نَوَاقِـضُ الإِسْلَامِ
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّباً مُبَارَكًا فِيْهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَاهُ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ:
Peringatan:
Dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang mengkafirkan saudaranya maka sungguh tuduhannya itu akan kembali terarah kepada salah seorang di antara mereka berdua.” (https://hadits.in/muslim/91)
“Apabila seseorang berkatan kepada saudaranya, “Wahai kafir”, maka bisa jadi akan kembali kepada salah satu dari keduanya” (https://hadits.in/bukhari/5638)
“Janganlah sesorang laki-laki menuduh fasik atau kafir kepada orang lain, jika orang yang dituduh tidak sebagaimana yang ia tuduhkan maka kata-kata itu akan kembali kepada orang yang membuat tuduhan (HR. Ahmad 20590)
Dalam sebagian riwayat disebutkan, “Apabila sebagaimana apa yang dia katakan -maka dia tidak bersalah- akan tetapi apabila tidak sebagaimana yang dia tuduh maka tuduhan itu justru kembali kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim[2/126-127] dan Shahih Bukhari, hal. 1254)
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Pertama:
مَنْ لَمْ يُكَفِّرِ المُشْرِكِينَ أَوْ شَكَّ فِي كُفْرِهِمْ، أَوْ صَحَّحَ مَذْهَبَهُم،ْ كَفَرَ إِجْمَاعًا.
Siapa yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, ragu akan kekafiran mereka atau membenarkan keyakinan mereka, maka dia kafir berdasarkan ijma’.
Kedua:
مَنِ اعْتَقَدَ أَنَّ غَيْرَ هَدْيِ النَّبِيِّ ﷺ أَكْمَلُ مِنْ هَدْيِهِ أَوْ أَنَّ حُكْمَ غَيْرِهِ أَحْسَنُ مِنْ حُكْمِهِ -كَالَّذِينَ يُفَضِّلُونَ حُكْمَ الطَّوَاغِيتِ عَلَى حُكْمِهِ- فَهُوَ كَافِرٌ.
Siapa yang meyakini bahwa selain petunjuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lebih sempurna daripada petunjuk beliau, atau selain hukum beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lebih baik daripada hukum beliau seperti orang-orang yang lebih mendahulukan hukum thaghut daripada hukum beliau, maka dia kafir.
Ketiga:
مَنْ أَبْغَضَ شَيْئًا مِمَّا جَاءَ بِهِ الرَّسُولُ ﷺ – وَلَوْ عَمِلَ بِهِ – كَفَرَ إِجْمَاعًا، وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ﴾.
Siapa membenci apa pun dari apa yang dibawa Rasulullâh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meskipun mengerjakannya, maka ia kafir. Dalilnya adalah firman-Nya: “Demikian itu karena mereka membenci apa yang Allâh turunkan sehingga Dia menghapus amal kebaikannya.” (QS. Muhammad [47]: 9)
Keempat:
مَنِ اسْتَهْزَأَ بِشَيْءٍ مِنْ دِيْنِ اللهِ، أَوْ ثَوَابِهِ، أَوْ عِقَابِهِ، كَفَرَ، وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿قُلْ أَبِاللهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِؤُونَ * لاَ تَعْتَذِرُواْ قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ﴾.
Siapa yang mengolok-olok apa pun dari agama Allâh, atau pahala-Nya, atau siksa-Nya adalah kafir. Dalilnya adalah firman-Nya: “Katakanlah: apakah terhadap Allâh, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kalian mengolok-ngolok. Tidak perlu meminta maaf karena sungguh kalian telah kafir setelah kalian beriman.” (QS. At-Taubah [9]: 65-66)
وَلَئِن سَأَلۡتَهُمۡ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلۡعَبُۚ قُلۡ أَبِٱللَّهِ وَءَايَٰتِهِۦ وَرَسُولِهِۦ كُنتُمۡ تَسۡتَهۡزِءُونَ ٦٥ لَا تَعۡتَذِرُواْ قَدۡ كَفَرۡتُم بَعۡدَ إِيمَٰنِكُمۡۚ إِن نَّعۡفُ عَن طَآئِفَةٖ مِّنكُمۡ نُعَذِّبۡ طَآئِفَةَۢ بِأَنَّهُمۡ كَانُواْ مُجۡرِمِينَ ٦٦ [سورة التوبة,٦٥-٦٦]
(65) Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? (66) Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa [At Tawbah,65-66]
Kelima:
مُظَاهَرَةُ المُشْرِكِينَ وَمُعَاوَنَتُهُمْ عَلَى المُسْلِمِينَ، وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِين﴾.
Menolong orang-orang musyrik dan membantu mereka dalam melawan kaum Muslimin. Dalilnya adalah firman-Nya: “Siapa dari kalian yang berloyal kepada mereka maka ia bagian dari mereka. Sesungguhnya Allâh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zhalim.” (QS. Al-Mâ`idah [5]: 51)
Salah satu dari prinsip ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah, yaitu mencintai dan memberikan wala’ (loyalitas) kepada kaum Mukminin, membenci kaum musyrikin dan orang-orang kafir serta berpaling (bara’) dari mereka.
Secara bahasa, al-wala’ berarti “mencintai, membela, dan dekat”. Dari sini, terdapat istilah al-wali, yang secara bahasa berarti orang yang dicintai, kawan (sahabat) atau penolong (pembela), yaitu lawan dari “musuh” (al-‘aduww).
Secara istilah, al-wala’ artinya mencintai orang-orang beriman karena keimanan mereka, dalam bentuk membela, menolong, memberikan nasihat, memberikan loyalitas, berkasih sayang, dan berbagai hak-hak orang-orang beriman (hak-hak persaudaraan) lainnya yang wajib kita tunaikan.
Sedangkan al-bara’, secara bahasa berarti “menjauh dari sesuatu, memisahkan diri darinya, dan berlepas diri”.
Secara istilah, al-bara’ berarti tidak memberikan loyalitas kepada musuh-musuh Allah Ta’ala, baik orang-orang munafik atau orang kafir secara umum, menjauhi mereka, dan memerangi mereka ketika orang-orang kafir tersebut memerangi kaum muslimin, sesuai dengan kemampuan kita.
Keenam:
مَنِ اعْتَقَدَ أَنَّ بَعْضَ النَّاسِ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ اتِّبَاعُ النَّبِيِّ ﷺ، وَأَنَّهُ يَسَعُهُ الخُرُوجُ عَنْ شَرِيعَتِهِ ﷺ -كَمَا وَسِعَ الخَضِرَ الخُرُوجُ عَنْ شَرِيعَةِ مُوسَى عَلَيهِ السَّلَامُ-، فَهُوَ كَافِرٌ.
Siapa yang meyakini bahwa sebagian manusia tidak wajib mengikuti Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan ia boleh keluar dari syariat beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagaimana Khidhir keluar dari syariat Musa ‘Alaihissalam, maka ia kafir.
Seorang pegiat media sosial, mengatakan dirinya tak percaya bila umat Islam harus menjalankan syariat Islam. Meski begitu, ia tetap mengakui beragama islam.
“Saya beragama islam, tapi saya tidak percaya bahwa umat Islam harus menjalankan syariat Islam,” ujar pegiat sosmed itu dalam video yang ditayangkan di channel YouTube.
Kalau kita percaya pada Allah, Rasul dan kitab suci Al-Quran, maka tidak mungkin kita menyatakan bahwa hukum Islam tidak perlu diterapkan sebagai hukum negara.
Sebagaimana kita tahu bahwa syariah Islam itu mencakup aspek yang sangat luas. Bukan hanya menyangkut hukum ibadah ritual semata, tetapi termasuk juga masalah sosial masyarakat bahkan hukum positif yang berlaku formal di dalam sebuah negara.
Maqashid asy-syariah (bahasa Arab: مقاصد الشريعة, maqāṣid asy-syarīʿah, “maksud-maksud syariah” atau “tujuan-tujuan syariah“) adalah sebuah gagasan dalam hukum Islam bahwa syariah diturunkan Allah untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Maqashid syariah adalah ketaatan dalam menjalankan prinsip-prinsip syariah yang tujuannya demi terwujudnya kemaslahatan umat. Penerapan maqashid syariah melibatkan sejumlah kegitan manusia yang berkait dengan menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga harta, dan menjaga keturuanan.
Ketujuh:
الإِعْرَاضُ عَنْ دِينِ اللهِ -لَا يَتَعَلَّمُهُ وَلَا يَعْمَلُ بِهِ-، وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن ذُكِّرَ بِآيَاتِ رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنتَقِمُونَ﴾.
Berpaling dari agama Allâh dengan tidak mempelajarinya atau mengamalkannya. Dalilnya firman-Nya: “Dan siapakah yang lebih zhalim daripada seseorang yang dibacakan kepadanya ayat-ayat Rabb-nya lalu dia berpaling darinya. Sesungguhnya Kami akan menghukum orang-orang pendosa.” (QS. As-Sajdah [32]: 22)
وَلَا فَرْقَ فِي جَمِيعِ هَذِهِ النَّوَاقِضِ بَيْنَ الهَازِلِ وَالجَادِّ وَالخَائِفِ إِلَّا المُكْرَهِ.
Tidak ada perbedaan dalam pembatal-pembatal ini antara orang yang bercanda, serius, atau takut kecuali orang yang dipaksa.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.