Bertakwa Sesuai Kesanggupan: Analisis Holistik Prinsip Kemudahan dalam Islam Berdasarkan Surah At-Taghabun Ayat 16

Potongan ayat Al-Qur’an, “…Fattaqullāha mastatho‘tum…” (“…Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu…”), yang merupakan bagian dari Surah At-Taghabun ayat 16, menyajikan sebuah prinsip fundamental dalam teologi dan praktik keagamaan Islam. Ayat ini bukan sekadar keringanan, melainkan sebuah paradigma komprehensif yang menyeimbangkan antara tuntutan ilahiah yang ideal dengan realitas keterbatasan manusia. Laporan ini akan menguraikan secara mendalam makna ayat tersebut, mengharmonisasikannya dengan dalil-dalil lain, dan mengilustrasikan implementasi praktisnya dalam ibadah dan kehidupan sehari-hari, menunjukkan bagaimana Islam memandang kesalehan sebagai jalan yang dapat diakses oleh setiap individu sesuai dengan kapasitas unik mereka.

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Dekonstruksi Ayat – “Maka Bertakwalah Kamu kepada Allah Menurut Kesanggupanmu”

Untuk memahami kedalaman makna Surah At-Taghabun ayat 16, diperlukan sebuah analisis yang membedah setiap komponennya, mulai dari aspek linguistik hingga konteksnya di dalam surat tersebut.

Analisis Linguistik dan Leksikal: Makna Dinamis Taqwa dan Istaṭā’ah

Perintah yang menjadi inti pembahasan, Fattaqū (Maka bertakwalah), berasal dari akar kata Arab w-q-y, yang secara harfiah berarti “melindungi” atau “menjaga diri”.1 Dengan demikian,taqwa bukanlah sekadar rasa takut pasif, melainkan sebuah  kesadaran aktif dan sikap proaktif untuk melindungi diri dari murka Allah dengan cara menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ini adalah kondisi kesadaran akan Tuhan yang konstan.

Frasa kunci dalam ayat ini adalah mā istaṭa’tum (menurut kesanggupanmu). Kata istaṭā’ah (kesanggupan atau kemampuan) berasal dari akar kata ṭ-w-‘, yang menyiratkan pengerahan usaha hingga batas maksimal dari kekuatan dan potensi yang dimiliki.2 Ini bukanlah izin untuk bermalas-malasan atau melakukan upaya minimal, melainkan sebuah perintah untuk berjuang sekuat tenaga dalam koridor kemampuan yang telah Allah anugerahkan kepada setiap individu. Makna ini diperkuat oleh sebuah hadis Nabi Muhammad SAW: “Apabila saya perintahkan kamu dengan sesuatu maka laksanakanlah dengan maksimal (mā istaṭa’tum)”.4 Dengan demikian, ayat ini menuntut pengerahan daya upaya secara total, namun dalam batas-batas yang realistis bagi setiap hamba.

Konteks Surat At-Taghabun: Ujian (Fitna) Harta dan Keluarga

Ayat 16 tidak dapat dipahami secara terpisah dari ayat-ayat yang mendahuluinya. Ayat ini turun tepat setelah Allah SWT memberikan peringatan keras pada ayat 14 dan 15: “Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu…” dan “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu)…”.3 Dalam konteks ini, perintah untuk bertakwa “sesuai kesanggupan” muncul sebagai solusi ilahiah untuk menghadapi ujian-ujian personal yang paling berat ini.

“Permusuhan” yang dimaksud bukanlah kebencian harfiah, melainkan potensi bagi orang-orang terkasih dan harta benda untuk menjadi penghalang atau pengalih perhatian dari ketaatan kepada Allah.3 Prinsip mā istaṭa’tum menawarkan jalan tengah yang seimbang: ia tidak menuntut penolakan total terhadap keluarga dan dunia (asketisme), melainkan sebuah usaha yang tekun dan realistis untuk mengelola tanggung jawab duniawi ini tanpa mengorbankan keimanan.6 Nama surat ini sendiri,

At-Taghabun—yang berarti “Hari Dinampakkan Kesalahan-kesalahan” atau “Hari Untung dan Rugi”—menegaskan konteks eskatologis di mana cara seseorang mengelola ujian duniawi ini akan terungkap pada Hari Kiamat.7

 

Rangkaian Perintah Lanjutan: Mendengar, Taat, dan Berinfak

Setelah menetapkan prinsip umum takwa, ayat ini melanjutkan dengan tiga perintah praktis yang saling terkait: wasma’ū (dan dengarlah), wa aṭī’ū (serta taatlah), dan wa anfiqū (dan nafkahkanlah).2 Ketiganya membentuk sebuah proses yang terintegrasi:

  1. Wasma’ū (Mendengar): Ini bukan sekadar mendengar secara pasif, melainkan mendengarkan secara aktif yang disertai perenungan (tafakur) dan kerendahan hati untuk menerima bimbingan.2 Ia adalah gerbang utama menuju ilmu dan ketaatan.
  2. Wa aṭī’ū (Taat): Ini adalah aplikasi praktis dari apa yang telah didengar dan dipahami. Ketaatan merupakan wujud ketundukan konkret terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya, mengubah ilmu menjadi amal.2
  3. Wa anfiqū (Berinfak): Perintah untuk berinfak atau menafkahkan harta disebutkan secara khusus di antara berbagai bentuk ketaatan lainnya. Hal ini menunjukkan kedudukannya yang sangat penting, terutama sebagai antitesis langsung terhadap fitna harta yang disebutkan di ayat sebelumnya.6 Frasa khairan li`anfusikum (yang baik untuk dirimu) menegaskan bahwa penerima manfaat utama dari infak adalah si pemberi itu sendiri, bukan penerima.2

 

Puncak Keberuntungan: Terpelihara dari Kekikiran Diri (Shuhh an-Nafs)

Ayat ini mencapai puncaknya dengan sebuah pernyataan psikologis dan spiritual yang mendalam: wa man yūqa shuhha nafsihī fa ulā`ika humul-mufliḥūn (Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung).2

Para ahli tafsir membedakan antara bukhl (kikir atau pelit) dengan shuhh. Shuhh adalah penyakit jiwa yang lebih dalam, sebuah ketamakan dan sifat posesif yang tidak hanya menghalangi seseorang untuk memberi, tetapi juga menginginkan apa yang dimiliki orang lain.2 Penggunaan kata kerja dalam bentuk pasif,

BACA JUGA:   Doa Minta Pemimpin yang Baik

yūqa (dipelihara atau dijaga), mengisyaratkan bahwa untuk mengatasi penyakit shuhh ini, diperlukan dua hal: usaha manusia (melalui ketaatan dan infak) dan pertolongan serta perlindungan dari Allah. Ayat ini mendefinisikan ulang makna kesuksesan sejati (al-falāḥ). Keberuntungan hakiki di dunia dan akhirat tidak diukur dari akumulasi harta, melainkan dari kemenangan spiritual internal dalam melawan kerakusan jiwa.

Dengan demikian, ayat 16 menyajikan sebuah kerangka kerja spiritual yang utuh. Ia dimulai dengan diagnosis masalah (ujian harta dan keluarga), memberikan prinsip utama (takwa sesuai kemampuan), menyajikan metodologi (mendengar, taat, berinfak), menawarkan terapi spesifik (infak sebagai penawar shuhh), dan diakhiri dengan definisi kesuksesan sejati (terbebas dari shuhh).

Harmonisasi Dalil – Antara Tuntutan Ideal dan Realitas Kemampuan

Prinsip mā istaṭa’tum menjadi kunci untuk memahami bagaimana syariat Islam menyeimbangkan antara standar ideal dan aplikasi praktis, terutama ketika dihadapkan dengan ayat-ayat lain yang tampak menuntut standar absolut.

Dialog Tekstual: At-Taghabun 16 vs. Ali ‘Imran 102

Sekilas, terdapat ketegangan antara Surah At-Taghabun 16 (Fattaqullāha mā istaṭa’tum) dengan Surah Ali ‘Imran 102: Yā ayyuhallażīna āmanuttaqullāha ḥaqqa tuqātihī (Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya).7 Satu ayat seolah menetapkan standar relatif (“sesuai kesanggupan”), sementara yang lain menetapkan standar absolut (“sebenar-benar takwa”).

Konteks historis menunjukkan bahwa sebagian sahabat pada masa awal memahami perintah ḥaqqa tuqātih sebagai tuntutan untuk beribadah secara ekstrem, hingga menyebabkan kaki mereka bengkak dan dahi mereka terluka karena sujud yang terlalu lama. Sebagai respons, turunlah Surah At-Taghabun ayat 16 sebagai sebuah keringanan dan penjelasan.1

 

Bukan Abrogasi (Naskh), Melainkan Penjelasan Praktis (Bayān)

Mayoritas ulama berpendapat bahwa Surah At-Taghabun 16 tidak menghapus (naskh) hukum dalam Surah Ali ‘Imran 102. Sebaliknya, ia berfungsi sebagai bayān (penjelasan) atau takhṣīṣ (pengkhususan) yang menerangkan makna praktis dari “sebenar-benar takwa”. Ḥaqqa tuqātih adalah niat, tujuan, dan ideal yang harus dicita-citakan, yaitu dengan mematuhi-Nya tanpa membangkang, mengingat-Nya tanpa melupakan, dan mensyukuri-Nya tanpa mengingkari.13 Sementara itu, mā istaṭa’tum adalah metodologi dan standar pertanggungjawaban di hadapan Allah. “Sebenar-benar takwa” pada hakikatnya adalah pengerahan seluruh kapasitas yang dianugerahkan Allah dengan tulus, bukan sebuah tuntutan untuk melakukan hal yang mustahil.1 Harmonisasi ini sejalan dengan prinsip Al-Qur’an lainnya, seperti

Lā yukallifullāhu nafsan illā wus’ahā

(Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya) dalam Surah Al-Baqarah ayat 286.15

 

Tabel 2.1: Perbandingan Pandangan Ulama Mengenai Hubungan QS. At-Taghabun 16 dan QS. Ali ‘Imran 102
Pandangan
Naskh (Abrogasi)
Bayān (Penjelasan) / Takhṣīṣ (Pengkhususan)

Fondasi Syariat: Al-Yusr (Kemudahan) dan Raf’ al-Ḥaraj (Menghilangkan Kesulitan)

Prinsip mā istaṭa’tum bukanlah sebuah aturan yang terisolasi, melainkan manifestasi dari etos fundamental syariat Islam, yaitu al-yusr (kemudahan) dan raf’ al-ḥaraj (penghapusan kesulitan). Allah SWT secara eksplisit menyatakan prinsip ini dalam berbagai ayat:

  • Surah Al-Baqarah ayat 185: Yurīdullāhu bikumul-yusra wa lā yurīdu bikumul-‘usr (Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu).5
  • Surah Al-Hajj ayat 78: wa mā ja’ala ‘alaykum fid-dīni min ḥaraj (dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan).16

Prinsip ini juga ditegaskan dalam banyak hadis, salah satunya yang sangat terkenal: “Innaddīna yusrun…” (Sesungguhnya agama itu mudah…).17 Dengan demikian, ayat dalam Surah At-Taghabun ini merupakan perwujudan dari sifat Allah Yang Maha Pengasih, yang memastikan bahwa syariat-Nya selalu selaras dengan fitrah dan kemampuan manusia.16 Ia menjadi jembatan antara idealisme perintah Tuhan yang sempurna dan realitas kapasitas manusia yang terbatas, menumbuhkan harapan dan semangat untuk terus berusaha, bukan keputusasaan.

Implementasi Praktis Prinsip Mā Istaṭa’tum dalam Ibadah dan Kehidupan

Prinsip teologis ini memiliki implikasi yang sangat luas dan praktis, yang termanifestasi dalam berbagai aspek ibadah dan interaksi sosial.

Fleksibilitas dalam Ibadah Ritual (Rukhsah)

Aplikasi paling jelas dari prinsip mā istaṭa’tum dalam fikih (yurisprudensi Islam) adalah adanya rukhsah atau keringanan dalam ibadah.

  • Salat: Seorang musafir (pelancong) diperbolehkan untuk menyingkat (qashar) salat empat rakaat menjadi dua dan menggabungkan (jamak) dua waktu salat.21 Orang yang sakit dan tidak mampu berdiri, boleh salat sambil duduk, berbaring, atau bahkan dengan isyarat sesuai kemampuannya.20
  • Bersuci: Ketika air tidak tersedia atau penggunaannya dapat membahayakan kesehatan, syariat memperbolehkan tayammum (bersuci dengan debu yang bersih) sebagai pengganti wudu atau mandi wajib.21
  • Puasa: Orang yang sakit, musafir, lansia yang sudah tidak kuat, serta wanita hamil dan menyusui diberi keringanan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadan. Mereka diwajibkan menggantinya di hari lain (qadha) atau membayar fidyah (memberi makan orang miskin) sesuai dengan kondisi spesifiknya.27
  • Haji: Ibadah haji hanya diwajibkan bagi mereka yang memiliki kesanggupan (istithā’ah) dari segi finansial, fisik, dan keamanan perjalanan.20
BACA JUGA:   Kefasihan dalam Pengabdian: Analisis Berlapis Dimensi Linguistik dan Teologis dari Iyya kana'budu dalam Surah Al-Fatihah

 

Memperluas Spektrum Ibadah: Ketika Harta Bukan Satu-satunya Jalan

Prinsip ini secara radikal memperluas makna ibadah dan sedekah, menjadikannya dapat diakses oleh semua orang, terlepas dari status ekonominya. Ini adalah jawaban langsung bagi mereka yang merasa tidak mampu beribadah karena keterbatasan harta.

  • Sedekah Ilmu: Mengajarkan ilmu yang bermanfaat adalah salah satu bentuk sedekah yang paling utama. Ia tergolong sebagai sedekah jariyah, yang pahalanya akan terus mengalir bahkan setelah seseorang meninggal dunia.33 Setiap orang yang memiliki pengetahuan, baik itu guru, orang tua, atau teman, dapat bersedekah dengan cara ini.
  • Sedekah Tenaga dan Keterampilan: Menggunakan kekuatan fisik atau keahlian untuk membantu orang lain adalah bentuk sedekah yang bernilai tinggi. Contohnya termasuk membantu tetangga yang sedang pindah rumah, menolong orang buta menyeberang jalan, atau menjadi relawan dalam kegiatan sosial.35
  • Sedekah Akhlak (Karakter): Ini adalah bentuk sedekah yang paling mudah dan dapat dilakukan oleh siapa saja, kapan saja. Ia mencakup:
    • Senyuman yang tulus, sebagaimana sabda Nabi: “Senyumanmu kepada saudaramu adalah sedekah”.36
    • Bertutur kata yang baik dan berzikir kepada Allah.37
    • Menyingkirkan duri, batu, atau halangan lain dari jalan.37
    • Menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar ma’ruf nahi munkar).37

Dengan demikian, “kekayaan” dalam Islam tidak lagi didefinisikan secara sempit sebagai modal finansial. Ia menjadi sebuah konsep holistik yang mencakup modal intelektual (ilmu), modal fisik (tenaga), dan modal sosial-emosional (akhlak). Setiap individu memiliki “portofolio aset” yang unik untuk “diinvestasikan” di jalan Allah, yang secara efektif mendemokratisasi kesalehan.

Menemukan Keseimbangan: Antara Ekstremisme (Ghuluw) dan Kelalaian (Tafrīṭ)

Penting untuk ditekankan bahwa prinsip mā istaṭa’tum adalah pedang bermata dua. Ia tidak boleh disalahgunakan sebagai dalih untuk kemalasan, kelalaian (tafrīṭ), atau mencari-cari alasan untuk tidak beribadah.3 Kesanggupan bukanlah sesuatu yang statis. Seorang mukmin dituntut untuk senantiasa berusaha meningkatkan kapasitasnya, baik melalui belajar untuk menambah ilmu, menjaga kesehatan untuk menambah kekuatan fisik, maupun melatih jiwa untuk menambah kesabaran dan keikhlasan.

Ayat ini adalah benteng yang melindungi dari sikap berlebih-lebihan dalam beragama (ghuluw) yang dapat menyebabkan kebosanan dan keputusasaan. Namun, ia bukanlah lisensi untuk minimalisme spiritual.18 Tujuannya adalah menempatkan seorang hamba pada jalur pertumbuhan yang berkelanjutan, sebagaimana diisyaratkan dalam hadis: “sadiddu wa qaribu” (kerjakanlah dengan semestinya, atau mendekati semestinya, dan bergembiralah).18

 

Kesimpulan dan Refleksi – Menuju Kehidupan yang Seimbang dan Produktif

Analisis mendalam terhadap Surah At-Taghabun ayat 16 menyingkapkan sebuah prinsip yang jauh lebih kaya dari sekadar aturan fikih. Ia adalah sebuah paradigma holistik untuk menjalani kehidupan sebagai seorang mukmin.

Sintesis Konsep: Paradigma Holistik untuk Keimanan

Surah At-Taghabun ayat 16, Fattaqullāha mastatho‘tum, adalah fondasi bagi sebuah keimanan yang dinamis, realistis, dan inklusif. Ia mengharmonisasikan idealisme ilahi dengan realitas kemanusiaan, melindungi umat dari dua jurang ekstrem: fanatisme yang memberatkan (ghuluw) dan kelalaian yang meremehkan (tafrīṭ). Ayat ini mendefinisikan ulang kesuksesan sebagai kemenangan spiritual atas kerakusan diri dan memperluas arena ibadah hingga mencakup setiap aspek positif dari kapabilitas manusia. Ia membangun hubungan antara hamba dan Tuhan yang didasari oleh usaha tulus dan rahmat yang luas, bukan tuntutan mustahil dan ketakutan.

Rekomendasi Praktis untuk Muslim Kontemporer

Untuk menginternalisasi dan mengamalkan hikmah dari ayat ini dalam kehidupan modern, beberapa langkah praktis dapat diambil:

  1. Lakukan Audit Kapasitas Diri: Secara sadar, identifikasikan dan daftarkan “aset” yang dimiliki. Ini tidak hanya mencakup aset finansial, tetapi juga ilmu pengetahuan, keterampilan (misalnya, menulis, mengajar, memasak, mendesain), waktu luang, kekuatan fisik, dan kekuatan karakter (misalnya, kesabaran, kemampuan mendengarkan).
  2. Diversifikasi “Portofolio Amal”: Berdasarkan hasil audit tersebut, buatlah sebuah rencana amal yang beragam. Alih-alih hanya fokus pada sedekah uang, seseorang dapat merencanakan: “Pekan ini, sedekah finansial saya adalah sekian. Sedekah ilmu saya adalah mengajarkan satu konsep baru kepada anak saya. Sedekah tenaga saya adalah membantu kegiatan di lingkungan selama satu jam. Sedekah akhlak saya adalah berusaha menyapa setiap orang dengan senyuman.”
  3. Fokus pada Konsistensi, Bukan Intensitas Sporadis: Amal yang kecil namun konsisten lebih dicintai Allah daripada amal besar yang dilakukan sesekali lalu berhenti total karena kelelahan. Mengamalkan berbagai bentuk ibadah dan kebaikan secara rutin sesuai kemampuan adalah perwujudan sejati dari semangat mā istaṭa’tum dalam kehidupan sehari-hari.
BACA JUGA:   KEGIATAN SETELAH RAMADHAN

Dengan memahami dan menerapkan prinsip ini, setiap Muslim dapat menjalani agamanya dengan produktif, seimbang, dan penuh harapan, menyadari bahwa setiap potensi yang dianugerahkan Tuhan adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

 

Karya yang dikutip

  1. PENAFSIRAN TAQWA DALAM QS. ALI IMRON … – Jurnal UNSIQ, diakses Juli 7, 2025, https://ojs.unsiq.ac.id/index.php/mth/article/download/2446/1479/
  2. Surat At-Taghabun Ayat 16 Arab, Latin, Terjemah dan Tafsir | Baca …, diakses Juli 7, 2025, https://tafsirweb.com/10960-surat-at-taghabun-ayat-16.html
  3. Tafsir Surah Taghabun Ayat 14 – 18 (Berhati-hati dengan keluarga sendiri), diakses Juli 7, 2025, https://celiktafsir.net/2018/05/15/taghabun-ayat-14-18/
  4. Tafsir Surah At-Taghabun Ayat 15-18, Peringatan kepada manusia – Tafsir Al Quran, diakses Juli 7, 2025, https://tafsiralquran.id/tafsir-surah-at-taghabun-ayat-15-18/
  5. Islam Memudahkan dalam Ibadah, Ini Ayat dan Haditsnya – TvOneNews, diakses Juli 7, 2025, https://www.tvonenews.com/religi/206777-islam-memudahkan-dalam-ibadah-ini-ayat-dan-haditsnya
  6. Tafsir Surat At-Taghabun Ayat-16 – Bekal Islam, diakses Juli 7, 2025, https://bekalislam.firanda.net/9560-tafsir-surat-at-taghabun-ayat-16.html
  7. Al-Qur’an Surat At-Taghabun Ayat ke-16 – Kalam, diakses Juli 7, 2025, https://kalam.sindonews.com/ayat/16/64/at-taghabun-ayat-16
  8. Quran Surat At-Taghabun – Bekal Islam, diakses Juli 7, 2025, https://bekalislam.firanda.net/9519-quran-surat-at-taghabun.html
  9. Surah Taghabun Ayat 16 (64:16 Quran) With Tafsir – My Islam, diakses Juli 7, 2025, https://myislam.org/surah-at-taghabun/ayat-16/
  10. Tiga Pesan Allah di Dalam Ayat ke-16 Surat At Taghabun – Muhammadiyah, diakses Juli 7, 2025, https://muhammadiyah.or.id/2021/01/tiga-pesan-allah-di-dalam-ayat-ke-16-surat-at-taghabun/
  11. LIVE 04 | SURAH AT TAGHABUN | TAFSIR DAN PENGAJARAN | AYAT 11-13 – YouTube, diakses Juli 7, 2025, https://www.youtube.com/watch?v=ZYiJ9Y2B1kk
  12. Surat At-Taghabun Ayat 16: Arab, Latin, Terjemah dan Tafsir Lengkap | Quran NU Online, diakses Juli 7, 2025, https://quran.nu.or.id/at-taghabun/16
  13. Tafsir Surah Ali ‘Imran – 102 – Quran.com, diakses Juli 7, 2025, https://quran.com/en/ali-imran/102/tafsirs
  14. Surah Al-Imran: 102-103 Tafsir – Musings of a Muslim – WordPress.com, diakses Juli 7, 2025, https://ouwbmmsa.wordpress.com/2015/06/16/surah-al-imran-102-103-tafsir/
  15. Beragama yang Memudahkan dan Menggembirakan – Universitas Muhammadiyah Metro, diakses Juli 7, 2025, https://ummetro.ac.id/beragama-yang-memudahkan-dan-menggemberikan/
  16. Keseimbangan dan Kemudahan Dalam Islam – Almanhaj, diakses Juli 7, 2025, https://almanhaj.or.id/2973-keseimbangan-dan-kemudahan-dalam-islam.html
  17. Islam itu Agama yang Mudah, Mana Dalilnya? – NU Online, diakses Juli 7, 2025, https://nu.or.id/syariah/islam-itu-agama-yang-mudah-mana-dalilnya-LHzm0
  18. Kemudahan Beribadah dalam Islam, Ini Buktinya – detikcom, diakses Juli 7, 2025, https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-6734099/kemudahan-beribadah-dalam-islam-ini-buktinya
  19. Islam Adalah Agama Yang Mudah Untuk Diamalkan – Muhammadiyah Association (Singapore), diakses Juli 7, 2025, https://muhammadiyah.org.sg/2024/07/24/islam-adalah-agama-yang-mudah-untuk-diamalkan/
  20. Kemudahan Agama Islam – Muslim.or.id, diakses Juli 7, 2025, https://muslim.or.id/21675-kemudahan-agama-islam.html
  21. Rukhsah Shalat Bagi Musafir & Ketentuan Shalat dalam Perjalanan – Tirto.id, diakses Juli 7, 2025, https://tirto.id/rukhsah-shalat-bagi-musafir-ketentuan-shalat-dalam-perjalanan-gsH9
  22. 6 Keringanan (Rukhshah) Bagi Musafir – Wahdah Islamiyah, diakses Juli 7, 2025, https://wahdah.or.id/6-keringanan-rukhshah-bagi-musafir/
  23. RUKHSAH (KEMUDAHAN) DARI ALLAH SWT. UNTUK SALAT JAMAK QASAR – Cendikia Kemenag, diakses Juli 7, 2025, https://cendikia.kemenag.go.id/storage/uploads/file_path/file_15-10-2020_5f8852aff289f.pdf
  24. Rukhsah dalam Shalat bagi Musafir, Ketentuan, dan Caranya – Tirto.id, diakses Juli 7, 2025, https://tirto.id/ketentuan-rukhsah-shalat-bagi-musafir-mengqashar-menjamak-salat-gsEo
  25. 7 Bentuk Rukhshah dalam Islam – PONPES Al Hasanah Bengkulu, diakses Juli 7, 2025, https://ponpes.alhasanah.sch.id/pengetahuan/7-bentuk-rukhshah-dalam-islam/
  26. Mengenal Ragam Rukhshah Dalam Islam – Asamuslim, diakses Juli 7, 2025, http://asamuslim.id/mengenal-ragam-rukhshah-dalam-islam
  27. Hukum Puasa bagi Ibu Hamil – NU Online, diakses Juli 7, 2025, https://www.nu.or.id/ramadhan/hukum-puasa-bagi-ibu-hamil-rc3hq
  28. Utang Puasa Karena Hamil dan Menyusui, Qadha atau Fidyah? – RRI, diakses Juli 7, 2025, https://www.rri.co.id/ramadan/629806/utang-puasa-karena-hamil-dan-menyusui-qadha-atau-fidyah
  29. Fidyah Ibu Hamil: Penjelasan dan Tata Cara Pembayarannya – BAZNAS, diakses Juli 7, 2025, https://baznas.go.id/artikel-show/Fidyah-Ibu-Hamil:-Penjelasan-dan-Tata-Cara-Pembayarannya/392
  30. Mengenal Ketentuan Bayar Fidyah Puasa bagi Ibu Hamil – BAZNAS, diakses Juli 7, 2025, https://baznas.go.id/artikel/baca/Mengenal-Ketentuan-Bayar-Fidyah-Puasa-bagi-Ibu-Hamil/192
  31. KETENTUAN PUASA BAGI WANITA HAMIL DAN MENYUSUI Ririn Fauziyah UNU Sunan Giri Bojonegoro E-mail: Shonafauziyah@gmail.com Abstrak, diakses Juli 7, 2025, https://journal.unugiri.ac.id/index.php/almaqashidi/article/download/908/660/3720
  32. Rukhshah Puasa Ramadan bagi Ibu Hamil dan Menyusui – Majalah Suara ‘Aisyiyah, diakses Juli 7, 2025, https://suaraaisyiyah.id/rukhshah-puasa-ramadan-bagi-ibu-hamil-dan-menyusui/
  33. Sedekah tak Cuma Harta, Mengajarkan Ilmu yang Kita Punya Juga Termasuk – Islam Digest, diakses Juli 7, 2025, https://islamdigest.republika.co.id/berita/rzwfa0320/sedekah-tak-cuma-harta-mengajarkan-ilmu-yang-kita-punya-juga-termasuk
  34. Sedekah Jariyah dengan Ilmu – Al Azhar Peduli, diakses Juli 7, 2025, https://alazharpeduli.or.id/publikasi/artikel-berita/p/sedekah-jariyah-dengan-ilmu
  35. Sedekah Tidak Harus Uang: 10 Bentuk Sedekah yang Bisa Dilakukan – BAZNAS KOTA YOGYAKARTA, diakses Juli 7, 2025, https://baznas.jogjakota.go.id/detail/index/38742/sedekah-tidak-harus-uang-10-bentuk-sedekah-yang-bisa-dilakukan-2025-03-19
  36. Macam-Macam Sedekah yang Paling Mudah Dilakukan – Yatim Mandiri, diakses Juli 7, 2025, https://yatimmandiri.org/blog/berbagi/sedekah-yang-paling-mudah/
  37. Bersedekah dengan Kebaikan – Jurusan Informatika – Fakultas Teknologi Industri, diakses Juli 7, 2025, https://informatics.uii.ac.id/2021/03/20/bersedekah-dengan-kebaikan/
  38. Tidak Perlu Keluar Harta, Ini Sedekah Paling Mudah Namun Berpahala – detikcom, diakses Juli 7, 2025, https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-7045325/tidak-perlu-keluar-harta-ini-sedekah-paling-mudah-namun-berpahala

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *