Gagal Meneguk Telaga Rasul

Oleh: M. Danusiri (Anggota Pleno PDM Kota Semarang)

  1. Pengertian

Tidak ada seorangpun manusia yang dapat menjelaskan hakikat telaga Rasul kecuali Rasulullah sendiri. Mengapa? Telaga Rasul merupakan satu diantara sejumlah escatologi Islam, yaitu kabar dari langit atau samawi. Secara teknis bisa disebut sam’iyyât, yaitu kabar yang didengar dari langit oleh penguasa langit dan Utusan-Nya kepada umat yang beriman islamiS.

Karena itu, untuk menyelamatkan aqidah, umat Islam hanya boleh mengimani kabar dari langit yang hanya bersumber dari Allah dan Rasulullah Muhammad saw. Akibatnya, jika orang, selain Allah dan Rasulullah, betapapun orang itu dikagumi oleh banyak orang, disebut manusia suci, jika memberi penjelasan perkara gaib dan dikaitkan dengan dînul Islâm, sebenarnya bukan wilayah aqidah islamiyyah. Mengimani perkara ‘sam’iyyat yang bukan bersumber dari Allah maupun Utusan-Nya, justru masuk kategori khurafat. Khurafat adalah keyakinan bathil karena tidak bersumber dari Alquran maupun qauli Rasulillah saw. Itulah sebabnya penulis hanya menjelaskan hakikat telaga Rasul sejauh beliau menjelaskan kepada umatnya.

Satu-satunya penjelasan tentang telaga rasul hanya melalui sabda-sabda beliau sebagaimana terdokumentasikan dalam Kutub at-Tis’ah, yaitu kitab hadis yang Sembilan, meliputi: Ṣaḩîḩ Bukhari, Ṣaḩîḩ Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan at-Turmuẕi, Sunan an-Nasâ’i, Sunan Ibnu Mâjah, Musnad Aḩmad bin Ḫanbal, Sunan ad-Darimi, dan Muwaththa’ Mâlik. Ke Sembilan kitab hadis ini merupakan hadis induk. Selebihnya, umpama: Mustadrak al-Ḫakim, Su’abul Iman lil Baihaqi, Ṣaḩiḩât Ibnu Ḫibban, dan Ṣaḩîḩ Daruqutni nyaris hanya hasil telaah kemudian mendokumentasikannya ke dalam kitab hadis yang sumbernya dari kesembilan ulama hadis mutaqaddimun itu. Sebagian isi hadis berasal langsung dari kutub at-tis’ah, sebagian lainnya dari hadis-hadis yang dihimpun oleh Imam Hadis terutama Bukhari dan Muslim, namun tidak dimasukkan ke dalam naskah kitab hadisnya. Mereka memang bukan pengembara mencari hadis orisinal yang belum dihimpun ke dalam suatu kitab hadis.

Dari Sembilan ulama hadis itu hanya Malik bin Anas, Bukhari, dan Muslim yang benar-benar pengembara pengumpul hadis. Pernah ada himpunan hadis dari Ibnu Jalud tetapi karya itu sudah raib entah kemana. Itu saja, hasil himpunan hadis Malik bin Anas masih bercampur dengan habar shahabat, qaul tabi’in dan kualitas hadis sebagian sahih, hasan, da’if, bahkan palsu. Sementara dalam kitab-kitab Sunan banyak mengambil baik dari Bukhari dan Muslim yang tidak dimasukkan ke dalam kitab hadis himpunannya. Istilah hadis hasan oleh para penghimpun hadis Sunan, aslinya, baik oleh Bukhari maupun Muslim sudah termasuk hadis da’if. Menurut pendapat ulama pengarang kitab Sunan, kelehaman hadis hanya kategori ringan, sayang (dalam Bahasa Jawa eman-eman) kalau dibuang. Selanjutnya, hadis itu dimasukkan ke dalam naskah kitab hadis himpunannya dan diberi kualitas hadis hasan. Kalau kelemahannya lebih berat lagi, maka muncul istilah hasan lighairi. Aslinya, hadis hasan lighairi adalah hadis lemah, hanya karena banyak riwayatnya, maka satu sama lain dianggap saling menguatkan.

Berikut disajikan sebuah contoh matan hadis yang berbunyi:

إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوْرِثُوْا دِيْنَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَثُوْا العِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

Artinya:

Sesungguhnya ulama adalah pewaris pada nabi dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanya mewariskan ilmu, maka siapa yang mengambilnya berarti ia telah mengambil bagian yang banyak.” Abu Isa berkata: “Kami hanya mengetahui hadis ini kecuali dari hadis Ashim bin Raja` bin Haiwah dan hadis ini menurutku tidak tersambung sanadnya (Hadis riwayat at-Tumuzi: 2606).

Terhadap hadis riwayat at-Turmuzi ini, Abu Thahir Zubair Ali Zai mengatakan bahwa hadis ini ḍa’if sementara albani mengatakan shahih. Abu Dawud juga meriwayatkannya nomor 3157. Abu Thahir mengatakan ḍa’if padanya. Sementara riwayat Abu Dawud kedua nomor 3955, baik Abu Thahir maupun Albani mengatakan ṣaî. Riwayat an-Nasai nomor 4719 dinyatakan asan, riwayat Ibnu Majah nomor 219 dinyatakan ḍa’if,  riwayat ad-Darimi nomor 346 diyatakan ḍa’iful isnâd oleh Husein Salim Asad ad-Darani, riwayat Ahmad nomor 20723 dinyatakan ḍa’iful sanad oleh syu’aib al-Arnauth. Kesimpulannya, matan hadis tentang   إِنِّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ    menjadi simpang siur di kalangan ulama kritus hadis. Hadis yang berposisi ta’arruul isnad tentu kurang bijak jika digunakan sebagai ujjah dalam beragama, apalagi jika untuk mendukung kecenderunagn nafsu atas dasar motif-motif lain, umpama: urusan sosial, ekonomi, atau politik, yang semuanya di luar lillahi ta’ala.

Matan Hadis itu, di dalam naskah إن العلماء ورثة الأنبياء Bukhari hanya merupakan judul suatu kitab dalam arti praktis bab. Tidak ada hadis yang dimasukkan ke dalam bab itu. Mengapa? Kualitas hadis itu ḍa’if menurutnya. Imam Muslim, sama sekali tidak memasukannya ke dalam naskah kitab ṣaḩîḩ-nya. Oleh karena itu, berbagai penjelasan Nabi tentang telaga Rasul hanya bersumber dari kedua naskah, yaitu ṣaḩîḩ Bukhari dan ṣaḩîḩ Muslim karena kedua naskah itu telah terbukti ṣaḩîḩ menurut ilmu jarḩ wa ta’dil hadis. Hadis riwayat selain keduanya, dalam kutub at-tis’ah tetap digunakan sejauh terbukti ṣaḩîḩ. Jika ternyata matan hadis dari ketujuh kitab hadis dalam kutub at-tis’ah selain ṣaḩîḩ Bukhari dan ṣaḩîḩ Muslim hanya berkualitas ḩasan atau bahkan ḍa’if tetap diambil asal matan hadis itu semakna dengan kedua naskah Bukhari dan Muslim.

  1. Penjelasan Nabi Tentang Telaga

Pengertian telaga Rasul menurut beliau adalah sebagaimana tercermin dalam hadis berikut:

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ السَّعْدِيُّ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ أَخْبَرَنَا الْمُخْتَارُ بْنُ فُلْفُلٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ح و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ عَنْ الْمُخْتَارِ عَنْ أَنَسٍ قَالَ بَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ بَيْنَ أَظْهُرِنَا إِذْ أَغْفَى إِغْفَاءَةً ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ مُتَبَسِّمًا فَقُلْنَا مَا أَضْحَكَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أُنْزِلَتْ عَلَيَّ آنِفًا سُورَةٌ فَقَرَأَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ { إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ } ثُمَّ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْكَوْثَرُ فَقُلْنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّهُ نَهْرٌ وَعَدَنِيهِ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِ خَيْرٌ كَثِيرٌ هُوَ حَوْضٌ تَرِدُ عَلَيْهِ أُمَّتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ آنِيَتُهُ عَدَدُ النُّجُومِ فَيُخْتَلَجُ الْعَبْدُ مِنْهُمْ فَأَقُولُ رَبِّ إِنَّهُ مِنْ أُمَّتِي فَيَقُولُ مَا تَدْرِي مَا أَحْدَثَتْ بَعْدَكَ زَادَ ابْنُ حُجْرٍ فِي حَدِيثِهِ بَيْنَ أَظْهُرِنَا فِي الْمَسْجِدِ وَقَالَ مَا أَحْدَثَ بَعْدَكَ حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ أَخْبَرَنَا ابْنُ فُضَيْلٍ عَنْ مُخْتَارِ بْنِ فُلْفُلٍ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُا أَغْفَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِغْفَاءَةً بِنَحْوِ حَدِيثِ ابْنِ مُسْهِرٍ غَيْرَ أَنَّهُ قَالَ نَهْرٌ وَعَدَنِيهِ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ فِي الْجَنَّةِ عَلَيْهِ حَوْضٌ وَلَمْ يَذْكُرْ آنِيَتُهُ عَدَدُ النُّجُومِ

BACA JUGA:   Konsepsi Tauhid di Muhammadiyah

Artinya:

Telah menceritakan kepada kami Ali bin Hujr as-Sa’di telah menceritakan kepada kami Ali bin Mushir telah mengabarkan kepada kami al-Mukhtar bin Fulful dari Anas bin Malik – lewat jalur periwayatan lain– dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah sedangkan lafazh tersebut miliknya, telah menceritakan kepada kami Ali bin Mushir dari al-Mukhtar dari Anas dia berkata, “Pada suatu hari ketika Rasulullah di antara kami, tiba-tiba beliau tertidur, kemudian mengangkat kepalanya dalam keadaan tersenyum, maka kami bertanya, ‘Apa yang membuatmu tertawa wahai Rasulullah? ‘ Beliau menjawab, ‘Baru saja diturunkan kepadaku suatu surat, lalu beliau membaca, ‘Bismillahirrahmanirrahim, Inna A’thainaka al-Kautsar Fashalli Lirabbika Wanhar, Inna Syani’aka Huwa al-Abtar, ‘ kemudian beliau berkata, ‘Apakah kalian tahu, apakah al-Kautsar itu? ‘ Kami menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.’ Beliau bersabda, ‘Ia adalah sungai yang dijanjikan oleh Rabbku kepadaku. Padanya terdapat kebaikan yang banyak. Ia adalah telaga yang umatku menemuiku pada hari kiamat, wadahnya sebanyak jumlah bintang, lalu seorang hamba dari umatku terhalang darinya, maka aku berkata, ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya dia termasuk umatku’, maka Allah berkata, ‘Kamu tidak tahu sesuatu yang terjadi setelah (meninggalmu) ‘.” Ibnu Hujr menambahkan dalam haditsnya, “Di antara kami dalam masjid.” Dan kalimat, “Allah berfirman, ‘Sesuatu yang terjadi setelah meninggalmu’.” Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin al-‘Ala telah mengabarkan kepada kami Ibnu Fudhail dari Mukhtar bin Fulful dia berkata, “Saya mendengar Anas bin Malik berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidur”, sebagaimana hadits Ibnu Mushir, hanya saja dia berkata, ‘Sungai yang dijanjikan oleh Rabbku di surga, padanya terdapat telaga, ‘ dan dia tidak menyebutkan, ‘Wadahnya sebanyak jumlah bintang’ (HR. Muslim, 607).

Matan hadis yang menjelaskan mengenai hakikat telaga Rasul bernama al-Kauṡar. (HR an-Nasâ’i, 894; HR. ad-Darimi, 2715; Ibnu Majah, 4325; Muslim, 607; HR. Abu Dawud, 666, 4122; HR. Bukhari, 4583, 4584).  Pengertian tentang al-kauṡar menurut Rasulullah adalah:

 فَإِنَّهُ نَهْرٌ وَعَدَنِيهِ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِ خَيْرٌ كَثِيرٌ هُوَ حَوْضٌ تَرِدُ عَلَيْهِ أُمَّتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ آنِيَتُهُ عَدَدُ النُّجُومِ

(Beliau bersabda, ‘Ia adalah sungai yang dijanjikan oleh Rabbku kepadaku. Padanya terdapat kebaikan yang banyak. Ia adalah telaga yang umatku menemuiku pada hari kiamat, wadahnya sebanyak jumlah bintang). Teks hadis ini, secara makna juga diriwayatkan oleh: Bukhari nomor hadis 4583, 4584, dan 6092. Untuk nomor terakhir ini ada tambahan narasi: فَإِذَا طِينُهُ أَوْ طِيبُهُ مِسْكٌ   (ternyata tanahnya atau bau wanginya terbuat dari minyak misik). Ahmad meriwayatkan tentang telaga Rasul dengan keterangan tanahnya, baunya hingga 23 kali lipat dari minyak misik.

Riwayat semakna lainnya, tanpa keterangan tanah dan baunya adalah riwayat: an-Nasâ’i, 894; Abu Dawud, 666, 4122, 4123). Riwayat Imam Bukhari, 4582 menambahkan keterangan حَافَتَاهُ قِبَابُ اللُّؤْلُؤِ مُجَوَّفًا (kedua tepinya terdapat Qubah berongga yang terbuat dari mutiara).

Riwayat lainnya menyebutkan:

نَهْرٌ فِي الْجَنَّةِ حَافَّتَاهُ مِنْ ذَهَبٍ يَجْرِي عَلَى الدُّرِّ وَالْيَاقُوتِ تُرْبَتُهُ أَطْيَبُ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ وَطَعْمُهُ أَحْلَى مِنْ الْعَسَلِ وَمَاؤُهُ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنْ الثَّلْج

Artinya:

Itu adalah sungai di dalam surga, kedua tepinya terbuat dari emas, airnya mengalir di atas permata dan yaqut, tanahnya lebih wangi dari minyak misik, rasanya lebih manis dari pada madu, dan airnya lebih putih dari pada salju (HR. ad-Darimi, 2715; Ibnu Majah, 4325.

Dapat diringkas bahwa telaga Rasul bernama al-Kauṡar, adalah suangai besar yang terdapat di hari akhir kelak.  Air telaga itu untuk minuman umat Rasulullah. Gelas atau cangkir untuk minum sebanyak bintang di langit. Bau airnya sangat jauh lebih harum. Daripada minyak misik. Dasar arus air terdiri atas yaqut dan permata. Warna airnya lebih putih daripada salju dan rasanya lebih manis daripada madu. Dinding kanan dan kiri telaga itu terbuat dari batu bata yang baunya harum laksana minyak misik. Telaga itu ternaungi kubah berongga yang bahannya terdiri atas mutiara. Manfaat airnya sangat banyak. Meneguk Air Telaga Rasul Tak kan Haus Selamanya

Hadis Riwayat Bukhari menjelaskan sebagai berikut:

حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُطَرِّفٍ حَدَّثَنِي أَبُو حَازِمٍ عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ  قَالَ قَالَ النَّبِيُّ  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  إِنِّي فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ مَنْ مَرَّ عَلَيَّ شَرِبَ وَمَنْ شَرِبَ لَمْ يَظْمَأْ أَبَدًا

Artinya:

Telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Abi Maryam telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mutharrif telah menceritakan kepadaku Abu Hazim dari Sahal bin Sa’d mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Akulah pertama-tama yang mendangi telaga, siapa yang menuju telagaku akan minum, dan siapa yang meminumnya tak akan haus selama-lamanya(HR Bukhari, 6097, 6628; Muslim, 4243).

Teks hadis ini dapat dipahami bahwa, mula-mula Nabi mendahului umatnya menuju ke telaga. Setelah itu beliau berada di gerbang telaga seperti penjaganya. Selanjutnya, seorang demi seorang melewati Nabi. Ini tentu setelah memperoleh ijin dari Beliau. Jadi Rasul seperti penjaga tiket gerbang telaga.Disebutkan bahwa, siapa yang berhasil melewati telaga rasul pasti dapat meminum airnya. Siapa mereka itu, dengan model berpikir terbalik dari siapa saja yang tertolak untuk memasuki areal talaga untuk meminumnya, dapat disimpulkan bahwa mereka adalah yang konsisten hanya berpegang teguh pada Alquran dan sunahnya dalam keberagamaannya.

  1. Aṡar Wuḍû’

Ketika seluruh umat manusia mulai yang pertama hingga yang terakhir dikumpulkan di Padang mahsyar, umat Rasulullah Muhammad dapat dideteksi secara mudah. Ibarat dalam kelompok massal kuda hitam, terdapat beberapa kuda yang berwarna putih. Itulah umat Nabi Muhammad saw. Demikian teks hadis yang menggambarkannya:

BACA JUGA:   Menanti Kemunculan Imam Mahdi dan Dajjal: Rangkaian Peristiwa Akhir Zaman Berdasarkan Hadits

أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ لِرَجُلٍ خَيْلٌ غُرٌّ مُحَجَّلَةٌ فِي خَيْلٍ دُهْمٍ بُهْمٍ أَلَا يَعْرِفُ خَيْلَهُ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَإِنَّهُمْ يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ الْوُضُوءِ وَأَنَا فَرَطُهُمْ عَلَى الْحَوْضِ فَلَا يُذَادَنَّ رِجَالٌ عَنْ حَوْضِي كَمَا يُذَادُ الْبَعِيرُ الضَّالُّ

Artinya

Bagaimana pendapatmu jika ada seorang lelaki yang memiliki kuda putih cemerlang di antara kuda hitam yang pekat, bukankah dia mengetahuinya?” mereka menjawab; “Ya benar wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya mereka datang pada Hari Kiamat dengan putih bersinar karena wudlu, saya yang akan menyambut mereka di telaga. Maka jangan sampai ada yang terusir dari telagaku, sebagaimana unta tersesat yang terusir

(HR. Malik, 53; Muslim, 367’ Ibnu Majah, 4296; Ahmad hadis nomor: 7652, 8924, 21756, 10788, 21803, dan 25335).

Meskipun umat Muhammad memiliki warna putih akibat wudu ketika masih hidup di dunia dan membedakan diantara seluruh umat manusia, belum memiliki jaminan dapat melewati Rasul untuk meneguk air di telaga. Secara implisit terdapat peringatan sebagaimana tampak di akhir teks ini:

فَلَا يُذَادَنَّ رِجَالٌ عَنْ حَوْضِي

(Maka jangan sampai ada yang terusir dari telagaku).

  1. Umat yang gagal meminum air telaga Rasul

Sebagian umat Rasul tidak dapat meminum air telaganya. Mengpa? Lanjutan hadis Bukhari nomor 6097 dan Muslim nomor 607 di atas:

لَيَرِدَنَّ عَلَيَّ أَقْوَامٌ أَعْرِفُهُمْ وَيَعْرِفُونِي ثُمَّ يُحَالُ بَيْنِي وَبَيْنَهُمْ قَالَ أَبُو حَازِمٍ فَسَمِعَنِي النُّعْمَانُ بْنُ أَبِي عَيَّاشٍ فَقَالَ هَكَذَا سَمِعْتَ مِنْ سَهْلٍ فَقُلْتُ نَعَمْ فَقَالَ أَشْهَدُ عَلَى أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ لَسَمِعْتُهُ وَهُوَ يَزِيدُ فِيهَا فَأَقُولُ إِنَّهُمْ مِنِّي فَيُقَالُ إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ غَيَّرَ بَعْدِي

Artinya:

Sungguh akan ada beberapa kaum yang mendatangiku dan aku mengenalnya dan mereka juga mengenaliku, kemudian antara aku dan mereka dihalangi.” Kata Abu Hazim, Nu’man bin Abi ‘Ayyasy mendengarku, maka ia berkomentar; ‘Beginikah kamu mendengar dari Sahal?  ‘Iya’ Jawabku. Lalu ia berujar; ‘Saya bersaksi kepada Abu Sa’id Alkhudzri, sungguh aku mendengarnya dan dia menambahi redaksi; Aku berkata; ‘mereka adalah golonganku! Tetapi di jawab; ‘Sungguh engkau tidak tahu apa yang mereka lakukan sepeninggalmu! Maka aku berkata; ‘menjauh, menjauh, bagi orang yang mengubah sepeninggalku.

Ungkapan lainnya menunjukkan kata:  لِمَنْ غَيَّرَ بَعْدِي (bagi yang merubah sesudahku) dengan lafal masih dalam unit hadis di atas adalah: أَحْدَثُوا بَعْدَكَ   (mereka mengada-ada sesudahmu). Lafal lainnya مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ (mereka mengubah sesuatu sesudahmu – HR Bukhari, 6528). Lafal Muslim: مَا عَمِلُوا بَعْدَكَ ( Apa yang mereka lakukan sesudahmu – Muslim, 4243).

Contoh mengada-ada antara lain tahlilan dan yasinan yang pahalanya dikirimkan kepada orang yang sudah meninggal, umpama Nabi, para sahabat, tabi’in, yang diyakini para waliullah, para ulama’, pengarang kitab (munnifûn), para masyayihk Sufi, dan seluruh ahli kubur Muslimin Muslimat. Ritual ini dikatakan mengada-ada karena tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, para sahabat, dan tabi’in atau secara umum generasi awal-awal Islam.

Contoh mengganti sekaligus mengada-ada suatu ritual keagamaan diukur dari tradisi Nabi adalah do’a akhir dan awal tahun baru. Sementara Nabi setiap tanggal baru hijriyah, termasuk berbarengan dengan tanggal 1 Muharram mengajarkan do’a:

قَالَ اللَّهُمَّ أَهْلِلْهُ عَلَيْنَا بِالْيُمْنِ وَالْإِيمَانِ وَالسَّلَامَةِ وَالْإِسْلَامِ رَبِّي وَرَبُّكَ اللَّهُ

(HR at-Turmudzi, 3373), atau

اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالْيُمْنِ وَالْإِيمَانِ وَالسَّلَامَةِ وَالْإِسْلَامِ رَبِّي وَرَبُّكَ اللَّهُ

(HR Ahmad, 1234), atau

اللَّهُ أَكْبَرُ الْحَمْدُ لِلَّهِ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَ هَذَا الشَّهْرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ الْقَدَرِ وَمِنْ سُوءِ الْحَشْرِ

(HR Ahmad, 21726). Atau secara umum tradisi dan budaya baru yang didasarkan pada aqidah bathiliyah (tahayyul dan khurafat).

Contoh melakukan sesuatu yang di era Rasulullah tidak dilakukannya, antara lain: (1) salat anisil qabri, yaitu salat yang diniatkan pahalanya untuk orang yang telah meninggal dunia, khususnya ditujukan untuk meringankan siksa kubur di malam pertama setelah kematian. (2) Ritual barjanjian atau dikenal berjanjen dengan meyakini bahwa Rasulullah hadir di halaqah rutual itu dan menebar berkah kepada partisipannya, dan (3) manaqiban syeikh Abdul Qadir Jailani dengan keyakinan bahwa Syeikh Abdul Qadir hadir dalam halaqah itu selanjutnya menebar berkah kepada parsisipan ritual.

Para pelaksana ritual keagamaan yang tergolong mengada-ada, merubah-rubah, atau mengganti-ganti perlu diingatkan bahwa:

  • Ritus-ritus itu tergolong amalan yang tertolak

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

(Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak (HR. Bukhari, 20 dan Muslim, 1718).

  • Termasuk keluar dari Islam

يَخْرُجُ فِيكُمْ قَوْمٌ تَحْقِرُونَ صَلَاتَكُمْ مَعَ صَلَاتِهِمْ وَصِيَامَكُمْ مَعَ صِيَامِهِمْ وَعَمَلَكُمْ مَعَ عَمَلِهِمْ وَيَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ

BACA JUGA:   Istiqomah Dalam Amaliah Islam

Akan muncul di antara kalian suatu kaum yang kalian meremehkan salat kalian (para sahabat), puasa kalian, dan amal kalian di samping salat mereka, puasa mereka, dan amal mereka. Mereka rajin membaca Alquran tetapi (pengaruhnya) tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka keluar dari Islam seperti anak panah yang keluar menembus sasarannya.” (HR. Bukhari, no. 5058, 6931; Muslim, no. 1064).

  • Allah menghendaki bahwa di dalam berislam itu harus murni tanpa campuran

اِنَّاۤ اَنۡزَلۡنَاۤ اِلَيۡكَ الۡكِتٰبَ بِالۡحَقِّ فَاعۡبُدِ اللّٰهَ مُخۡلِصًا لَّهُ الدِّيۡنَ

(Sesungguhnya Kami menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya (QS az-Zumar ayat 2:

اَلَا لِلّٰهِ الدِّيۡنُ الۡخَالِصُ‌

(Ingatlah! Hanya milik Allah agama yang murni QS az-Zumar ayat 3).

  قُلۡ اِنِّىۡۤ اُمِرۡتُ اَنۡ اَعۡبُدَ اللّٰهَ مُخۡلِصًا لَّهُ الدِّيۡنَۙ

(Katakanlah, “Sesungguhnya aku diperintahkan agar menyembah Allah dengan penuh ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama- QS az-Zumar ayat 11).

 قُلِ اللّٰهَ اَعۡبُدُ مُخۡلِصًا لَّهٗ دِيۡنِىۙ

(Katakanlah, “Hanya Allah yang aku sembah dengan penuh ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku- QS az-Zumar ayat 14).

  1. Sebagian Umat Rasul Tertolak masuk ke pintu gerbang Telaga

Semula Rasul hendak mengijinkan meneguk air telaga kepada semua umatnya, yaitu beliau mengenalnya dan umat juga mengenal beliau. Tanda pengenalnya adalah aar wuḍû. Namun diantara mereka ada yang dihalangi oleh petugas pintu gerbang telaga يُحَالُ بَيْنِي وَبَيْنَهُمْ (kemudian dihalangi antara aku dan meereka).  Lafal lain tetapi maksudnya Sama adalah فَلَا يُذَادَنَّ رِجَالٌ عَنْ حَوْضِي كَمَا يُذَادُ الْبَعِيرُ الضَّالُّ (Maka jangan sampai ada yang terusir dari telagaku, sebagaimana unta tersesat yang terusir). فَيُحَلَّئُونَ عَنْ الْحَوْضِ (kemudian mereka disingkirkan dari telaga); dan تَرِدُهُ عَلَيَّ أُمَّتِي فَيُخْتَلَجُ الْعَبْدُ مِنْهُمْ  (Umatku banyak yang datang kepadaku, namun salah seorang umatku ini ditariknya).

Pada saat adegan pengusiran sebagian umat Rasul memasuki areal telaga, spontan Rasul berkata keras:  أَعْرِفُهُمْ وَيَعْرِفُونِي (aku kenal mereka dan mereka mengenalku). Dalam lafal lain disebutkan فَأَقُولُ يَا رَبِّ إِنَّهُ مِنْ أُمَّتِي (Ya Rabbi, dia umatku). Bahkan, orang yang terhalang untuk meneguk air telaga Rasul itu lebih dekat lagi hubungannya dengan beliau, yaitu sahabatnya sendiri. Kepada mereka, Rasul mengadu kepada Allah: فَأَقُولُ يَا رَبِّ أَصْحَابِي (Aku berkata: mereka adalah sahabatku!). Untuk itu beliau mengundang mereka yang terusir itu dengan panggilan: أَلَا هَلُمَّ أَلَا هَلُمَّ أَلَا هَلُمَّ (‘Ayolah ke sini, ayolah ke sini! ayolah kesini!).

Apresiasi penjaga gerbang telaga terhadap afirmasi atau undangan Rasul kepada umatnya untuk memberikan kesempatan meminum air telaga yang ternyata tertolak kehadirannya, mengatakan: إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا عَمِلُوا بَعْدَكَ (Sesungguhnya kamu tidak tahu apa yang mereka lakukan sepeninggalmu (HR. Muslim, 4243); إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ  (sesungguhnya kamu tidak mengetahui apa yang mereka ada-adakan sepeningmu (HR Muslim, 4247);  إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثَ بَعْدَكَ (Engkau tidak tahu apa yang terjadi setelahmu (HR an-Nasâ’i, 894); إِنَّكَ لَا عِلْمَ لَكَ بِمَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ (sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang mereka ada-adakan sepeninggalmu (HR Bukhari, 6097); dan إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ (kamu tidak tahu perubahan yang mereka lakukan sepeninggalmu! (HR Bukhari 6528; Ibnu Majah, 4296).

Ringkasnya, orang yang tertolak untuk memasuki areal telaga Rasul adalah sahabat atau pengikut Nabi dengan ciri bagaikan kudah putih diantara belantara kuda hitam, namun mereka mengada-ada (ida), atau mengubah-ubah (ghayyaraa), atau mengangantikan (baddala) tradisi (Sunnah)  yang dibangun oleh Rasulullah saw.

  1. Respon Tegas Nabi

Setelah Rasul mengetahui mengapa diantara sahabat dan umatnya terhalangi, terhalau, ditarik, atau tersingkirkan dari telaga dan beliau mengetahui penyebabnya setelah memperoleh pencerahan dari petugas, Rasul kemudian berteriak lantang: سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ غَيَّرَ بَعْدِي (menjauh, menjauh, bagi orang yang mengubah sepeninggalku – HR Bukhari, 6097); سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِي  (Celaka, celaka bagi orang yang mengganti sepeninggalku! (HR. Bukhari, 6528; Muslim 4243); أَلَا سُحْقًا سُحْقًا (menjauhlah, menjauhlah – HR. Ibnu Majah, 4296); فَسُحْقًا فَسُحْقًا فَسُحْقًا ( ‘Menjauhlah, menjauh, menjauh (HR. Malik, 53, Muslim 367); سُحْقًا (celakalah – HR Muslim, 4247); فَيَقُولُ بُعْدًا لَكُنَّ وَسُحْقًا فَعَنْكُنَّ كُنْتُ أُنَاضِلُ (Beliau bersabda: Menjauhlah kamu sekalian, bukankah aku dulu membelamu (HR. Muslim, 5271).

        Inti sabda keras Rasul adalah penolakannya kepada mereka yang terbukti mengubah-ubah, mengganti, mengada-ada urusan agama (ibadah maḩḍḩ, pen) untuk meneguk air telaganya. Dalam urusan agama Nabi antara lain bersabda secara tegas:

  1. Penutup

Sebagai umat Nabi Muhammad saw, harus membatasi diri hanya mengikuti Sunnah-sunnahnya sejauh tahu dan mampu. Sementara itu terus mencari ilmu (ta’lim) sepanjang hayat agar lebih banyak mengetahui apa-apa dan mana yang semestinya dapat dicontoh dari beliau sebagai uswatun hasanah.  Dalam urusan duniawi, umat Rasulullah diberi keleluasan untuk menjalaninya. Dalam hal ini Rasulullah bersabda: أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ (“Kamu lebih mengetahui urusan duniamu (HR Muslim, 2363). Sebaliknya, dalam urusan keagamaan harus merujuk kepada Rasulullah.

Demikian Rasulullah memberi pengarahan:

   إِذَا حَدَّثْتُكُمْ عَنِ اللَّهِ شَيْئًا فَخُذُوا بِهِ فَإِنِّى لَنْ أَكْذِبَ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Jika aku berbicara kepada kalian sesuatu dari Allah, maka ambillah karena aku tidak akan pernah mendustai Allah ‘Azza wa Jalla.(HR Muslim, 2361).

Oleh karena itu, sebagai umat Muhammad sangat tidak bijaksana jika mengada-ada dalam urusan keagamaan yang berada di luar kawasan ijtihadiyah. Sikap yang benar adalah tauqifi (mensinergi) atau ta’abbudi (tunduk patuh melaksanakan dengan kesungguhan lahir-batin), ikhla Lillâhi Ta’alaWallâhu A’lamu bi aawâb).

Semarang, medio Juni 2025

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *