Mizan Al-Qalb: Antara Air Mata Penyesalan dan Racun Kesombongan dalam Ibadah

Download Teks Khutbah Jumat: Khutbah Jumat – Air Mata Pendosa

Pendahuluan: Paradoks Spiritual dalam Timbangan Ilahi

Sebuah aforisme sarat makna yang sering beredar di kalangan para penempuh jalan spiritual menyatakan, “Air mata seorang pendosa lebih dicintai Allah daripada kesombongan seorang yang merasa dirinya shalih.” Ungkapan ini, yang dinisbahkan kepada Abu Mahira, sejatinya merupakan gema dari salah satu mutiara hikmah agung yang terpatri dalam kitab Al-Hikam. Syaikh Ibnu Atha’illah As-Sakandari, seorang sufi besar, merumuskan kaidah ini dengan presisi yang menakjubkan:

مَعْصِيَةٌ أَوْرَثَتْ ذُلًّا وَافْتِقَارًا خَيْرٌ مِنْ طَاعَةٍ أَوْرَثَتْ عِزًّا وَاسْتِكْبَارًا

“Kemaksiatan yang membuahkan perasaan hina (dzull) dan merasa butuh kepada Allah (iftiqaˉr) lebih baik daripada ketaatan yang membuahkan perasaan terhormat (′izzah) dan kesombongan (istikbaˉr).”.1

Pernyataan ini bukanlah sebuah justifikasi atau pembenaran untuk melakukan perbuatan maksiat. Sebaliknya, ia adalah sebuah barometer yang sangat tajam untuk mengukur kesehatan dan orientasi hati (qalb). Di hadapan Allah SWT, nilai sebuah perbuatan tidak semata-mata ditentukan oleh label lahiriahnya—apakah ia “taat” atau “maksiat”—melainkan oleh buah spiritual yang dihasilkannya di dalam relung hati seorang hamba. Paradoks ini menyingkap sebuah kebenaran fundamental: tujuan dari seluruh syariat adalah untuk menghancurkan ego dan mengukuhkan penghambaan, bukan untuk membangun monumen kesalehan pribadi yang rapuh.

Dikotomi inti yang diajukan oleh Ibnu Atha’illah dapat diurai sebagai berikut. Di satu sisi, terdapat buah maksiat yang terpuji: kehinaan diri di hadapan keagungan Tuhan, kesadaran penuh akan kefakiran dan ketidakberdayaan diri, serta penyesalan mendalam yang melahirkan air mata taubat. Ini adalah kondisi hati yang hidup, hancur lebur, dan berlari kembali menuju pelukan ampunan Sang Pencipta.1 Di sisi lain, terdapat buah ketaatan yang tercela: rasa bangga diri atas amal yang dilakukan, kesombongan yang membuatnya merasa lebih mulia dari yang lain, merasa cukup dengan ibadah yang telah tertunaikan.

BACA JUGA:   Kemukjizatan Tematik, Gramatikal, dan Fonetik dari "Alhamdulillāhi Rabbil 'Ālamīn"

Pembahasan selengkapnya daapat dibaca pada file berikut: DOWNLOAD FILE PDF

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *