Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) merupakan sebuah sistem penanggalan Islam yang dirancang dengan ambisi besar untuk menyatukan umat Islam di seluruh dunia dalam menentukan permulaan bulan-bulan kamariah, khususnya yang berkaitan erat dengan pelaksanaan ibadah inti seperti Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Prinsip fundamental yang diusung oleh KHGT adalah “satu hari satu tanggal di seluruh dunia”, yang bertujuan untuk menghilangkan disparitas penentuan awal bulan Hijriah yang selama ini terjadi dan sering menimbulkan kebingungan, bahkan perpecahan, di tengah komunitas Muslim.
Meskipun KHGT hadir sebagai solusi integratif yang menjanjikan persatuan, kepastian waktu, dan kemudahan dalam perencanaan ibadah maupun muamalah, implementasinya menghadapi serangkaian tantangan kompleks. Problematika ini tidak hanya bersifat teknis-astronomis, tetapi juga melibatkan aspek sosio-kultural, teologis-fikih, dan politis.
Berikut adalah beberapa problematika utama yang dihadapi dalam penerapan Kriteria KHGT:
- Perbedaan Konsepsi Awal Hari dan Implikasinya pada Ibadah (misalnya Salat Tarawih)
Salah satu problem utama KHGT adalah konsep permulaan hari. KHGT mengadopsi pandangan yang menyatakan bahwa awal hari dimulai pada tengah malam (pukul 00:00 GMT/UTC) di garis bujur 180 derajat. Konsep ini dipengaruhi oleh pandangan Jamaluddin ‘Abd ar-Raziq dan diadopsi dalam putusan Konferensi Istanbul 2016.
Hal ini berbeda dengan pendapat dan praktik mayoritas umat Islam yang secara tradisional memahami bahwa awal hari dimulai setelah Maghrib (matahari terbenam). Ketidaksesuaian ini menimbulkan pertanyaan praktis, khususnya terkait dengan waktu pelaksanaan salat Tarawih di bulan Ramadan. Jika hari baru dimulai pukul 00:00, maka salat Tarawih yang biasanya dilakukan setelah salat Isya’ (yang jatuh setelah Maghrib) pada malam menjelang hari pertama puasa, akan berada di hari “sebelumnya” menurut kalender KHGT.
Muhammadiyah, sebagai organisasi yang mengadopsi KHGT, menawarkan solusi pragmatis untuk masalah ini. Mereka menjelaskan bahwa waktu-waktu ibadah tidak terpengaruh oleh penggunaan sistem waktu internasional. Permulaan malam (dan hari berikutnya untuk keperluan ibadah syar’i) tetap mengacu pada waktu Maghrib. Namun, untuk keperluan pencatatan tanggal dalam sistem kalender global, hari baru dicatat mulai pukul 00:00 waktu standar (misalnya UTC atau waktu lokal yang mengacu pada zona waktu). Dengan demikian, salat Tarawih tetap dapat dilaksanakan setelah Isya’ sebelum tengah malam pada malam menjelang hari pertama puasa, dan puasa keesokan harinya tetap sah. Argumentasi ini didasarkan pada tidak adanya dalil syar’i (nash qath’i) yang secara eksplisit menetapkan bahwa awal hari kalender harus dimulai pada waktu Maghrib, sehingga memberikan ruang ijtihad untuk kemaslahatan yang lebih besar yaitu sinkronisasi dan unifikasi global.
- Parameter Tambahan/Nuansa Kriteria KHGT (Diyanet Turki dan Isu Visibilitas di Wilayah Tertentu)
Kriteria inti KHGT yang direkomendasikan Konferensi Istanbul 2016 adalah hisab imkanur rukyat 5-8, yang berarti tinggi hilal minimal 5 derajat dan elongasi minimal 8 derajat saat matahari terbenam. Kriteria ini harus terpenuhi di mana pun di permukaan bumi sebelum pukul 00:00 GMT/UTC.
Meskipun KHGT mengadopsi prinsip ittihadul mathali’ (kesatuan matlak global), yang berarti hilal terlihat di satu tempat berlaku untuk seluruh dunia, ada nuansa dan pengecualian yang muncul dari hasil Konferensi Istanbul 2016. Sumber menyebutkan ketentuan koreksi apabila kriteria 5°/8° baru terpenuhi setelah pukul 00:00 GMT, yaitu dengan mempertimbangkan visibilitas hilal di benua Amerika atau terjadinya ijtimak sebelum fajar di Selandia Baru, dan imkanur rukyat di lautan tidak dipertimbangkan. Ini mengindikasikan adanya patokan geografis spesifik untuk memastikan imkanur rukyat global yang valid, bukan secara eksplisit tentang “tempat yang jumlah muslim sedikit” seperti yang ditanyakan. Namun, pengaturan semacam ini memang dapat menimbulkan kompleksitas dalam penentuan tempat yang memenuhi kriteria.
Lebih jauh, kritikus menyoroti bahwa penerapan KHGT dapat menyebabkan situasi di mana wilayah di bagian timur bumi harus memulai bulan baru meskipun hilal masih berada di bawah ufuk mereka secara lokal (bulan terbenam lebih dahulu dari matahari). Ini disebut sebagai “mengorbankan prinsip imkanu rukyat atau rukyat fikiah” bagi kawasan timur. Sebaliknya, ada juga kekhawatiran bahwa KHGT dapat menunda masuknya bulan baru di wilayah barat yang hilalnya sudah terlihat jelas.
- Perbedaan Pandangan Fikih dan Metodologi (Hisab vs. Rukyat)
Akar masalah utama dalam penyatuan kalender adalah perbedaan cara pandang dan interpretasi terhadap dalil-dalil terkait.
- Hisab vs. Rukyat: KHGT mendasarkan penetapan awal bulan pada hisab (perhitungan astronomis) dengan kriteria imkanur rukyat. Para pendukung KHGT berargumen bahwa hisab memberikan kepastian dan memungkinkan penyusunan kalender jangka panjang, yang tidak mungkin dicapai dengan hanya mengandalkan rukyat fisik setiap bulan.
- Di sisi lain, sebagian besar komunitas Muslim, termasuk Nahdlatul Ulama (NU), masih memegang teguh praktik ruyatul hilal (pengamatan hilal secara fisik) sebagai metode primer penentuan awal bulan, menganggapnya sebagai implementasi langsung dari Sunnah Nabi dan ibadah yang bersifat ta’abbudi (ritual murni). Mereka khawatir KHGT akan mengikis praktik ini dan menjauhkan umat dari aspek ritual yang telah mapan.
- Perdebatan Konsep Matlak (Cakupan Wilayah)
KHGT mengusung prinsip ittihadul mathali’ (kesatuan matlak global), yang memandang seluruh permukaan bumi sebagai satu zona waktu tunggal untuk permulaan bulan Hijriah. Jika hilal memenuhi kriteria di satu tempat, berlaku untuk seluruh dunia. Namun, ini berhadapan dengan pandangan ikhtilaf al-mathali’ (perbedaan tempat terbit hilal yang diakui) yang memungkinkan perbedaan penetapan awal bulan antar wilayah yang jauh. Para penentang khawatir bahwa KHGT akan memaksakan satu pandangan yurisprudensial dan merusak otonomi regional serta praktik lokal yang telah berjalan lama.
- Ketiadaan Otoritas Tunggal Global
Salah satu hambatan struktural terbesar bagi implementasi KHGT adalah absennya satu otoritas Islam global tunggal yang diakui secara universal untuk menetapkan dan mengelola kalender Islam. Organisasi Kerjasama Islam (OKI) sering disebut sebagai kandidat potensial, dan OKI telah mengeluarkan resolusi yang mendukung kalender terpadu. Namun, OKI belum memiliki mekanisme penegakan yang mengikat semua negara anggota, sehingga implementasi oleh negara anggota masih menjadi tantangan. Kritik juga muncul terhadap potensi penetapan kalender global oleh organisasi kemasyarakatan tertentu tanpa mandat yang jelas. Muhammadiyah berpendapat bahwa otoritas KHGT didasarkan pada keahlian ilmiah dan agama (otoritas epistemik), bukan kendali politik semata.
- Resistensi dari Kalender Nasional/Regional yang Sudah Mapan
Banyak negara Muslim memiliki sistem kalender nasional atau regional sendiri yang sudah mapan dan memiliki kriteria berbeda, sehingga menunjukkan keengganan untuk beralih ke sistem baru. Contohnya adalah Kalender Ummul Qura di Arab Saudi, yang sangat berpengaruh tetapi belum menunjukkan indikasi akan mengadopsi KHGT versi Kongres Istanbul. Negara-negara anggota MABIMS (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) juga memiliki kriteria sendiri (Neo-MABIMS: tinggi hilal 3° dan elongasi 6,4°) yang berbeda dari KHGT. Perbedaan kriteria ini menciptakan tantangan bagi penerimaan universal KHGT, khususnya di Asia Tenggara.
- Tantangan Sosio-Kultural dan Kurangnya Pemahaman Publik
Banyak komunitas Muslim memiliki keterikatan emosional dan tradisi yang kuat terhadap praktik melihat hilal secara lokal (rukyat lokal) atau mengikuti kalender yang telah mapan secara turun-temurun. Perubahan menuju sistem global yang mungkin terasa abstrak atau “asing” dapat menghadapi resistensi kultural. Selain itu, masih minimnya pemahaman di masyarakat tentang konsep, urgensi, manfaat, dan dasar keperluan penerapan KHGT menjadi hambatan besar. Perbedaan dalam merayakan hari raya dapat menimbulkan masalah sosial, kebingungan, dan ketegangan.
- Implikasi Ekonomi dari Ketidakseragaman Kalender
Meskipun sering terabaikan, ketidakseragaman kalender Islam juga memiliki implikasi ekonomi yang signifikan. Ketidakpastian dalam penentuan tanggal hari-hari besar Islam dapat berdampak negatif pada sektor pariwisata dan perdagangan. Suseno menyoroti bahwa penggunaan kalender yang tidak konsisten, atau mengacu pada kalender Masehi karena ketidakpraktisan kalender Hijriah yang terfragmentasi, bahkan dapat menimbulkan implikasi syar’i dalam perhitungan haul zakat. KHGT, dengan menyediakan tanggal yang pasti, diharapkan dapat menghilangkan ketidakpastian ini dan mempermudah koordinasi internasional serta aktivitas ekonomi.
Kesimpulan
Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) merupakan ikhtiar penting dan mendesak untuk menciptakan sistem penanggalan Islam yang terpadu dan berlaku universal, dengan tujuan utama menyatukan umat Islam dalam penentuan awal bulan kamariah dan pelaksanaan ibadah. Namun, jalan menuju adopsi universal KHGT tidaklah mudah. Tantangan yang dihadapi bersifat multidimensi, mencakup perbedaan interpretasi fikih (terutama terkait hisab-rukyat dan konsep mathla’), isu konsepsi awal hari, ketiadaan otoritas global yang mengikat, resistensi dari kalender nasional yang sudah mapan, serta faktor sosio-kultural dan politis.
Keberhasilan implementasi KHGT sangat bergantung pada dialog yang berkelanjutan, edukasi komprehensif, dan kolaborasi antara ulama, astronom, pemerintah, dan organisasi masyarakat dari berbagai latar belakang. Langkah-langkah yang diambil oleh organisasi pelopor seperti Muhammadiyah dalam mengadopsi KHGT dan mengampanyekannya akan menjadi studi kasus penting yang dapat mendorong pihak lain untuk mempertimbangkan dan mengkaji KHGT secara serius. Pada akhirnya, penyelesaian “hutang peradaban” ini memerlukan kemauan politik yang kuat dan penerimaan yang lebih luas dari seluruh dunia Muslim.