Pendahuluan
Surah Al-Fatihah, “Pembukaan,” memegang posisi yang tak tertandingi dalam keimanan Islam. Surah ini disebut dengan banyak gelar kehormatan, termasuk Umm al-Qur’an (Ibu Al-Qur’an) dan As-Sab’ al-Mathānī (Tujuh Ayat yang Diulang-ulang), yang menandakan perannya sebagai ringkasan dari tema-tema inti Al-Qur’an.1 Pembacaannya merupakan rukun wajib dalam setiap unit salat harian seorang Muslim, menjadikannya sebagai dialog langsung dan berulang antara hamba dan Sang Pencipta.4 Tepat di jantung surah fundamental ini terletak ayat kelimanya:
إِيَّاكَنَعْبُدُوَإِيَّاكَنَسْتَعِينُ
(Iyyāka na’budu wa iyyāka nasta’īn), yang berarti, “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”.6 Ayat ini berfungsi sebagai poros penting dalam surah, menandai transisi mendalam dari pujian dan pengakuan sifat-sifat ilahi Allah pada ayat-ayat sebelumnya ke sebuah deklarasi pengabdian dan permohonan yang langsung, pribadi, dan mengikat.7
Frasa spesifik dari klausa pertama, إِيَّاكَنَعْبُدُ (iyyāka na’budu), jauh dari sekadar pilihan gramatikal standar atau pernyataan fakta sederhana. Ini adalah konstruksi linguistik yang disengaja dan ahli di mana struktur sintaksis dan seni retorika menyatu tak terpisahkan dengan tujuan teologis yang mendalam. Rekayasa bahasa yang presisi ini berfungsi untuk menanamkan bentuk paling murni dari tawhīd (monoteisme) sambil secara bersamaan membina hubungan yang intim, sadar, dan dinamis antara penyembah dan Yang Ilahi. Laporan ini akan secara sistematis mengurai lapisan-lapisan gramatikal, retoris, tematis, dan eksegetis dari frasa singkat namun monumental ini, mengungkapkan bagaimana bentuknya tidak dapat dipisahkan dari fungsinya.
Bagian I: Arsitektur Eksklusivitas – Analisis Sintaksis (Ilmu Nahwu)
Deklarasi إِيَّاكَنَعْبُدُ (iyyāka na’budu) dibangun di atas pilihan gramatikal mendasar yang menetapkan pesan teologis intinya. Pilihan ini, yang dikenal dalam tata bahasa Arab sebagai taqdīm al-maf’ūl ‘alā al-fi’l (mendahulukan objek sebelum kata kerja), adalah kunci utama untuk membuka makna ayat tersebut.
Fondasi Iman dalam Urutan Kata: Taqdīm al-Maf’ūl ‘alā al-Fi’l
Dalam kalimat bahasa Arab standar, kata kerja biasanya mendahului objeknya. Oleh karena itu, pernyataan sederhana “kami menyembah-Mu” akan ditulis sebagai نعبدك (na’buduka). Namun, Al-Qur’an dengan sengaja membalik struktur ini, menempatkan kata ganti objek إِيَّاكَ (iyyāka, “hanya Engkau”) di bagian depan. Pembalikan ini adalah pilihan stilistika yang sadar, sebuah penyimpangan dari norma yang segera menandakan lapisan makna yang lebih dalam bagi pendengar atau pembaca. Banyak ulama, termasuk Dr. Hikmat bin Basyir bin Yasin dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, telah menyoroti bahwa pendahuluan objek ini adalah mekanisme linguistik sentral yang memberikan kekuatan pada ayat tersebut.6
Prinsip Hashr (Pembatasan) dan Ikhtisas (Pengkhususan)
Fungsi utama dari urutan kata yang terbalik ini adalah untuk menciptakan efek retoris yang kuat yang dikenal dalam linguistik dan retorika Arab (balāghah) sebagai hashr (pembatasan atau pengurungan) dan ikhtisas (pengkhususan atau eksklusivitas).8 Manuver sintaksis ini membatasi tindakan kata kerja (menyembah) secara eksklusif hanya kepada objek (Allah).
Konsensus para ahli tafsir klasik dan kontemporer menegaskan prinsip ini. Ibnu Katsir menyatakan bahwa objek (إِيَّاكَ) didahulukan dan diulang untuk tujuan “perhatian dan pembatasan”, yang membawa makna tegas, “kami tidak menyembah kecuali Engkau, dan kami tidak bersandar kepada siapa pun kecuali Engkau”.8 Demikian pula, ulama terkenal As-Sa’di menjelaskan bahwa struktur tersebut berarti, “kami mengkhususkan Engkau semata untuk ibadah dan untuk mencari pertolongan,” dengan demikian meniadakan tindakan-tindakan ini untuk siapa pun atau apa pun selain-Nya.8 Struktur gramatikal ini bukan hanya deskripsi keadaan seorang mukmin, tetapi sebuah penjagaan teologis yang proaktif. Frasa standar, na’buduka, menegaskan penyembahan kepada Allah tetapi tidak secara linguistik mengecualikan kemungkinan menyembah yang lain di samping-Nya. Dengan sengaja membalik struktur menjadi iyyāka na’budu, bahasa itu sendiri membangun sebuah benteng di sekitar monoteisme murni, membuat pemikiran untuk menyekutukan Allah secara gramatikal dan konseptual tidak sesuai dengan deklarasi yang dibuat. Dengan demikian, pembacaan ayat ini menjadi proses penguatan teologis diri yang berkelanjutan dan aktif.
Penguatan Sintaksis Tauhīd al-Ulūhiyyah
Pilihan gramatikal yang tepat ini secara langsung dan tak terpisahkan terkait dengan landasan teologis Tauhīd al-Ulūhiyyah—keesaan mutlak Allah dalam ibadah. Ayat ini bukan hanya pernyataan tentang monoteisme; ia adalah deklarasi performatif tentangnya.9 Struktur itu sendiri berfungsi sebagai apa yang oleh sebagian ulama disebut sebagai berlepas diri dari syirik.7 Tata bahasa itu sendiri menjadi benteng terhadap segala bentuk kemusyrikan.
Lebih jauh lagi, pengulangan إِيَّاكَ dalam ayat lengkap (إِيَّاكَنَعْبُدُوَإِيَّاكَنَسْتَعِينُ) bukanlah redundansi stilistika tetapi penguatan krusial dari dua pilar tauhīd yang berbeda. Meskipun frasa yang lebih ringkas mungkin adalah “iyyāka na’budu wa nasta’īn” (“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan memohon pertolongan”), pengulangan kata ganti objek menetapkan dua klausa eksklusivitas yang independen.6
Klausa pertama, iyyāka na’budu, mengamankan Tauhīd al-Ulūhiyyah (Keesaan dalam Ibadah).
Yang kedua, iyyāka nasta’īn, mengamankan aplikasi praktis dari Tauhīd al-Rubūbiyyah (Keesaan dalam Ketuhanan), khususnya dengan mengarahkan tindakan mencari pertolongan utama secara eksklusif kepada Allah. Struktur ganda ini secara metodis menutup setiap celah potensial untuk pemikiran politeistik, memastikan bahwa baik tujuan akhir (ibadah) maupun sarana penting untuk mencapainya (memohon pertolongan) diarahkan semata-mata kepada Sang Pencipta.
Bagian II: Dinamika Wacana Ilahi – Analisis Retoris (Ilmu Balāghah)
Di luar presisi gramatikalnya, ayat ini menggunakan perangkat retoris canggih yang mengangkat deklarasi dari pernyataan sederhana menjadi pertukaran yang dinamis dan intim dengan Yang Ilahi.
Peralihan Menuju Keintiman: Studi tentang Iltifāt
Perangkat retoris yang paling menonjol dalam ayat ini adalah iltifāt (secara harfiah, “berpaling”), sebuah pergeseran stilistika dalam kata ganti atau bentuk sapaan dalam satu konteks.14 Para ahli balāghah seperti Az-Zamakhshari dan Al-Hasyimi telah lama mengidentifikasi iltifāt sebagai ciri khas sastra Arab tingkat tinggi, yang digunakan untuk menarik perhatian audiens, mencegah kemonotonan, dan memperkenalkan lapisan makna yang bernuansa.15
Dalam Surah Al-Fatihah, iltifāt yang kuat terjadi antara ayat 4 dan 5. Ayat-ayat pembuka berbicara tentang Allah dalam bentuk orang ketiga (ghā’ib, “yang tidak hadir” atau yang dibicarakan): “Tuhan semesta alam,” “Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang,” “Pemilik Hari Pembalasan.” Kemudian, pada ayat 5, sapaan tiba-tiba beralih ke orang kedua (mukhāṭab, “yang disapa”): “إِيَّاكَ” (“Engkau kami sembah”).8
Pergeseran ini menciptakan efek psikologis dan spiritual yang mendalam. Setelah penyembah memuliakan Allah dengan menyebutkan sifat-sifat-Nya yang agung dan penuh rahmat, mereka ditarik ke dalam keadaan kedekatan dan kekaguman. Seolah-olah tindakan pujian ini telah memberi mereka audiensi di hadapan ilahi, memungkinkan mereka untuk beralih dari berbicara tentang Tuhan menjadi berbicara langsung kepada Tuhan.10 Progresi ini tidaklah sewenang-wenang; ia memetakan sebuah perjalanan spiritual. Pujian dan pemuliaan awal berfungsi sebagai prasyarat untuk mencapai rasa kehadiran ilahi. Hal ini dikonfirmasi dalam sebuah Hadis Qudsi di mana Allah menggambarkan dialog ini, menanggapi setiap ayat pujian yang dibacakan oleh hamba-Nya.4
Iltifāt adalah perwujudan sastra dari transisi dari pemuliaan ke percakapan. Hanya setelah perjalanan ini—dari mengakui keagungan hingga merasakan kehadiran—deklarasi utama iyyāka na’budu dapat diucapkan dengan bobot keintiman dan ketulusan penuhnya.
Suara Kolektif: Signifikansi Bentuk Jamak ‘Kami’
Pilihan retoris lain yang disengaja adalah penggunaan bentuk jamak نَعْبُدُ (na’budu, “kami menyembah”) dan نَسْتَعِينُ (nasta’īn, “kami memohon pertolongan”), daripada bentuk tunggal أَعبُدُ (a’budu, “aku menyembah”). Pilihan ini membawa beberapa lapisan makna:
- Kerendahan Hati dan Ketidaksempurnaan: Penggunaan “kami” adalah ekspresi kerendahan hati yang mendalam. Penyembah individu secara implisit mengakui bahwa tindakan ibadahnya sendiri, ketika berdiri sendiri, kemungkinan besar cacat, terganggu, atau tidak sempurna. Dengan bergabung dalam kolektif “kami,” mereka mempersembahkan persembahan sederhana mereka sebagai bagian dari ibadah agung yang lebih sempurna dari seluruh komunitas orang beriman (Ummah), termasuk para nabi, malaikat, dan orang-orang saleh.18
- Identitas Komunal: Kata ganti jamak secara konstan memperkuat hubungan orang beriman dengan komunitas global dan historis. Ini menumbuhkan rasa solidaritas dan tujuan bersama, melarutkan isolasi individu dan menghubungkan mereka dengan setiap Muslim lainnya—dulu, sekarang, dan masa depan.18 Ini adalah penolakan kuat terhadap individualisme egois dalam tindakan ibadah itu sendiri.20
- Sifat Doa yang Diterima: Beberapa interpretasi menunjukkan bahwa ibadah dan permohonan lebih sempurna dan lebih mungkin diterima ketika dilakukan secara berjamaah.9 Penggunaan bentuk jamak menanamkan prinsip kekuatan kolektif ini langsung ke dalam doa paling fundamental dalam Islam.
Penggunaan “kami” ini juga dapat dilihat sebagai perisai bagi individu. Seseorang yang berdiri sendiri di hadapan Yang Mahakuasa mungkin merasa doa pribadinya terlalu tidak berarti atau ternoda untuk layak dipersembahkan. Dengan mengatakan “kami menyembah,” individu tersebut memasukkan tindakan pribadinya yang cacat ke dalam ibadah kolektif yang disucikan dari seluruh Ummah, terutama dari orang-orang yang paling saleh di antara mereka. Ini adalah tindakan mencari sarana (tawassul) melalui perbuatan saleh kolektif, seolah-olah mengatakan, “Ya Allah, terimalah doaku bukan karena kebaikannya sendiri, tetapi karena aku menggabungkan diriku dengan jamaah semua orang yang menyembah-Mu dengan tulus.” Pendekatan ini secara bersamaan mengungkapkan kerendahan hati yang mendalam dan memberikan keyakinan kepada orang beriman bahwa doa mereka, yang digabungkan dengan doa orang-orang saleh, akan diterima.
Bagian III: Kedalaman Makna – Analisis Tematis dan Eksegetis (Tafsīr)
Struktur linguistik dan retoris dari iyyāka na’budu berfungsi sebagai wadah untuk konsep-konsep teologis dan spiritual yang mendalam yang mendefinisikan hubungan seorang Muslim dengan Tuhan dan dunia.
Sifat Komprehensif ‘Ibādah (Ibadah)
Istilah ‘ibādah jauh lebih luas daripada kata “worship” dalam bahasa Inggris. Akar linguistiknya menyampaikan makna kerendahan hati, ketundukan, dan ketaatan (az-zullah), membangkitkan citra jalan yang diaspal dan mudah dilalui (ṭarīqun mu’abbadun) yang tidak memberikan perlawanan.7 Definisi para ulama membangun di atas fondasi ini:
- Ibnu Katsir mendefinisikannya sebagai keadaan yang menyiratkan “cinta, kerendahan hati, dan ketakutan yang paling dalam”.10
- Ibnu Taimiyah memberikan definisi komprehensif yang terkenal: “‘Ibādah adalah istilah kolektif untuk segala sesuatu yang dicintai dan diridai Allah, baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang lahir (tampak) maupun batin (tersembunyi)”.23
Pemahaman ini mengarah pada perbedaan krusial antara dua kategori ibadah 24:
- ‘Ibādah Mahḍah: Ibadah ritual murni yang bentuk dan metodenya ditentukan secara ilahi, seperti salat, puasa (sawm), dan haji.
- ‘Ibādah Ghairu Mahḍah: Ibadah umum non-ritual yang mencakup setiap tindakan yang diizinkan—dari transaksi bisnis yang jujur dan mencari ilmu hingga kebaikan kepada keluarga dan tetangga—yang dilakukan dengan niat tulus untuk menyenangkan Allah.
Oleh karena itu, deklarasi iyyāka na’budu mencakup seluruh spektrum ini, mengubah keseluruhan kehidupan seorang mukmin menjadi tindakan ibadah yang potensial, dengan demikian memenuhi tujuan keberadaan mereka.27 Ini bukanlah beban tetapi realisasi tertinggi dari potensi manusia, sebuah penyelarasan kehendak manusia dengan kehendak Ilahi sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (Surah Adz-Dhariyat, 51:56).25 Mendeklarasikan iyyāka na’budu berarti secara sadar menyelaraskan seluruh keberadaan seseorang dengan tujuan kosmik ini, yang merupakan sumber kedamaian batin sejati (nafs al-muṭma’inna).30
Simbiosis Ibadah (‘Ibādah) dan Ketergantungan (Isti’ānah)
Klausa kedua dari ayat tersebut, wa iyyāka nasta’īn (“dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”), bukanlah sebuah tambahan, melainkan pelengkap yang diperlukan untuk yang pertama. Isti’ānah adalah tindakan mencari bantuan dan dukungan, sebuah pengakuan mendalam akan kelemahan manusia dan ketergantungan mutlak pada Allah untuk setiap urusan.20
Urutan kedua klausa ini sangat signifikan. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ibadah (‘ibādah) adalah tujuan akhir (maqṣūdah), sedangkan mencari pertolongan (isti’ānah) adalah sarana (wasīlah) untuk mencapai tujuan tersebut. Merupakan prinsip kebijaksanaan dan kepatutan untuk menyatakan tujuan sebelum menyebutkan sarana untuk mencapainya.8 Lebih jauh lagi, urutan ini memprioritaskan hak Allah (untuk disembah) di atas kebutuhan hamba (untuk pertolongan).9
Kedua konsep ini tidak dapat dipisahkan dan membentuk inti dari agama.7
Iyyāka na’budu adalah deklarasi kebebasan dari syirik (politeisme), sementara iyyāka nasta’īn adalah deklarasi kebebasan dari kesombongan dan ketergantungan pada kekuatan dan kemampuan diri sendiri (al-ḥawl wa al-quwwah).8 Seseorang tidak dapat benar-benar menyembah Allah tanpa pertolongan-Nya, dan tindakan mencari pertolongan-Nya adalah salah satu bentuk ibadah tertinggi. Hubungan ini menyelesaikan ketegangan teologis kuno antara usaha manusia dan rahmat ilahi. Prinsip isti’ānah mengharuskan manusia untuk memulai tindakan dan mengerahkan usaha terlebih dahulu.22 Namun, hasil yang sukses dari usaha itu sepenuhnya bergantung pada bantuan Allah. Contoh historis para sahabat Nabi yang menghadapi musuh dalam pertempuran sebelum para malaikat turun dengan bantuan dengan sempurna mengilustrasikan kemitraan ilahi ini.22 Dengan demikian, ayat ini merangkum pandangan dunia Islam yang seimbang yang menegaskan agensi dan tanggung jawab manusia sambil secara bersamaan menegaskan ketergantungan total pada kekuatan tertinggi Tuhan, menghindari dua perangkap fatalisme dan kesombongan.
Bagian IV: Permadani Wawasan Para Ulama
Penafsiran iyyāka na’budu telah menjadi titik fokus bagi para ahli tafsir Al-Qur’an sepanjang sejarah. Analisis kolektif mereka mengungkapkan konsistensi yang luar biasa dalam memahami prinsip-prinsip intinya, bahkan saat mereka menyoroti berbagai aspek kecemerlangannya.
Ulama | Interpretasi Inti Taqdīm | Implikasi Teologis Utama | Cuplikan Sumber |
Ibnu Katsir (w. 1373) | Untuk perhatian (ihtimām) dan pembatasan (hashr) | Menegakkan ketaatan sempurna dan kebebasan dari syirik (politeisme). | 8 |
As-Sa’di (w. 1957) | Untuk pengkhususan (ikhtisas) dan pembatasan (hashr) | Kami mengkhususkan dan menetapkan Allah semata untuk ibadah dan mencari pertolongan. | 8 |
Al-Jazairi | Untuk perhatian (ihtimām) dan pembatasan (hashr) | Kami hanya menyembah Engkau, dan kami hanya menaruh kepercayaan kami kepada Engkau. | 6 |
Al-Utsaimin | Mendahulukan objek atas kata kerjanya (taqdīm al-ma’mūl ‘alā ‘āmilihi) | Pemurnian dan pengabdian ibadah hanya untuk Allah semata. | 6 |
Perspektif dari Tafsir Klasik (Mufassirūn Qudamā’)
Para komentator klasik besar meletakkan dasar untuk memahami kejeniusan multifaset ayat ini.
- At-Tabari (w. 923 M): Dalam tafsirnya yang monumental, yang sangat bergantung pada riwayat yang ditransmisikan, At-Tabari menetapkan pemahaman dasar ayat tersebut dengan mengutip Nabi Muhammad (ﷺ) dan para Sahabatnya. Karyanya menggarisbawahi makna ayat sebagai ekspresi ibadah yang murni dan tulus yang ditujukan secara eksklusif kepada Allah, membentuk dasar dialog hamba dengan Tuhan dalam salat.31
- Az-Zamakhshari (w. 1144 M): Sebagai seorang ahli retorika Arab, tafsirnya, Al-Kashshaf, menggali secara mendalam seni sastra Al-Qur’an. Ia memberikan analisis terperinci tentang kekuatan retoris dari iltifāt, menjelaskan dengan tepat bagaimana pergeseran dari orang ketiga ke orang kedua menciptakan efek yang lebih mendalam dan indah, meningkatkan rasa keintiman dan kekaguman.15
- Al-Qurtubi (w. 1273 M): Dikenal karena mengambil hukum-hukum dari Al-Qur’an, tafsir Al-Qurtubi mengeksplorasi implikasi praktis dan hukum dari ayat tersebut. Ini termasuk larangan mutlak untuk menyembah entitas apa pun selain Allah dan mengklarifikasi prinsip-prinsip mencari pertolongan (istighātha), menekankan bahwa pertolongan utama hanya dapat dicari dari Yang Ilahi.35
- Ibnu Katsir (w. 1373 M): Tafsirnya yang terkenal memberikan sintesis yang komprehensif, dengan mahir merangkai poin-poin linguistik (seperti taqdīm al-maf’ūl), analisis retoris (iltifāt), dan koleksi besar hadis serta pernyataan dari generasi awal (Salaf) untuk mendasarkan makna ayat ini dengan kuat pada tradisi Islam paling awal.2
Refleksi Kontemporer dan Relevansi Abadi
Para ulama modern terus menggali relevansi ayat ini untuk kehidupan kontemporer, membangun di atas fondasi klasik.
- As-Sa’di (w. 1957 M): Tafsirnya dipuji karena kejelasan dan keterusterangannya, membuat konsep-konsep mendalam seperti hashr dan ikhtisas dapat diakses oleh audiens yang lebih luas, dengan jelas menjelaskan bagaimana ayat ini menetapkan dua prinsip besar ibadah eksklusif dan ketergantungan eksklusif.8
- Misbah Mustafa: Menafsirkan dari konteks Jawa, ia menunjukkan kemampuan adaptasi pesan universal. Ia menyajikan tangga spiritual praktis melalui model ibadah tiga tingkatnya: ibadah yang dilakukan untuk mendapatkan pahala, ibadah yang dilakukan karena rasa kewajiban dan malu di hadapan Tuhan, dan tingkat tertinggi, ibadah yang dilakukan murni karena cinta dan pemuliaan kepada Allah (lillahi ta’ala).37
- Nouman Ali Khan: Sebagai seorang komunikator kontemporer terkemuka, penggunaan analogi modernnya membuat konsep-konsep klasik yang kompleks menjadi mudah dipahami. Penjelasannya tentang isti’ānah sebagai kemitraan ilahi—yang memerlukan usaha manusia terlebih dahulu, diikuti dengan ketergantungan pada Tuhan untuk hasilnya—sangat beresonansi dengan audiens modern yang bergulat dengan isu-isu agensi, kemandirian, dan kelelahan. 22
Kesimpulan
Frasa إِيَّاكَنَعْبُدُ (iyyāka na’budu) adalah bukti mendalam akan kemukjizatan (i’jāz) Al-Qur’an, di mana makna tidak hanya disampaikan oleh kata-kata tetapi dikodekan ke dalam DNA gramatikal dan retoris teks itu sendiri. Ini merupakan sintesis sempurna antara bentuk dan fungsi. Pilihan sintaksis untuk mendahulukan objek (taqdīm al-maf’ūl) membangun benteng tawhīd yang tak tertembus. Perangkat retoris pergeseran persona (iltifāt) memfasilitasi perjalanan spiritual dari pujian yang penuh kekaguman ke dalam keintiman kehadiran ilahi. Kedalaman tematis ‘ibādah mendefinisikan tujuan keberadaan manusia, memperluasnya hingga mencakup seluruh kehidupan. Akhirnya, suara kolektif “kami” menanamkan semangat kerendahan hati yang mendalam dan identitas komunal yang tak terpatahkan.
Pada akhirnya, iyyāka na’budu lebih dari sekadar deklarasi; ia adalah reorientasi spiritual, teologis, dan psikologis yang lengkap. Hanya dalam dua kata, ia merangkum esensi keimanan Islam: sebuah penyerahan diri yang sadar, eksklusif, dan intim kepada satu-satunya Pencipta, sebuah penyerahan yang dilakukan dengan kerendahan hati terdalam dan dalam semangat kolektif seluruh ciptaan. Ini adalah momen penting dalam salat harian seorang mukmin di mana pujian memuncak dalam sebuah janji yang mengikat, dan jarak larut menjadi dialog.
Karya yang dikutip
- Maksud And Tafseer of Surah Al-Fatiha With Transliteration, diakses Juni 22, 2025, https://surahinstitute.com/tafseer-of-surah-al-fatiha/
- Tafsir Surah Al-Fatihah – 1 – Quran.com, diakses Juni 22, 2025, https://quran.com/al-fatihah/1/tafsirs
- Overview – Surah 1: al-Fatihah (The Opening) – Qur’an Wiki, diakses Juni 22, 2025, http://www.quran-wiki.com/Surah-Overview-1-0-alFatihah
- Tafsir Of Surah Al-Fatiha: Unveiling Its Deep Meaning (2025) – The Online Quran Academy, diakses Juni 22, 2025, https://seekerspathway.com/tafsir-of-surah-al-fatiha/
- The overall tafseer of Quran – Al-Fatihah Introduction of Sura, diakses Juni 22, 2025, https://dorar.net/en/tafseer/1233
- Surat Al-Fatihah Ayat 5 Arab, Latin, Terjemah dan Tafsir | Baca di TafsirWeb, diakses Juni 22, 2025, https://tafsirweb.com/56-surat-al-fatihah-ayat-5.html
- Al-Fatihah, ayat 5 – – Yayasan Takrimul Quran, diakses Juni 22, 2025, https://takrimulquran.org/al-fatihah-ayat-5/
- Tafsir Surat Al-Fatihah (Ayat 5): Memahami Iyyaka Na’budu Wa Iyyaka Nasta’iin, diakses Juni 22, 2025, https://rumaysho.com/24478-tafsir-surat-al-fatihah-ayat-5-memahami-iyyaka-nabudu-wa-iyyaka-nastaiin.html
- Al Fatihah 5, Hanya kepada Allah, Menyembah dan Memohon …, diakses Juni 22, 2025, https://kemenag.go.id/read/al-fatihah-5-hanya-kepada-allah-menyembah-dan-memohon-pertolongan-lmap5
- Tafsir Ibn Kathir of Qur’an – Surah Fatiha – Verse 5 – Wattpad, diakses Juni 22, 2025, https://www.wattpad.com/198959709-tafsir-ibn-kathir-of-qur%27an-surah-fatiha-verse-5
- Iyyaka Na’budu Wa Iyyaka Nastaeen – Surah Fatiha Verse 5 – My Islam, diakses Juni 22, 2025, https://myislam.org/iyyaka-na-budu-wa-iyyaka-nastaeen/
- TAFSIR AS-SA’DI SURAT AL-FATIHAH AYAT 5 – Ibnu Umar Islamic School, diakses Juni 22, 2025, https://ibnuumar.sch.id/tafsir-as-sadi-surat-al-fatihah-ayat-5/
- Hubungan Antara Rububiyah dan Uluhiyah dalam Tafsir Surat Al-Fatihah | Mihwar.ID, diakses Juni 22, 2025, https://mihwar.id/hubungan-antara-rububiyah-dan-uluhiyah-dalam-tafsir-surat-al-fatihah/
- (PDF) Translation Strategies for Reference Switching (IltifAT) in SURah Al-Baqarah, diakses Juni 22, 2025, https://www.researchgate.net/publication/286549656_Translation_Strategies_for_Reference_Switching_IltifAT_in_SURah_Al-Baqarah
- Unlocking The Vague Meaning Al Qur’an of Surah Al Waqiah – Universitas KH. A. Wahab Hasbullah, diakses Juni 22, 2025, https://ejournal.unwaha.ac.id/index.php/jurnal_pengabdian/article/download/1398/772/5751
- Konsep Keindahan Dalam Alquran Jurnal Sosioteknologi Edisi 19 Tahun 9, April 2010 – Multisite ITB, diakses Juni 22, 2025, https://multisite.itb.ac.id/kkik-fsrd/wp-content/uploads/sites/154/2007/04/6.-P.-Agus.pdf
- Iltifat Dalam Al | PDF – Scribd, diakses Juni 22, 2025, https://id.scribd.com/document/343003519/ILTIFAT-DALAM-AL-docx
- 14 Tafsir Surat Al Fatiha – The verse “Iyyaka Na’budu Wa-iyyaka Nasta’een” – YouTube, diakses Juni 22, 2025, https://www.youtube.com/watch?v=V-xEcrFYVX8
- Surah Al-Fatiha Ayat 5 (1:5 Quran) With Tafsir – My Islam, diakses Juni 22, 2025, https://myislam.org/surah-fatiha/ayat-5/
- Arti Iyyaka Na’budu Wa Iyyaka Nasta’in: Makna Mendalam dan Implementasinya, diakses Juni 22, 2025, https://www.liputan6.com/feeds/read/5922923/arti-iyyaka-nabudu-wa-iyyaka-nastain-makna-mendalam-dan-implementasinya
- RAHASIA PENGGUNAAN KATA GANTI JAMAK DALAM AYAT …, diakses Juni 22, 2025, https://ikhwahmedia.wordpress.com/2020/09/13/rahasia-penggunaan-kata-ganti-jamak-dalam-ayat-iyyaka-nabudu-wa-iyyaka-nastain/
- A Close Look at Surat al-Fatihah – Part 5 – Quran Academy, diakses Juni 22, 2025, https://quranacademy.io/blog/surat-al-fatihah-part-5/
- concept of ibadah in islam | PPT – SlideShare, diakses Juni 22, 2025, https://www.slideshare.net/drubaidullahabid/6-ibadah-in-islam
- MAKALAH Konsep Ibadah Dalam Islam | PDF | Karier & Perkembangan – Scribd, diakses Juni 22, 2025, https://id.scribd.com/document/503282279/MAKALAH-Konsep-Ibadah-dalam-Islam
- KONTEKS IBADAH MENURUT AL-QURAN Abdul Kallang Institut Agama Islam Negeri Bone abdulkallang01@gmail.com Abstrak Menyembah kepada, diakses Juni 22, 2025, https://ejournal.iain-bone.ac.id/index.php/aldin/article/download/630/474
- KLASIFIKASI IBADAH MAHḌAH DAN GHAIRU MAHḌAH DALAM ISLAM MENURUT PERSPEKTIF IBNU RUSYD DAN ABU BAKAR SYATHA SKRIPSI Diaju – UIN – Ar Raniry Repository, diakses Juni 22, 2025, https://repository.ar-raniry.ac.id/id/eprint/24741/2/nailul%20repository.pdf
- IYYAKA NA’BUDU PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM, diakses Juni 22, 2025, https://ejournal.upi.edu/index.php/taklim/article/download/33223/pdf_1
- PENDIDIKAN IBADAH DALAM AL-QUR’AN, diakses Juni 22, 2025, https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jsm/article/download/3505/3527/3515
- Konsep Islam Secara Komprehensif, Sumber Hukumnya dan Role Modelnya | Jurnal Greenation Sosial dan Politik, diakses Juni 22, 2025, https://greenationpublisher.org/JGSP/article/view/216
- The Meaning of Nafs – SeekersGuidance, diakses Juni 22, 2025, https://seekersguidance.org/answers/general-counsel/the-meaning-of-nafs/
- Tafsir al-Tabari – Wikipedia, diakses Juni 22, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Tafsir_al-Tabari
- Surat Al-Fatihah Ayat 1 Arab, Latin, Terjemah dan Tafsir | Baca di TafsirWeb, diakses Juni 22, 2025, https://tafsirweb.com/44-surat-al-fatihah-ayat-1.html
- Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 5 – NU Online | PDF – Scribd, diakses Juni 22, 2025, https://id.scribd.com/document/678902376/Tafsir-Surat-Al-Fatihah-Ayat-5-NU-Online
- RHETORIC AND BALAGHAH: The Significance of Zamakhshari’s Contributions to Linguistic Studies | Malik | Ihya al-Arabiyah: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Arab, diakses Juni 22, 2025, https://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/ihya/article/view/23753/0
- Tafsir Al-Qurtubi | Imam Abu Abdullah Al-Qurtubi – Kalamullah.Com, diakses Juni 22, 2025, https://www.kalamullah.com/tafsir-qurtubi.html
- istigasa 1 | PDF – Scribd, diakses Juni 22, 2025, https://www.scribd.com/document/830249155/istigasa-1
- TAFSIR KH. MISBAH MUSTAFA: MENYINGKAP MAKNA IYYAKA NA’BUDU WA IYYAKA NASTA’IN – Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal, diakses Juni 22, 2025, https://alkamalblitar.com/2019/02/07/tafsir-kh-misbah-mustafa-menyingkap-makna-iyyaka-nabudu-wa-iyyaka-nastain/