Mengungkap Rahasia Balaghah: Analisis Komparatif Lafaz Ja’alnahu dan Laja’alnahu dalam Surah Al-Waqi’ah

Pendahuluan: Keagungan I’jaz Lughawi dalam Surah Al-Waqi’ah

Surah Al-Waqi’ah, surah ke-56 dalam mushaf Al-Qur’an, merupakan surah Makkiyah yang terdiri dari 96 ayat.1 Nama surah ini diambil dari ayat pertamanya,

إِذَا وَقَعَتِ ٱلْوَاقِعَةُ

(Apabila terjadi hari kiamat), yang secara tegas menetapkan tema utamanya: kepastian dan kedahsyatan Hari Kiamat yang tidak dapat didustakan oleh siapa pun.3 Surah ini secara sistematis menguraikan peristiwa-peristiwa akhir zaman, dimulai dengan kehancuran alam semesta, lalu pembagian manusia menjadi tiga golongan utama:

Ashab al-Maimanah (golongan kanan), Ashab al-Masy’amah (golongan kiri), dan as-Sabiqun as-Sabiqun (golongan yang paling dahulu beriman).5 Di samping itu, surah ini juga memperkuat pilar-pilar tauhid dengan menyajikan serangkaian bukti empiris akan kekuasaan absolut Allah SWT yang terhampar di alam semesta, mulai dari penciptaan manusia, tanaman, air, hingga api.6

Dalam konteks inilah keagungan I’jaz Lughawi (kemukjizatan linguistik) Al-Qur’an terpancar dengan sangat jelas. I’jaz adalah sifat inheren Al-Qur’an yang menjadikannya sebuah karya yang tak tertandingi, yang mampu menundukkan dan melampaui seluruh karya sastra manusia, sekaligus menjadi bukti keilahiannya sebagai wahyu dari Allah SWT.8 Kemukjizatan ini tidak hanya terletak pada pesan-pesan teologisnya, tetapi juga termanifestasi dalam setiap aspek bahasanya, mulai dari pilihan kata (diksi), struktur kalimat (sintaksis), hingga gaya retorika yang unik dan penuh hikmah.8 Untuk dapat menyelami dan mengapresiasi keajaiban ini, para ulama telah merumuskan Ilmu Balaghah (ilmu retorika Arab) sebagai perangkat analisis yang presisi. Para mufasir agung, seperti Ibnu Asyur, telah mendedikasikan karya mereka untuk menyingkap bagaimana prinsip-prinsip Balaghah dapat membuka tabir keindahan dan kedalaman makna Al-Qur’an.9

Laporan ini akan memfokuskan analisis pada salah satu fenomena linguistik yang sangat subtil namun sarat makna dalam Surah Al-Waqi’ah. Ketika menyajikan bukti kekuasaan-Nya, Allah SWT menggunakan tiga contoh utama: tanaman, air, dan api.

BACA JUGA:   Audio Murottal Al-Qur'an 30 Juz

لَوْ نَشَاءُ لَجَعَلْنَاهُ حُطَامًا فَظَلْتُمْ تَفَكَّهُونَ (65)

Kalau Kami kehendaki, benar-benar Kami jadikan dia kering dan hancur; maka jadilah kamu heran tercengang.

لَوْ نَشَاءُ جَعَلْنَاهُ أُجَاجًا فَلَوْلا تَشْكُرُونَ (70)

Kalau Kami kehendaki, niscya Kami jadikan dia asin, maka mengapakah kamu tidak bersyukur?

Pada dua konteks pertama (tanaman dan air), Allah menggunakan struktur kalimat bersyarat yang paralel, keduanya diawali dengan frasa لَوْ نَشَاءُ (Kalau Kami kehendaki). Namun, jawaban dari syarat tersebut (apodosis) diekspresikan dengan cara yang berbeda. Pada konteks tanaman, digunakan lafaz لَجَعَلْنَاهُ (dengan huruf Lām sebagai penekanan). Sementara pada konteks air, digunakan lafaz جَعَلْنَاهُ (tanpa huruf Lām). Pertanyaan sentral yang akan dikupas tuntas dalam laporan ini adalah: apakah rahasia (sirr) di balik perbedaan linguistik yang tampak kecil ini? Melalui analisis yang mendalam, laporan ini bertujuan untuk menyingkap hikmah dan presisi ilahi di balik setiap huruf yang dipilih dalam Al-Qur’an, membuktikan bahwa tidak ada satu pun kata di dalamnya yang bersifat acak atau sekadar variasi gaya bahasa.


Pembahasan selengkapnya dapat dibaca melalui file berikut: Rahasia Perbedaan Ja’alnahu dan Laja’alnahu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *