khusyuk membaca Al-Qur’an, dan hasilnya “jiwanya terasa tenang, hatinya tenteram, pikirannya jernih” ( Ketenangan Jiwa Bertauhid ). Ini membuktikan dzikir dan tilawah secara rutin dapat menghadirkan ketenteraman nyata dalam hati.
  • Menegakkan Shalat dengan Khusyuk: Shalat adalah tiang agama sekaligus penyejuk jiwa. Rasulullah ﷺ mencontohkan ketika menghadapi masalah, beliau segera melakukan shalat: “Kanَa an-Nabiyu idhā ḥazabahu amrun faza‘a ilas-salāh” (Jika Nabi ditimpa sesuatu yang mengkhawatirkan, beliau bergegas menunaikan shalat) (سلوى الحزين – ملفات متنوعة – طريق الإسلام). Beliau juga bersabda kepada Bilal “Ariḥnā bihā yā Bilāl”“Wahai Bilal, istirahatkanlah kami dengan shalat” (سلوى الحزين – ملفات متنوعة – طريق الإسلام), serta mengaku “dijadikan penyejuk mataku dalam shalat” (سلوى الحزين – ملفات متنوعة – طريق الإسلام). Dari teladan ini, jelas bahwa shalat yang khusyuk adalah sumber ketenangan. Saat sujud dan munajat, seorang mukmin merasakan beban hidupnya terangkat dan hatinya dekat dengan Sang Maha Penolong. Karena itu, jaga shalat lima waktu tepat waktu, pahami maknanya, dan resapi setiap bacaan – niscaya hati lebih tentram.
  • Menguatkan Tawakal dan Qana’ah: Setelah berusaha maksimal, serahkan hasilnya pada Allah (tawakal). Yakinlah bahwa apapun takdir Allah adalah yang terbaik. Sikap tawakal ini akan menghilangkan kecemasan akan hal-hal di luar kendali kita. Sertai pula dengan qana’ah, yaitu merasa cukup atas rezeki dan nikmat yang Allah beri. Ingatlah pesan Nabi ﷺ bahwa kekayaan sejati adalah kaya hati ([Daily Hadeeth Blog — #Hadith

Abu Hurairah (May Allah be pleased with…]

(https://dailyhadeeth.tumblr.com/post/173032682786/hadith-abu-hurairah-may-allah-be-pleased-with#:~:text=%D8%B9%D9%86%20%D8%A3%D8%A8%D9%8A%20%D9%87%D8%B1%D9%8A%D8%B1%D8%A9%20%D8%B1%D8%B6%D9%8A%20%D8%A7%D9%84%D9%84%D9%87,%E2%80%8F)).

Dengan menerima apa adanya secara ikhlas, jiwa akan lebih tenang, tidak terus-menerus dilanda kegelisahan mengejar dunia. Jika ada keinginan yang belum tercapai, iringi doa dengan keyakinan Allah Maha Tahu yang kita butuhkan.

  • Melatih Sabar dan Syukur: Kunci lain adalah memperbanyak sabar dan syukur dalam keseharian. Ketika menghadapi kesulitan, ingatlah untuk bersabar seraya tetap berprasangka baik kepada Allah. Dan di saat mendapatkan nikmat atau kabar gembira, segeralah bersyukur. Sikap sabar akan meredam gejolak emosi negatif (marah, putus asa), sedangkan syukur menghalau kegelisahan akan hilangnya nikmat. Allah berjanji “Innallāha ma’aṣ-ṣābirīn” – Dia bersama orang-orang yang sabar, artinya pertolongan dan ketenangan dari-Nya menyertai mereka. Adapun syukur menjadikan nikmat terasa cukup dan berkah, sehingga hati pun tentram. Mulailah membiasakan diri, misalnya menahan amarah kecil, bersabar dalam antrean, bersyukur atas makanan hari ini – latihan-latihan ini membentuk jiwa yang tenang.
  • Menghindari Dosa dan Memohon Ampunan: Dosa dan maksiat dapat mengotori hati dan menimbulkan keresahan. Para ulama menyatakan “kemaksiatan pasti meninggalkan efek gelap dalam hati” ( إسلام ويب – تحفة الأحوذي – كتاب الدعوات – باب ما جاء في القوم يجلسون فيذكرون الله عز وجل ما لهم من الفضل- الجزء رقم9). Untuk itu, jauhi perbuatan yang dilarang Allah. Jika terlanjur berbuat dosa, segeralah bertaubat. Istighfar dan taubat akan membersihkan hati sehingga kembali tenang. Sebaliknya, bila dosa menumpuk tanpa taubat, hati akan gelap dan gelisah. Oleh karena itu, rutinlah muhasabah (introspeksi) tiap hari, mohon ampun atas kesalahan, dan perbaiki diri. Hati yang bersih dari dosa ibarat cermin bening yang mudah menerima cahaya sakīnah.
  • Menata Gaya Hidup Sehat dan Seimbang: Meskipun aspek spiritual sangat utama, Islam juga menganjurkan menjaga kesehatan jasmani dan keseimbangan hidup demi ketenangan jiwa. Pola makan halal dan thayyib, olahraga, istirahat cukup, serta manajemen stres sesuai ajaran (misal tidak berlebihan dalam hal apapun) turut mendukung ketenangan batin. Rasulullah ﷺ mengajarkan adab tidur, pola makan seimbang, dan larangan sikap ekstrem. Dengan tubuh yang sehat dan rutin beribadah, hati pun lebih mudah khusyuk. Ketenangan jiwa tumbuh di hati yang sehat dan tawakal, dalam tubuh yang juga dijaga baik (qalbun salīm fī jism salīm).

Semua langkah di atas berpangkal pada peningkatan iman dan takwa. Secara psikologis, faktor internal seperti keimanan, ketaatan beribadah, dzikir harian, rasa syukur, dan kesabaran memang paling menentukan tercapainya ketenangan jiwa dibanding faktor eksternal () (). Maka, disiplinkan diri untuk menerapkan amalan-amalan tersebut. Meskipun hasilnya mungkin bertahap, dengan izin Allah hati akan semakin hari semakin tentram.

Teladan Ketenangan Jiwa dari Nabi, Sahabat, dan Ulama Salaf

Untuk memotivasi, penting melihat contoh nyata ketenangan jiwa yang ditunjukkan oleh Rasulullah ﷺ, para sahabat, dan ulama salaf (generasi awal Islam). Kisah-kisah mereka menjadi inspirasi bahwa ketenangan hati bukan utopia, melainkan benar-benar terwujud dalam kehidupan orang-orang saleh. Berikut beberapa contoh inspiratif:

  • Keteladanan Nabi Muhammad ﷺ: Sepanjang hayat Nabi ﷺ dipenuhi ujian berat, namun beliau selalu menunjukkan sikap tenang, sabar, dan tawakal luar biasa. Sebagai contoh, saat peristiwa hijrah, Nabi dan Abu Bakar bersembunyi di Gua Tsur sementara pasukan Quraisy sudah sangat dekat. Abu Bakar ra. diliputi rasa cemas akan keselamatan Rasulullah, namun Nabi ﷺ menenangkannya dengan berkata, “Lā taḥzan innallāha ma‘an┓Jangan bersedih, Allah bersama kita” (QS. At-Taubah 9:40). Seketika hati Abu Bakar tenang kembali. Benar saja, Allah melindungi mereka hingga selamat ke Madinah. Ketenangan Nabi dalam situasi genting ini lahir dari keyakinan penuh bahwa Allah tidak akan meninggalkannya. Contoh lain, ketika menghadapi caci maki dan penolakan penduduk Ṭā’if, Nabi tetap sabar dan mendoakan kebaikan bagi mereka. Beliau tidak membalas dengan emosi negatif, karena hatinya lapang menerima takdir Allah. Bahkan dalam perang sekalipun, para sahabat menggambarkan Rasulullah selalu tampak paling tenang dan berani. Hal ini sesuai firman Allah: “Allah menurunkan sakinah ke dalam hati orang beriman” – tentu yang pertama merasakan adalah Rasulullah ﷺ. Beliau juga mengekspresikan kedamaian batinnya dalam ibadah: “Ketenangan mataku ada dalam shalat”, menunjukkan bahwa shalat menjadi sumber kebahagiaan dan ketenangan bagi beliau. Dari Nabi Muhammad ﷺ, kita belajar bahwa iman yang sempurna melahirkan jiwa yang tenang menghadapi apapun, penuh percaya diri sebab bersandar pada Allah.
  • Kisah Sahabat: Nasihat Ibnu Mas’ud RA: Salah satu kisah masyhur tentang mencari ketenangan jiwa adalah nasihat Abdullah bin Mas’ud ra. (sahabat Nabi dan ahli Qur’an) kepada seorang pria yang hatinya gelisah. Orang itu mengeluh: “Wahai Ibnu Mas’ud, berilah obat bagi jiwaku yang resah; hari-hariku penuh kegelisahan dan pikiranku kusut.” Ibnu Mas’ud menjawab: “Kalau itu penyakitmu, bawalah hatimu mengunjungi tiga tempat: (1) Majelis Al-Qur’an – bacalah Al-Qur’an atau dengarkan dengan baik orang yang membacanya; (2) Majelis ilmu – hadiri majelis yang mengingatkan hati kepada Allah; (3) Tempat sunyi di malam hari – shalatlah kepada Allah di keheningan malam, mintalah ketenangan jiwa, ketenteraman pikiran, dan keikhlasan hati.” ( Ketenangan Jiwa Bertauhid ). Orang tersebut mengikuti nasihat ini: ia berwudhu, membaca Al-Qur’an dengan khusyuk, dan benar-benar mendatangi majelis dzikir. Hasilnya, jiwanya berubah menjadi tenang, hatinya tenteram, pikirannya jernih ( Ketenangan Jiwa Bertauhid ). Kisah nyata ini menggambarkan bahwa metode spiritual Islam terbukti manjur menenangkan hati. Ibnu Mas’ud mengibaratkan dzikir dan ibadah sebagai obat mujarab bagi keresahan. Para sahabat Nabi banyak yang dulunya hidup dalam kegelisahan jahiliyah, lalu setelah beriman mereka menemukan ketentraman luar biasa. Misalnya, Umar bin Khattab ra. sebelum Islam dikenal berangasan, setelah beriman menjadi tenang dan bijaksana. Zikir, shalat malam, dan majelis ilmu adalah rahasia para sahabat menjaga ketenangan batin di tengah berbagai kesibukan menegakkan Islam.
  • Ketenangan Ulama Salaf: Para ulama generasi terdahulu (salaf) juga mencontohkan ketenangan jiwa yang mengagumkan. Imam Ibn Taymiyah (w. 728 H), seorang ulama besar, pernah dipenjara karena hasad penguasa. Namun justru di penjara itulah beliau merasakan ketenteraman iman yang mendalam. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, muridnya, menuturkan perkataan gurunya: “Apa yang bisa dilakukan musuh-musuhku padaku? Surgaku dan tamanku ada di dalam dadaku; ke manapun aku pergi, ia selalu bersamaku, tak pernah berpisah dariku. Jika aku dipenjara, itu bagiku laksana khalwat (kesempatan menyepi dengan Allah); jika aku dibunuh, itu syahadah (mati syahid); dan jika aku diusir dari negeriku, itu bagiku ibarat wisata (di jalan Allah).” (فوائد من الوابل الصيب – الكلم الطيب). Kalimat “jannatī wa bustānī fī ṣhadrī” (surgaku dan kebunku di dadaku) menunjukkan bahwa kebahagiaan dan ketenangan Ibnu Taymiyah sepenuhnya bergantung pada hubungan hatinya dengan Allah, bukan pada keadaan fisik luar. Bahkan penjara menjadi tempat kontemplasi yang indah baginya. Kisah ini masyhur sebagai bukti keteguhan hati seorang mukmin: saat iman memenuhi dada, musibah sebesar apapun tidak mampu merenggut ketenangan jiwanya. Contoh lain, Imam Ahmad bin Hanbal saat menghadapi siksaan dalam fitnah Khalq Qur’an tetap tenang berpegang pada kebenaran; beliau mengatakan “Saya tidak peduli dipenjara atau disiksa, karena yang saya takutkan hanya murka Allah.” Ketakutan hanya kepada Allah membuat beliau kebal dari tekanan tiran, jiwanya tenang dalam keberanian. Demikian pula kisah Imam Abu Hanifah yang tetap tenang dan terus shalat malam meski diancam penguasa, atau Uwais al-Qarni yang memilih hidup zuhud sehingga batinnya selalu damai. Para ulama salaf menunjukkan bahwa ketenangan sejati muncul bila hati terpaut kepada akhirat, bukan cinta dunia. Mereka hidup zuhud, tawakal, dan sibuk dalam ibadah, sehingga sedikit sekali hal duniawi yang mengusik batin mereka.
BACA JUGA:   Jihad Pagi 24 September 2023

Dari kisah-kisah teladan di atas, benang merahnya adalah kekuatan iman, dzikir, dan tawakal menghasilkan ketenangan jiwa luar biasa. Baik Nabi, sahabat, maupun ulama salaf, semuanya menegaskan dengan kehidupan mereka sendiri bahwa janji Allah itu benar: “Barangsiapa beriman dan beramal saleh, akan diberikan kepadanya kehidupan yang baik dan tenang” (lihat QS. An-Naḥl 16:97).

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيٰوةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (tenang dan bahagia), dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”

Penjelasan Singkat:

Ayat ini menjelaskan janji Allah tentang kehidupan yang tenang, damai, dan penuh kebahagiaan bagi orang-orang yang beriman dan melakukan amal saleh, tanpa memandang jenis kelamin. Kehidupan yang baik (ḥayātan ṭayyibah) ini bukan sekadar kekayaan materi, melainkan ketenangan jiwa, rasa ridha terhadap takdir Allah, ketenteraman hati, serta kebahagiaan sejati yang lahir dari keimanan. Ulama seperti Ibnu Katsir dan Quraish Shihab menerangkan bahwa kehidupan yang baik itu berupa hati yang tenang, rezeki yang penuh keberkahan, dan batin yang selalu merasa cukup dengan anugerah Allah (qana’ah).

Kita dapat meneladani mereka dengan memperkuat iman dan disiplin beramal, insyaAllah ketenangan pun menyusul.

Referensi Jurnal dan Sumber Akademik

Konsep ketenangan jiwa dalam Islam juga telah dikaji dalam berbagai penelitian akademis dan jurnal ilmiah, yang semakin mengukuhkan kebenaran ajaran tersebut. Beberapa referensi penting antara lain:

  • Keskin (2016) – Inner Peace in Islam: Dalam jurnal Australian Journal of Islamic Studies, Zuleyha Keskin menganalisis konsep inner peace menurut perspektif Bediuzzaman Said Nursi. Ia menyimpulkan bahwa kedamaian batin dalam Islam sangat terkait dengan sikap ridha, sakinah, dan iṭmi’nān, dan “inner peace is attained when life and events are given a tawḥīd-centric meaning in a way that satisfies the heart and mind” ((PDF) Inner Peace in Islam). Artinya, ketenangan jiwa dicapai ketika seseorang memaknai hidupnya berlandaskan tauhid (keesaan Allah) sehingga hati dan pikirannya merasa puas. Temuan ini sejalan dengan dalil bahwa mengingat Allah (tauhid) menenteramkan hati.
  • Rizqi (2022) – Konsep Ketenangan Jiwa dalam Tafsir Al-Mishbah: Skripsi dan publikasi akademik ini mengkaji pandangan M. Quraish Shihab. Hasilnya menegaskan faktor-faktor internal seperti keimanan, ketakwaan, dzikir, dan shalat sebagai penentu utama ketenangan jiwa (). Bahkan dikatakan bahwa orang yang memegang teguh keempat hal tersebut pasti akan merasakan keamanan dan ketenteraman yang bersumber dari Allah (). Penelitian ini juga memetakan bahwa kata muṭma’innah dalam Al-Qur’an muncul dalam berbagai konteks, tetapi intinya selalu merujuk pada keteguhan hati beriman () ().
  • Jurnal Mutiara (2024) – Konsep Muṭma’innah dan Sakīnah: Sebuah artikel dalam Jurnal Mutiara menguraikan definisi ketenangan jiwa secara etimologis dan psikologis. Dijelaskan bahwa ketenangan adalah “kondisi jiwa yang seimbang dan tidak terganggu, tidak gelisah atau cemas, tetap tenang meskipun dalam situasi genting” (). Artikel ini menegaskan menurut penelitian Dr. Zakiyah Daradjat bahwa faktor internal (iman, dzikir, syukur, sabar) lebih menentukan ketenangan jiwa daripada faktor eksternal (lingkungan, ekonomi, sosial) () (). Juga disebutkan “salah satu cara mencapai ketenangan jiwa adalah selalu mengingat Allah SWT” (), yang tentu merujuk pada konsep dzikrullah dalam Islam.
  • Studi Psikologi Islam: Banyak penelitian psikologi modern yang menemukan korelasi positif antara religiusitas dengan kesehatan mental dan ketenangan batin. Misalnya, survei terhadap praktisi ibadah menunjukkan penurunan tingkat stres dan kecemasan seiring meningkatnya frekuensi shalat dan dzikir. Hal ini konsisten dengan sabda Nabi bahwa “dalam dzikir terdapat ketenangan” dan perintah Al-Qur’an untuk mengingat Allah agar hati menjadi tenteram. Kajian lintas agama pun mengakui bahwa konsep “peace of mind” dalam Islam sangat kuat karena fondasi tawakal dan qana’ah yang diajarkan.

Referensi-referensi di atas memperlihatkan bahwa ajaran Islam tentang ketenangan jiwa dapat dibuktikan dan dipahami juga melalui pendekatan akademis. Baik melalui studi tafsir, penelitian kualitatif dengan responden muslim, maupun tinjauan literatur sufi, semuanya bersepakat bahwa kunci ketenangan jiwa dalam Islam adalah koneksi spiritual dengan Allah. Dengan demikian, ilmu modern pun mengafirmasi hikmah-hikmah yang sudah lama terkandung dalam Al-Qur’an dan hadits.

Kesimpulan

Ketenangan jiwa dalam Islam adalah keadaan damainya hati berkat iman, dzikir, dan tawakal kepada Allah SWT. Islam mengajarkan bahwa ketenteraman batin lebih berharga dari kenikmatan materi, dan hal itu dapat dicapai oleh setiap mukmin yang mendekatkan diri kepada Tuhannya. Dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits telah memberikan resep ilahiah untuk meraih jiwa yang tenang: ingat Allah sebanyak-banyaknya, dirikan shalat dengan khusyuk, latih sabar dan syukur, serta jauhi perkara yang menodai hati. Para ulama dan salafushalih mencontohkan bahwa dengan iman yang teguh, hati bisa tetap tenang meski badai cobaan datang. Di era modern pun, solusi spiritual Islam relevan untuk mengatasi kegelisahan hidup. Ketika banyak orang mencari kedamaian melalui cara-cara duniawi yang semu, Islam menawarkan jalan yang hakiki: kembali kepada Allah. Sebagaimana firman-Nya, “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah lah hati menjadi tenang” (Tafsir Surat Ar-Ra’d Ayat 28: Dzikir: Obat Mujarab Hati Gelisah ) – sebuah kebenaran abadi yang menjadi pegangan kita untuk meraih ketenangan jiwa di dunia dan akhirat. Wallāhu a‘lam bis-shawāb.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *