Ketelitian Bahasa Al-Qur’an: Analisis Perbedaan Penggunaan Dhamir pada Ayat An-Nahl 16:66 dan Al-Mu’minun 23:21

I. Pendahuluan

A. Latar Belakang: Keagungan Bahasa Al-Qur’an dan Kemukjizatannya (I’jaz)

Al-Qur’an, sebagai wahyu terakhir dari Allah SWT, diakui secara universal oleh umat Islam sebagai sebuah mukjizat yang tak tertandingi, baik dari segi isi maupun bentuknya. Konsep ini dikenal dengan I’jaz al-Qur’an, sebuah doktrin inti dalam Islam yang menegaskan bahwa tidak ada ucapan manusia yang dapat menandingi kualitas ajaib Al-Qur’an.1 Keindahan, ketelitian, dan kedalaman maknanya melampaui kapasitas linguistik dan retoris manusia biasa, menjadikannya bukti otentik kenabian Muhammad SAW.2

Bahasa Arab Al-Qur’an bukan sekadar alat komunikasi, melainkan medium wahyu yang sarat makna, presisi gramatikal, dan nuansa retoris (balaghah) yang mendalam. Para ulama telah mengkaji kemukjizatan ini dari berbagai aspek, termasuk keunikan fusi antara pidato metrik dan non-metrik yang tidak ditemukan dalam teks Arab lain, baik di masa lalu maupun sekarang.2 Ketelitian gramatikal dan variasi gaya bahasa yang disengaja merupakan ciri khas Al-Qur’an yang bertujuan untuk menarik perhatian pembaca atau pendengar serta menyampaikan makna yang lebih kaya. Fenomena ini, yang dikenal sebagaiiltifat (pergeseran gaya bahasa), adalah salah satu manifestasi kedalaman retorika Al-Qur’an.5

Kemukjizatan Al-Qur’an meliputi berbagai dimensi, dan salah satu yang paling menonjol adalah kemukjizatan linguistiknya. Hal ini menunjukkan bahwa tantangan I’jaz melampaui sekadar kefasihan bahasa; ia mencakup ketepatan gramatikal yang mendalam dan variasi retoris yang strategis. Ini berarti bahwa sifat mukjizat Al-Qur’an tidak terbatas pada keindahan puitis atau kandungan maknanya saja, tetapi juga terwujud dalam pilihan-pilihan yang disengaja dan bermakna dalam struktur tata bahasanya. Oleh karena itu, variasi dalam penggunaan dhamir (kata ganti) untuk kata “الْأَنْعَامِ” (hewan ternak), yang mungkin terlihat sebagai detail gramatikal kecil, sesungguhnya adalah contoh utama dari lapisan I’jaz yang lebih dalam ini. Ini menunjukkan penguasaan bahasa yang luar biasa dan niat retoris yang melampaui pemahaman kefasihan yang dangkal.

Oleh karena itu, pemeriksaan ilmiah terhadap nuansa linguistik semacam ini menjadi sangat penting untuk mencapai pemahaman yang holistik tentang makna Al-Qur’an dan asal-usul ilahinya. Proses ini memungkinkan seseorang untuk melampaui interpretasi yang dangkal dan memperkuat keyakinan. Jika ketelitian linguistik Al-Qur’an merupakan aspek fundamental dari asal-usul ilahinya, maka penyelidikan menyeluruh terhadap variasi gramatikal yang halus, seperti yang akan dibahas, bukanlah sekadar latihan akademis. Sebaliknya, ini adalah jalur vital menuju apresiasi yang lebih dalam terhadap wahyu dan memperkuat keyakinan seseorang akan keasliannya. Pertanyaan yang diajukan mengenai perbedaan penggunaan dhamir ini, ketika ditangani secara komprehensif melalui analisis linguistik dan tafsir yang mendalam, secara langsung berkontribusi pada argumen teologis yang lebih luas mengenai kemukjizatan Al-Qur’an. Proses ini membantu menghilangkan keraguan yang mungkin muncul dari pembacaan sepintas, mengubah ketidakberaturan yang dipersepsikan menjadi tanda-tanda kebijaksanaan ilahi yang mendalam.

B. Rumusan Masalah: Perbedaan Dhamir pada “Butun” dalam An-Nahl 16:66 dan Al-Mu’minun 23:21

Permasalahan inti yang akan dikaji dalam laporan ini adalah perbedaan penggunaan dhamir (kata ganti) yang merujuk pada “بُطُونِ” (perut) dalam dua ayat Al-Qur’an yang membahas subjek yang sama: hewan ternak. Dalam Surah An-Nahl ayat 66, Al-Qur’an menggunakan dhamir maskulin plural “هِ” (hi) pada frasa “بُطُونِهِ” (butunihi).7 Sementara itu, dalam Surah Al-Mu’minun ayat 21, digunakan dhamir feminin singular “هَا” (ha) pada frasa “بُطُونِهَا” (butuniha).12

Kedua ayat ini secara eksplisit merujuk pada “الْأَنْعَامِ” (al-an’am), yang berarti hewan ternak, dan konteksnya sama-sama membahas tentang susu yang dihasilkan dari perut hewan tersebut sebagai salah satu nikmat Allah.7 Perbedaan dalam penggunaan dhamir ini, padahal objek yang dirujuk dan manfaat yang disebutkan pada dasarnya sama, memunculkan pertanyaan mendasar tentang ketelitian dan tujuan linguistik Al-Qur’an.

C. Tujuan Penulisan: Menjelaskan Perbedaan Penggunaan Dhamir dari Sudut Pandang Tafsir, Nahwu Sharaf, dan Kedudukan Kata

Tujuan utama penulisan artikel ini adalah untuk memberikan penjelasan komprehensif mengenai perbedaan penggunaan dhamir pada “بُطُونِهِ” dan “بُطُونِهَا” dalam Surah An-Nahl 16:66 dan Al-Mu’minun 23:21. Penjelasan ini akan dilakukan dari berbagai sudut pandang keilmuan Islam, yaitu:

  1. Ilmu Tafsir: Menguraikan pandangan para ulama tafsir mengenai ayat-ayat ini dan bagaimana mereka menjelaskan variasi linguistik tersebut.
  2. Ilmu Nahwu dan Sharaf: Menganalisis kaidah-kaidah tata bahasa Arab yang relevan, khususnya mengenai dhamir, jamak ghairu ‘aqil (plural non-berakal), dan kedudukan kata.
  3. Ilmu Balaghah (Retorika Bahasa Arab): Menjelajahi tujuan retoris di balik pilihan dhamir yang berbeda, termasuk konsep iltifat sebagai salah satu aspek kemukjizatan Al-Qur’an.

Melalui pendekatan multidisiplin ini, laporan ini berupaya menunjukkan bahwa variasi linguistik dalam Al-Qur’an bukanlah suatu kebetulan atau ketidaktepatan, melainkan manifestasi dari kemukjizatan linguistik yang mendalam dan disengaja, yang memperkaya makna dan memperkuat pesan ilahi.

II. Tinjauan Ayat-Ayat Terkait

A. Surah An-Nahl Ayat 66: Terjemahan dan Tafsir (Fokus pada “نُسْقِيكُم مِّمَّا فِي بُطُونِهِ”)

Ayat yang menjadi fokus pertama adalah Surah An-Nahl ayat 66:

وَإِنَّ لَكُمْ فِي الْأَنْعَامِ لَعِبْرَةً ۖ نُسْقِيكُمْ مِمَّا فِي بُطُونِهِ مِنْ بَيْنِ فَرْثٍ وَدَمٍ لَبَنًا خَالِصًا سَائِغًا لِلشَّارِبِينَ 7

Terjemahan ayat ini adalah:

“Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari apa yang ada dalam perutnya (بُطُونِهِ) berupa susu murni yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya, dari antara kotoran dan darah.” 7

Ayat ini datang dalam konteks yang lebih luas mengenai penjelasan nikmat-nikmat Allah dan tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam semesta. Allah SWT mengundang manusia untuk merenungkan ciptaan-Nya sebagai bukti keesaan dan rahmat-Nya. Susu dari hewan ternak disebutkan sebagai salah satu mukjizat penciptaan yang paling menakjubkan. Susu ini dihasilkan dari antara kotoran (feces) dan darah di dalam perut hewan, namun tetap keluar dalam keadaan murni, putih, dan lezat, mudah ditelan bagi siapa pun yang meminumnya.9

Para ulama tafsir, seperti Ibnu Katsir dan Al-Qurtubi, menjelaskan proses menakjubkan ini sebagai bukti nyata kekuasaan Allah. Mereka menguraikan bahwa makanan yang dimakan hewan diolah di perut, kemudian hati memisahkan darah, susu, dan kotoran ke jalurnya masing-masing tanpa sedikit pun bercampur. Darah mengalir ke pembuluh darah, susu menuju ambing, dan kotoran dikeluarkan sebagai feses.9 Keajaiban ini juga digunakan sebagai argumen untuk menjawab keraguan orang-orang kafir tentang kebangkitan setelah mati, dengan perbandingan bagaimana Allah mampu mengeluarkan sesuatu yang murni dan bermanfaat dari hal-hal yang tidak murni.8

Fokus utama dalam ayat ini adalah penggunaan dhamir maskulin plural “هِ” (hi) pada frasa “بُطُونِهِ”. Dhamir ini merujuk kepada “الْأَنْعَامِ” (al-an’am), yaitu hewan ternak.

B. Surah Al-Mu’minun Ayat 21: Terjemahan dan Tafsir (Fokus pada “نُسْقِيكُم مِّمَّا فِى بُطُونِهَا”)

Ayat yang menjadi fokus kedua adalah Surah Al-Mu’minun ayat 21:

وَإِنَّ لَكُمْ فِى ٱلْأَنْعَٰمِ لَعِبْرَةً ۖ نُّسْقِيكُم مِّمَّا فِى بُطُونِهَا وَلَكُمْ فِيهَا مَنَٰفِعُ كَثِيرَةٌ وَمِنْهَا تَأْكُلُونَ 12

Terjemahan ayat ini adalah:

“Dan sesungguhnya pada binatang-binatang ternak, benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberi minum kamu dari apa yang ada dalam perutnya (بُطُونِهَا), dan pada binatang-binatang ternak itu terdapat faedah yang banyak untuk kamu, dan sebagian darinya kamu makan.” 12

Ayat ini juga merupakan bagian dari serangkaian ayat yang menjelaskan nikmat dan tanda-tanda kebesaran Allah, yang dimulai dengan penciptaan air hujan, pertumbuhan kebun-kebun, dan kemudian beralih kepada hewan ternak.17 Selain susu yang disebutkan, ayat ini secara eksplisit menguraikan berbagai manfaat lain yang diperoleh manusia dari al-an’am, seperti bulu (untuk pakaian dan karpet), kulit, dan dagingnya sebagai makanan yang lezat dan halal.12 Hewan ternak juga disebutkan sebagai sarana transportasi dan pengangkut beban ke negeri yang jauh.12 Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah dan Al-Mukhtashar menekankan bahwa hewan ternak berfungsi sebagai pelajaran bagi manusia untuk mengenali kekuasaan dan rahmat Allah yang tak terbatas.12

Fokus utama dalam ayat ini adalah penggunaan dhamir feminin singular “هَا” (ha) pada frasa “بُطُونِهَا”. Dhamir ini juga merujuk kepada “الْأَنْعَامِ” (al-an’am), yaitu hewan ternak.

C. Konteks Ayat dan Kesamaan Makna (Hewan Ternak dan Susu)

Kedua ayat yang dikaji, An-Nahl 16:66 dan Al-Mu’minun 23:21, sama-sama menggunakan kata “الْأَنْعَامِ” (al-an’am), yang secara umum merujuk pada hewan ternak seperti unta, sapi, domba, dan kambing.10 Inti pembahasan pada kedua ayat tersebut adalah penyediaan susu sebagai minuman yang berasal dari perut hewan-hewan ini, yang merupakan bukti nyata kekuasaan dan rahmat Allah SWT.

BACA JUGA:   Fitur ChatGPT Mendukung Pembelajaran Bahasa Arab dan Al-Quran

Perbedaan penggunaan dhamir—maskulin plural “هِ” di An-Nahl dan feminin singular “هَا” di Al-Mu’minun—menjadi sorotan utama karena objek yang dirujuk (“al-an’am”) dan manfaat yang disebutkan (susu) pada dasarnya sama. Hal ini secara alami memunculkan pertanyaan tentang ketelitian linguistik Al-Qur’an dan tujuan di balik variasi tersebut.

Surah An-Nahl 66 berfokus secara spesifik pada proses mukjizat produksi susu, menekankan bagaimana susu murni keluar “dari antara kotoran dan darah”.9 Kontrasnya, Surah Al-Mu’minun 21, meskipun menyebutkan susu, memperluas cakupan dengan menguraikan manfaat umum dan beragam dari hewan ternak, seperti bulu, kulit, dan kegunaan untuk transportasi.12

Perbedaan dalam konteks ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an, meskipun merujuk pada objek yang sama, secara selektif menekankan aspek yang berbeda dalam setiap ayat. Hal ini mengindikasikan adanya strategi retoris yang disengaja untuk menyoroti berbagai sisi dari anugerah dan kekuasaan ilahi. Pilihan dhamir, jauh dari kesan arbitrer, merupakan bagian integral dari desain retoris yang lebih besar ini. Pilihan tersebut mengarahkan perhatian pembaca pada aspek spesifik dari karunia ilahi yang sedang dijelaskan—apakah itu proses biologis internal yang rumit (dalam An-Nahl) atau manfaat eksternal yang komprehensif (dalam Al-Mu’minun). Ini melampaui sekadar mengidentifikasi perbedaan dalam kata-kata untuk menyimpulkan tujuan dan makna yang lebih dalam di balik pilihan linguistik Al-Qur’an yang sangat presisi.

Tabel 1: Perbandingan Ayat An-Nahl 16:66 dan Al-Mu’minun 23:21

Surah dan Ayat Teks Arab Ayat Penuh Bagian Ayat yang Relevan Terjemahan Bagian Relevan Dhamir yang Digunakan Jenis Kelamin & Jumlah Dhamir Objek yang Dirujuk
An-Nahl 16:66 وَإِنَّ لَكُمْ فِي الْأَنْعَامِ لَعِبْرَةً ۖ نُسْقِيكُمْ مِمَّا فِي بُطُونِهِ مِنْ بَيْنِ فَرْثٍ وَدَمٍ لَبَنًا خَالِصًا سَائِغًا لِلشَّارِبِينَ نُسْقِيكُم مِّمَّا فِي بُطُونِهِ “Kami memberimu minum dari apa yang ada dalam perutnya” هِ (hi) Maskulin Plural الْأَنْعَامِ (al-an’am – hewan ternak)
Al-Mu’minun 23:21 وَإِنَّ لَكُمْ فِى ٱلْأَنْعَٰمِ لَعِبْرَةً ۖ نُّسْقِيكُم مِّمَّا فِى بُطُونِهَا وَلَكُمْ فِيهَا مَنَٰفِعُ كَثِيرَةٌ وَمِنْهَا تَأْكُلُونَ نُّسْقِيكُم مِّمَّا فِى بُطُونِهَا “Kami memberi minum kamu dari apa yang ada dalam perutnya” هَا (ha) Feminin Singular الْأَنْعَامِ (al-an’am – hewan ternak)

Tabel ini secara langsung membandingkan kedua ayat, menyoroti perbedaan dhamir yang digunakan meskipun merujuk pada objek yang sama. Ini membantu memahami inti permasalahan yang akan dianalisis lebih lanjut dari perspektif tata bahasa dan retorika.

III. Analisis Nahwu dan Sharaf: Kedudukan Kata dan Dhamir

A. Pengantar Nahwu dan Sharaf dalam Memahami Al-Qur’an

Ilmu Nahwu (sintaksis) dan Sharaf (morfologi) adalah dua pilar utama dalam memahami struktur, makna, dan keindahan bahasa Arab Al-Qur’an.4 Ilmu Nahwu mempelajari kaidah tata bahasa Arab yang mengatur hukum-hukum akhir kata dalam susunan kalimat (i’rab dan bina’), yang menentukan fungsi gramatikal sebuah kata dalam kalimat.4 Sementara itu, ilmu Sharaf mempelajari perubahan bentuk kata (morfologi) dari satu akar kata menjadi berbagai turunan dengan implikasi makna yang berbeda.4

Kemukjizatan Al-Qur’an seringkali terletak pada ketepatan gramatikal dan pilihan kata yang presisi, yang hanya dapat dipahami secara mendalam melalui penguasaan kedua ilmu ini.2 Setiap pilihan kata, bentuk, dan susunan kalimat dalam Al-Qur’an memiliki tujuan dan makna yang spesifik, yang tidak dapat diabaikan dalam proses penafsiran.

B. Kaidah Umum Dhamir (Kata Ganti) dalam Bahasa Arab

Dhamir (kata ganti) dalam bahasa Arab adalah kata yang digunakan untuk menggantikan isim (kata benda) yang telah disebutkan sebelumnya, yang disebut marji’. Penggunaan dhamir bertujuan untuk menghindari pengulangan kata benda dan membuat kalimat lebih ringkas dan efektif.22

Dalam bahasa Arab, dhamir memiliki 14 bentuk yang bervariasi berdasarkan tiga kategori utama:

  1. Orang (Person): Dhamir dapat merujuk pada orang pertama (pembicara), orang kedua (lawan bicara), atau orang ketiga (pihak yang dibicarakan).22
  2. Jumlah (Number): Dhamir dapat berbentuk tunggal (mufrad), dual (mutsanna), atau jamak (plural).22 Bahasa Arab memiliki bentuk khusus untuk dual, yang membedakannya dari banyak bahasa lain.22
  3. Jenis Kelamin (Gender): Dhamir memiliki bentuk maskulin (mudzakkar) dan feminin (muannats) yang terpisah untuk orang kedua dan ketiga dalam bentuk tunggal dan jamak. Untuk orang pertama, tidak ada pemisahan gender.22

Prinsip dasar dalam penggunaan dhamir adalah mutabaqah (kesesuaian) antara dhamir dengan *marji’*nya dalam hal jenis kelamin dan jumlah. Artinya, jika *marji’*nya maskulin tunggal, dhamir yang digunakan juga harus maskulin tunggal, dan seterusnya. Namun, terdapat kaidah khusus yang berlaku untuk jamak ghairu ‘aqil yang menjadi inti pembahasan ini.

C. Kaidah Khusus Jamak Ghairu ‘Aqil (Plural Non-Berakal) dalam Bahasa Arab: Perlakuan sebagai Muannats Mufrad

Salah satu kaidah gramatikal yang sangat penting dan khas dalam bahasa Arab adalah perlakuan terhadap jamak ghairu ‘aqil (kata benda jamak yang tidak merujuk pada makhluk berakal, seperti manusia atau malaikat). Secara gramatikal, jamak ghairu ‘aqil dapat dan seringkali diperlakukan sebagai muannats mufrad (feminin singular).24

Ini berarti bahwa kata sifat (adjective), kata tunjuk (demonstrative pronoun), dan dhamir (pronoun) yang merujuk pada jamak ghairu ‘aqil seringkali menggunakan bentuk feminin singular. Sebagai contoh, kata “rumah” (بيت – bayt) adalah maskulin tunggal, dan jamaknya adalah “rumah-rumah” (بيوت – buyūt). Ketika kita ingin mengatakan “rumah-rumah besar,” kita akan menggunakan “بيوت كبيرة” (buyūt kabīrah), di mana “كبيرة” (kabīrah) adalah bentuk feminin tunggal dari kata sifat “besar,” meskipun “بيوت” adalah jamak.25 Demikian pula, dhamir yang merujuk padanya akan menggunakan bentuk feminin singular “هي” (hiya) atau “ها” (ha).25 Aturan ini berlaku untuk semua kata benda jamak non-manusia, terlepas dari jenis kelamin bentuk tunggalnya.25 Ini adalah aturan yang seringkali menantang bagi penutur non-Arab, tetapi merupakan bagian integral dari tata bahasa Arab formal.25

Fleksibilitas dalam memperlakukan jamak ghairu ‘aqil sebagai maskulin plural atau feminin singular bukanlah anomali gramatikal, melainkan fitur canggih yang melekat pada bahasa Arab. Fitur ini menawarkan beragam kemungkinan retoris dan semantik. Sumber-sumber tata bahasa Arab 25 secara konsisten menjelaskan aturan bahwa jamak non-manusia dapat diperlakukan sebagai feminin singular. Namun, inti dari pertanyaan yang diajukan terletak pada penggunaan simultan dari dhamir maskulin plural dan feminin singular untuk kata yang sama, “الْأَنْعَامِ” (al-an’am), dalam ayat-ayat yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa aturan tersebut bukanlah preskripsi yang kaku, melainkan sebuah kemungkinan dalam tata bahasa Arab. Keberadaan perlakuan ganda ini dalam bahasa itu sendiri menyediakan landasan linguistik di mana Al-Qur’an menyampaikan maknanya yang bernuansa. Ini bukan tentang aturan mana yang “benar” secara mutlak, melainkan tentang mengapa Al-Qur’an secara sengaja memilih satu bentuk daripada yang lain dalam konteks tekstual tertentu. Pilihan ini menunjukkan penguasaan bahasa yang mengeksploitasi fleksibilitas bawaan bahasa untuk kedalaman retoris.

D. Analisis Kata “An’am” (الأنعام): Status Gramatikalnya

Kata “الْأَنْعَامِ” (al-an’am) adalah jamak taksir (broken plural) dari kata “نَعَمٌ” (na’am) atau “نِعْمَةٌ” (ni’mah), yang secara kolektif merujuk pada hewan ternak seperti unta, sapi, domba, dan kambing.10 Sebagai jamak taksir yang merujuk pada non-human (ghairu ‘aqil), “al-an’am” secara kaidah nahwu memungkinkan dua perlakuan dalam pengacuan dhamir:

  1. Diperlakukan sebagai jamak maskulin: Ini didasarkan pada pertimbangan lafadz (bentuk kata) “al-an’am” sebagai jamak. Dalam beberapa konteks, jamak taksir non-berakal dapat diacu dengan dhamir jamak maskulin, terutama jika ingin menekankan kolektivitas atau individu dalam kelompok tersebut.
  2. Diperlakukan sebagai muannats mufrad: Ini didasarkan pada pertimbangan makna (arti) “al-an’am” sebagai jamak ghairu ‘aqil, yang sesuai dengan kaidah umum bahasa Arab untuk dhamir yang merujuk pada jamak non-berakal.

Sumber seperti Imam Al-Qurtubi, melalui Tafsir Maarif ul-Quran, secara eksplisit menyatakan bahwa dalam Surah An-Nahl 66, dhamir “هِ” (maskulin plural) digunakan karena mempertimbangkan kata “al-an’am” sebagai kata jamak itu sendiri (lafadz).9 Sementara itu, dalam Surah Al-Mu’minun 21, dhamir “هَا” (feminin singular) digunakan karena mempertimbangkan maknanya sebagai jamak yang diperlakukan sebagai muannats mufrad.15 Hal ini menunjukkan adanya fleksibilitas yang disadari dalam penggunaan bahasa Al-Qur’an.

Pilihan Al-Qur’an atas dhamir untuk “الْأَنْعَامِ” dalam setiap ayat dapat mencerminkan secara halus sifat atau aspek dari hewan ternak yang ditekankan, daripada hanya berpegang pada satu konvensi gramatikal yang kaku. Mengingat bahwa “الْأَنْعَامِ” secara gramatikal dapat mengakomodasi dhamir maskulin plural dan feminin singular, pilihan spesifik Al-Qur’an dalam setiap ayat menjadi sangat signifikan. Pertanyaan yang muncul adalah: Kapan “الْأَنْعَامِ” mungkin lebih dipersepsikan sebagai kumpulan hewan (jantan) individu, dan kapan sebagai entitas kolektif atau generik?

BACA JUGA:   Keajaiban Numerologi dalam Al-Qur'an dan Hubungannya dengan Konstanta Pi (π)

Dalam An-Nahl 66, ayat tersebut berfokus pada proses biologis yang rumit dari pembentukan susu “dari antara kotoran dan darah”.9 Penggunaan dhamir maskulin plural mungkin berfungsi untuk menekankan sifat individu dan kuat dari hewan-hewan yang terlibat dalam transformasi kompleks ini, seolah-olah menyoroti keberadaan fisik dan keragamannya. Sebaliknya, Al-Mu’minun 21 mencantumkan beragam manfaat yang lebih luas (susu, daging, bulu, transportasi).12 Di sini, dhamir feminin singular, yang merupakan bentuk standar untuk jamak non-manusia, memperlakukan “الْأَنْعَامِ” lebih sebagai kategori umum atau sumber kolektif keberkahan. Hal ini menunjukkan bahwa pilihan dhamir tidaklah arbitrer, melainkan sarat makna semantik, secara halus membimbing pembaca untuk memahami nuansa spesifik yang ingin disampaikan Allah dalam setiap konteks.

Tabel 2: Kaidah Dhamir untuk Jamak Ghairu ‘Aqil

Kategori Isim Contoh Isim (Arab & Terjemahan) Kaidah Dhamir/Sifat yang Mengikuti Contoh Penggunaan dalam Kalimat (Arab & Terjemahan) Sumber Kaidah
Jamak Taksir Ghairu ‘Aqil بيوت (rumah-rumah) Diperlakukan sebagai Muannats Mufrad بيوت كبيرة (rumah-rumah besar) 25
Jamak Taksir Ghairu ‘Aqil سيارات (mobil-mobil) Diperlakukan sebagai Muannats Mufrad سيارات جميلة (mobil-mobil indah) 25
Jamak Taksir Ghairu ‘Aqil مقالات (artikel-artikel) Diperlakukan sebagai Muannats Mufrad هذه المقالات ممتازة (artikel-artikel ini sangat baik) 25
Jamak Taksir Ghairu ‘Aqil كتب (buku-buku) Diperlakukan sebagai Muannats Mufrad هذه الكتب (buku-buku ini) 25

Tabel ini mengilustrasikan kaidah dasar bahwa jamak ghairu ‘aqil dalam bahasa Arab seringkali diperlakukan sebagai feminin singular dalam hal kesesuaian dhamir dan kata sifat. Pemahaman terhadap kaidah ini menjadi kunci untuk menganalisis perbedaan penggunaan dhamir dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang sedang dibahas.

IV. Penjelasan Perbedaan Penggunaan Dhamir (هِ vs. هَا)

A. Perspektif Tafsir: Penjelasan Ulama (misalnya Al-Qurtubi, Ibn Kathir, dll.)

Para ulama tafsir secara luas mengakui adanya variasi dalam penggunaan dhamir ini dan menjelaskannya berdasarkan kekayaan dan fleksibilitas bahasa Arab. Mereka tidak melihatnya sebagai kontradiksi atau ketidaktepatan, melainkan sebagai bentuk kedalaman linguistik Al-Qur’an.

Salah satu penjelasan yang paling relevan dan sering dikutip datang dari Imam Al-Qurtubi, yang dijelaskan dalam Tafsir Maarif ul-Quran.15 Beliau mengemukakan bahwa dalam Surah An-Nahl 66, dhamir maskulin plural “هِ” (hi) digunakan dengan mempertimbangkan kata “الْأَنْعَامِ” (al-an’am) sebagai lafadz jamak (plural dalam bentuknya). Dalam konteks tertentu, jamak taksir dapat diacu dengan dhamir maskulin jamak, dan ini merupakan bentuk pengacuan yang sah dalam bahasa Arab.15

Sebaliknya, dalam Surah Al-Mu’minun 21, dhamir feminin singular “هَا” (ha) digunakan dengan mempertimbangkan makna jamak ghairu ‘aqil. Menurut kaidah nahwu, jamak non-berakal secara umum diperlakukan sebagai muannats mufrad dalam hal kesesuaian dhamir.15 Penjelasan Al-Qurtubi ini sangat penting karena secara eksplisit membedakan antara pertimbangan lafadz (bentuk kata) dan ma’na (arti semantik) dalam pemilihan dhamir oleh Al-Qur’an.

Tafsir lain, seperti Ibnu Katsir, juga mengakui fleksibilitas ini. Dalam tafsirnya untuk An-Nahl 66, Ibnu Katsir menyatakan bahwa “bentuk tunggalnya merujuk pada satu hewan ternak, atau bisa juga merujuk pada seluruh spesies. Karena hewan ternak adalah makhluk yang menyediakan minuman dari apa yang ada di perutnya, dan dalam ayat lain disebutkan ‘di perut mereka.’ Kedua cara ini masuk akal.”.9 Pernyataan ini secara langsung menunjukkan pengakuan akan fleksibilitas gramatikal yang memungkinkan kedua bentuk pengacuan tersebut. Ini bukan hanya sebuah observasi, melainkan sebuah pengakuan bahwa bahasa Al-Qur’an memanfaatkan keluwesan gramatikal untuk tujuan yang lebih besar.

Pilihan antara maskulin plural dan feminin singular untuk “الْأَنْعَامِ” mencerminkan interaksi yang canggih antara bentuk gramatikal (lafadz) dan makna semantik (ma’na), yang merupakan ciri khas kedalaman linguistik Al-Qur’an. Penjelasan Al-Qurtubi sangat penting di sini, karena secara eksplisit menyatakan bahwa An-Nahl 66 mempertimbangkan “الْأَنْعَامِ” berdasarkan lafadz-nya (bentuk plural literal), sementara Al-Mu’minun 21 mempertimbangkan ma’na-nya (arti semantik sebagai jamak non-manusia yang dapat diperlakukan sebagai feminin singular). Perbedaan ini krusial karena menunjukkan bahwa Al-Qur’an tidak sekadar berpegang pada satu aturan gramatikal yang kaku. Sebaliknya, Al-Qur’an secara sadar memilih untuk menekankan salah satu dari dua aspek: baik pluralitas literal dan potensi karakteristik individual hewan (dengan menggunakan maskulin plural) atau sifat kolektif dan generik mereka sebagai sumber keberkahan (dengan menggunakan feminin singular). Ini menunjukkan kesadaran dan kontrol linguistik yang luar biasa maju, di mana pilihan gramatikal dibuat untuk menyampaikan lapisan makna tertentu, menampilkan kedalaman yang melampaui sekadar kebenaran gramatikal.

B. Perspektif Balaghah (Retorika Bahasa Arab): Iltifat (Pergeseran Gaya Bahasa)

Dalam ilmu balaghah, perbedaan penggunaan dhamir ini dapat dijelaskan melalui konsep iltifat (pergeseran gaya bahasa). Iltifat adalah salah satu aspek kemukjizatan retoris Al-Qur’an, yaitu pergeseran gaya bahasa yang disengaja—misalnya dari orang ketiga ke kedua, atau dari singular ke plural, atau dari satu gender ke gender lain—untuk tujuan retoris tertentu.5 Tujuannya bisa untuk menarik perhatian pembaca atau pendengar, memberikan penekanan pada aspek makna tertentu, atau menyampaikan nuansa makna yang lebih dalam yang tidak dapat dicapai dengan gaya bahasa yang monoton.5

Penerapan iltifat pada An-Nahl 66 dan Al-Mu’minun 21 menunjukkan tujuan yang berbeda:

  • An-Nahl 66 (بُطُونِهِ – maskulin plural): Penggunaan dhamir maskulin plural di sini mungkin menekankan jenis hewan ternak secara kolektif dan individual, atau merujuk pada spesies secara umum yang memiliki karakteristik maskulin (misalnya, kekuatan, jumlah, dominasi, atau sifat fisik yang lebih menonjol). Ini juga dapat menunjukkan bahwa an’am dianggap sebagai jamak taksir yang, meskipun tidak berakal, diacu dengan dhamir jamak maskulin, memberikan kesan kekuatan atau keagungan ciptaan Allah dalam proses biologis yang kompleks.15 Penekanan pada proses “dari antara kotoran dan darah” mungkin membutuhkan penekanan pada entitas fisik yang kuat dan beragam yang terlibat dalam transformasi ini. Pilihan ini mengarahkan perhatian pada keajaiban internal dan proses yang terjadi di dalam tubuh hewan-hewan tersebut.
  • Al-Mu’minun 21 (بُطُونِهَا – feminin singular): Penggunaan dhamir feminin singular sesuai dengan kaidah umum jamak ghairu ‘aqil yang diperlakukan sebagai muannats mufrad.25 Dalam konteks ini, tujuannya mungkin adalah untuk menekankan kesatuan atau kolektivitas dari manfaat yang diberikan oleh hewan ternak secara keseluruhan, atau untuk merujuk pada “jenis” hewan ternak secara generik sebagai sumber keberkahan yang mengalir. Ayat ini juga menyebutkan manfaat lain seperti bulu, kulit, dan daging, yang secara kolektif dapat dipandang sebagai satu kesatuan anugerah. Penggunaan feminin singular dapat memberikan kesan kelembutan, keluwesan, dan keberkahan yang menyeluruh yang mengalir dari entitas kolektif ini. Pilihan ini mengarahkan perhatian pada manfaat luas dan umum yang diperoleh manusia dari hewan ternak.

Iltifat dalam penggunaan dhamir untuk “الْأَنْعَامِ” berfungsi untuk secara halus menggeser fokus kognitif pembaca, mengarahkan perhatian dari proses biologis produksi susu yang konkret dan individual (dalam An-Nahl) kepada manfaat yang lebih luas, kolektif, dan beragam yang diperoleh dari hewan ternak (dalam Al-Mu’minun). Dalam An-Nahl 66, ayat tersebut menyoroti proses biologis yang ajaib dan rumit dari pembentukan susu “dari antara kotoran dan darah”.9 Penggunaan dhamir maskulin plural mungkin menekankan sifat individu dan kokoh dari hewan-hewan sebagai entitas yang berbeda yang menjalani transformasi kompleks ini, seolah-olah ini adalah sebuah “prestasi” biologis. Sebaliknya, Al-Mu’minun 21 menyajikan daftar manfaat yang lebih komprehensif (susu, daging, bulu, transportasi).12 Di sini, dhamir feminin singular, yang merupakan standar untuk jamak non-manusia, memperlakukan “الْأَنْعَامِ” sebagai kategori umum atau entitas kolektif dari anugerah ilahi. Pergeseran dhamir, oleh karena itu, secara halus mengarahkan kontemplasi pembaca: dalam An-Nahl, itu tentang mukjizat spesifik dan mendalam di dalam setiap hewan, sementara dalam Al-Mu’minun, itu tentang keberkahan menyeluruh dan multifaset yang diperoleh manusia dari spesies kolektif. Ini adalah strategi retoris yang mendalam, bukan sekadar variasi gramatikal.

C. Kemukjizatan Bahasa Al-Qur’an (I’jaz) dalam Variasi Ini

Variasi dhamir ini adalah contoh nyata dari I’jaz balaghi (kemukjizatan retoris) Al-Qur’an. Al-Qur’an tidak terikat pada satu kaidah gramatikal secara kaku jika ada ruang untuk fleksibilitas yang memperkaya makna dan tujuan retoris. Pilihan kata yang presisi dan variasi gramatikal ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah yang sempurna, tidak dapat ditiru oleh manusia, bahkan dalam detail gramatikal yang paling halus.1

BACA JUGA:   Besi di Perut Bumi dan di Langit Wacana: Analisis Ilmiah dan Teologis Surah Al-Hadid Ayat 25

Al-Qur’an tidak hanya indah secara sastra, tetapi juga sangat akurat secara gramatikal dan retoris, bahkan dalam “penyimpangan” yang disengaja (iltifat) untuk tujuan makna yang lebih kaya dan penekanan yang spesifik. Ini adalah bukti bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang sempurna, yang tidak mungkin diciptakan oleh manusia.2 Kemukjizatan ini menantang para ahli bahasa Arab pada masa itu dan hingga kini untuk memahami kedalaman dan keunikan gaya bahasa Al-Qur’an, yang melampaui kemampuan manusia untuk menciptakannya.

V. Implikasi dan Kesimpulan

A. Pentingnya Memahami Nuansa Gramatikal dalam Tafsir Al-Qur’an

Kasus perbedaan dhamir pada “بُطُونِهِ” dan “بُطُونِهَا” ini menegaskan bahwa setiap huruf, harakat, dan pilihan gramatikal dalam Al-Qur’an memiliki makna dan tujuan yang mendalam. Memahami detail ilmu nahwu dan sharaf sangat esensial untuk menggali kedalaman tafsir dan menangkap pesan ilahi secara akurat. Tanpa pemahaman gramatikal yang mendalam, nuansa makna dan kemukjizatan bahasa Al-Qur’an dapat terlewatkan, atau bahkan disalahpahami, yang dapat mengurangi apresiasi terhadap keagungan wahyu.

Variasi gramatikal yang tampak dalam Al-Qur’an berfungsi sebagai alat pedagogis yang kuat, mendorong penyelidikan linguistik dan teologis yang lebih dalam di kalangan cendekiawan maupun masyarakat umum. Jika Al-Qur’an secara konsisten hanya berpegang pada satu aturan gramatikal untuk jamak ghairu ‘aqil, jalur penyelidikan ilmiah ini kemungkinan besar tidak akan muncul. Keberadaan variasi ini, yang pada awalnya mungkin tampak sebagai “anomali” bagi non-ahli, mendorong para cendekiawan untuk menyelami lapisan-lapisan rumit tata bahasa dan retorika Arab. “Tantangan” yang melekat dalam teks 1 ini bertindak sebagai katalisator untuk keterlibatan intelektual yang mendalam dan apresiasi yang lebih besar terhadap seni linguistik Al-Qur’an. Ini mengubah potensi kebingungan menjadi sumber pemahaman yang mendalam dan, pada akhirnya, penguatan iman, menyoroti desain Al-Qur’an tidak hanya sebagai kitab petunjuk, tetapi sebagai teks yang secara aktif melibatkan dan merangsang akal budi manusia.

B. Penegasan Kemukjizatan Al-Qur’an dari Sisi Kebahasaan

Variasi penggunaan dhamir pada “al-an’am” merupakan bukti nyata I’jaz balaghi Al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab dengan tingkat keahlian dan presisi yang tak tertandingi, melampaui kebiasaan dan kaidah umum bahasa, namun tetap dalam kerangka yang dapat dijelaskan oleh para ahli bahasa.1 Al-Qur’an tidak hanya indah secara sastra, tetapi juga sangat akurat secara gramatikal dan retoris, bahkan dalam “penyimpangan” yang disengaja ( iltifat) untuk tujuan makna yang lebih kaya dan penekanan yang spesifik. Ini adalah bukti bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang sempurna, yang tidak mungkin diciptakan oleh manusia.

Ketelitian linguistik Al-Qur’an, yang dicontohkan oleh variasi dhamir ini, secara fundamental menggarisbawahi klaimnya sebagai wahyu ilahi yang berada di luar kapasitas manusia untuk menghasilkannya, sehingga memperkuat argumen untuk kemukjizatannya yang berkelanjutan (I’jaz). Meskipun bahasa manusia, bahkan yang paling fasih sekalipun, cenderung mengikuti pola yang dapat diprediksi atau konstruksi gramatikal yang lebih sederhana, kemampuan Al-Qur’an untuk menavigasi fleksibilitas gramatikal yang kompleks dengan niat retoris yang begitu presisi dan bermakna mengangkatnya melampaui komposisi manusia biasa. Fakta bahwa para mufassir dan ahli tata bahasa klasik (seperti Al-Qurtubi) dapat memberikan penjelasan yang koheren dan meyakinkan untuk nuansa yang tampaknya halus ini, alih-alih menolaknya sebagai kesalahan, memperkuat argumen I’jaz. Kasus spesifik ini menjadi mikrokosmos dari klaim yang lebih besar tentang asal-usul ilahi Al-Qur’an, karena menunjukkan tingkat seni linguistik, kedalaman semantik, dan kecanggihan retoris yang sangat sulit, jika tidak mustahil, untuk direplikasi atau bahkan sepenuhnya dipahami oleh usaha manusia semata.

C. Ringkasan Jawaban atas Pertanyaan Utama

Perbedaan penggunaan dhamir pada “بُطُونِهِ” (An-Nahl 16:66) dan “بُطُونِهَا” (Al-Mu’minun 23:21) bukanlah suatu inkonsistensi atau kesalahan linguistik dalam Al-Qur’an. Sebaliknya, ini adalah manifestasi dari ketelitian dan kekayaan bahasa Arab yang digunakan dalam wahyu Ilahi.

  1. Penggunaan “هِ” (maskulin plural) di An-Nahl 16:66: Didapati bahwa pilihan ini didasarkan pada pertimbangan “الْأَنْعَامِ” sebagai lafadz jamak (plural dalam bentuknya). Dalam konteks ayat ini, yang secara spesifik membahas proses biologis yang rumit dari pembentukan susu “dari antara kotoran dan darah,” penggunaan dhamir maskulin plural mungkin bertujuan untuk menekankan aspek individu, kekuatan, atau keberagaman hewan ternak sebagai entitas fisik yang terlibat dalam transformasi yang menakjubkan ini.
  2. Penggunaan “هَا” (feminin singular) di Al-Mu’minun 23:21: Pilihan ini sesuai dengan kaidah umum jamak ghairu ‘aqil yang diperlakukan sebagai muannats mufrad (feminin singular). Dalam ayat ini, yang mencantumkan berbagai manfaat luas dari hewan ternak (susu, daging, bulu, transportasi), penggunaan dhamir feminin singular mungkin bertujuan untuk menekankan makna kolektif dan manfaat umum yang luas dari hewan ternak sebagai satu kesatuan anugerah. Hal ini menyoroti hewan ternak sebagai sumber keberkahan yang menyeluruh bagi manusia.

Kedua pilihan ini adalah manifestasi dari Iltifat, sebuah gaya retoris yang memperkaya makna, menarik perhatian, dan menunjukkan kemukjizatan bahasa Al-Qur’an yang tak tertandingi. Variasi ini menegaskan bahwa setiap pilihan kata dalam Al-Qur’an adalah disengaja dan sarat makna, menegaskan keagungan wahyu Ilahi.

Karya yang dikutip

  1. I’jaz – Wikipedia, diakses Juni 28, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/I%27jaz
  2. The Qur’an’s Challenge: A Literary & Linguistic Miracle – Just Dawah, diakses Juni 28, 2025, https://justdawah.org/life-of-the-muslim/further-reading/the-qur-an-s-challenge-a-literary-linguistic-miracle
  3. I’JAZ AL-QUR’AN | The Quran Blog, diakses Juni 28, 2025, https://thequranblog.files.wordpress.com/2010/04/ijaz-al-quran.pdf
  4. Ad Dhomair Al Munfashil wa Al Muttashil dalam Al Qur’an Surah As Sajadah Suatu A – Repository IAIN PAREPARE, diakses Juni 28, 2025, https://repository.iainpare.ac.id/id/eprint/4169/1/18.1500.016%20IRMA_DARWIS.pdf
  5. The Rhetoric of Shifting Between Pronouns and Numbers in the Qur’an: Selected Examples from Juz al-Ahqaf – PJLSS, diakses Juni 28, 2025, https://www.pjlss.edu.pk/pdf_files/2025_1/5970-5982.pdf
  6. Grammatical Shift For The Rhetorical Purposes: Iltifat And Related Features In The Qur’an – Islamic Awareness, diakses Juni 28, 2025, https://www.islamic-awareness.org/quran/text/grammar/iltifaat.html
  7. Quran 16:66 Surah an-Nahl Ayah 66 in Arabic and English, diakses Juni 28, 2025, https://v.corequran.com/16/66/
  8. وإن لكم في الأنعام لعبرة ۖ نسقيكم مما في بطونه من بين فرث ودم لبنا …, diakses Juni 28, 2025, https://www.dawateislami.net/quran/surah-an-nahl/ayat-66/translation-2/tafseer
  9. Surah An-Nahl Ayat 66 (16:66 Quran) With Tafsir – My Islam, diakses Juni 28, 2025, https://myislam.org/surah-nahl/ayat-66/
  10. Tafsir Surah An-Nahl – 66 – Quran.com, diakses Juni 28, 2025, https://quran.com/an-nahl/66/tafsirs
  11. Surah Nahl ayat 66 Tafsir Ibn Kathir | And indeed, for you in grazing livestock – القرآن الكريم, diakses Juni 28, 2025, https://surahquran.com/tafsir-english-aya-66-sora-16.html
  12. Surat Al-Mu’minun Ayat 21 Arab, Latin, Terjemah dan Tafsir | Baca di TafsirWeb, diakses Juni 28, 2025, https://tafsirweb.com/5913-surat-al-muminun-ayat-21.html
  13. Surat Al-Mu’minun Ayat 21: Arab, Latin, Terjemah dan Tafsir …, diakses Juni 28, 2025, https://quran.nu.or.id/al-mu’minun/21
  14. Surah Al-Mu’minun – 21 – Quran.com, diakses Juni 28, 2025, https://quran.com/al-muminun/21
  15. Surah An-Nahl 16:66-70 – Quran Translation Commentary – Tafsir Maariful Quran – Islamicstudies.info, diakses Juni 28, 2025, https://islamicstudies.info/quran/maarif.php?sura=16&verse=66&to=70
  16. Tafsir Surah An-Nahl – 66 – Quran.com, diakses Juni 28, 2025, https://quran.com/16:66/tafsirs/en-tafsir-maarif-ul-quran
  17. Tafsir Surah Al-Mu’minun – 21 – Quran.com, diakses Juni 28, 2025, https://quran.com/al-muminun/21/tafsirs
  18. Volume V, Nomor 1, Januari-Juni 2017 91 Kaidah Perubahan bentuk isim mufrad menjadi bentuk mutsana’ dan bentuk jama’ Ole – Rumah Jurnal UIN Alauddin Makassar, diakses Juni 28, 2025, https://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/Shautul-Arabiyah/article/download/2704/2540
  19. Surah Muminun ayat 21 Tafsir Ibn Kathir | And indeed, for you in livestock is – القرآن الكريم, diakses Juni 28, 2025, https://surahquran.com/tafsir-english-aya-21-sora-23.html
  20. Cahaya Iman – Tafsir Surah Al-Mukminun | PDF – Scribd, diakses Juni 28, 2025, https://id.scribd.com/document/522362459/Cahaya-Iman-Tafsir-Surah-Al-Mukminun
  21. RAHASIA ISIM MUFRAD, MUTSANA DAN JAMAK DALAM BAHASA ARAB, diakses Juni 28, 2025, https://jurnal.iuqibogor.ac.id/index.php/shawtularab/article/download/353/415
  22. Arabic Pronouns – With Types, Examples, And Worksheet – KALIMAH Center, diakses Juni 28, 2025, https://kalimah-center.com/arabic-pronouns/
  23. Arabic grammar – Wikipedia, diakses Juni 28, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Arabic_grammar
  24. Mengapa Setiap Jamak Tidak Berakal adalah Muannats Mufrad – YouTube, diakses Juni 28, 2025, https://www.youtube.com/watch?v=Kh-47gzc0fk
  25. Non-Human Plurals, diakses Juni 28, 2025, https://www.wku.edu/arabic/documents/xnonhumanplurals.docx
  26. Non human plural rule in Arabic – Verbling, diakses Juni 28, 2025, https://www.verbling.com/discussion/non-human-plural-rule-in-arabic
  27. Quranic Grammar – Gender – The Quranic Arabic Corpus, diakses Juni 28, 2025, https://corpus.quran.com/documentation/gender.jsp
  28. How did Arabic end up treating plural nonhuman nouns as singular feminine? – Reddit, diakses Juni 28, 2025, https://www.reddit.com/r/learn_arabic/comments/1eu5w2z/how_did_arabic_end_up_treating_plural_nonhuman/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *