ARRIBATH

    Salah satu hal yang paling penting dalam jihad atau bisa disebut perang di era modern adalah ribath. Istilah ribath pada awalnya adalah merujuk kepada sikap siap siaga dari pasukan tentara Islam dengan senjata lengkap yang berjaga di wilayah perbatasan atau daerah yang rawan dimasuki musuh yang ingin menyerang umat Islam. Orang-orang yang melaksanakan ribath tersebut dinamakan al-murabithun. 4 Ribath dalam pengertian di atas bersifat fisik dan hukumnya fardu kifayah, hanya wajib dilakukan oleh sekelompok umat Islam saja. Dalil keutamaan ribath dalam pengertian ini adalah hadis berikut: Dari Salman bin Al-Islam radhiallahu ‘anhu, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

    رِبَـاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ وَإِنْ مَاتَ جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِي كَانَ يَعْمَلُهُ وَأُجْرِيَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ وَأَمِنَ الْفَتَّانَ.

    “Ribath sehari semalam lebih baik daripada puasa dan salat malam sebulan penuh. Jika ia meninggal maka amalnya akan terus mengalir sebagaimana yang pernah ia amalkan, rizkinya juga terus mengalir dan terbebas dari fitnah-firnah.” (Hadis ke-3537 dari Shahih Muslim, HR. Muslim (no. 1913 (163)), an-Nasa-i (VI/39), at-Tirmidzi (no. 1665), al-Hakim (II/80), dan Ahmad (445, 441).

    Imam An-Nawawi menjelaskan hadis tersebut menunjukkan keutamaan secara zahir yang dimiliki oleh orang-orang yang sedang menjaga benteng pertahanan atau tapal batas suatu wilayah atau negara yang dihuni umat muslim. Amalannya tetap mengalir setelah kematiannya sebagai keutamaan khusus baginya dan tidak diberikan kepada orang lain. Rezekinya tercukupi dan dibebaskan dari fitnah-fitnah kubur.6 Adapun saat ini ribath tidak lagi diembel-embeli dengan Islam dan muslim karena tidak ada negara yang benar-benar berdiri di atas nama sebuah khilafah sehingga ribath digeneralisasi menjadi tapal batas atau perbatasan. Penjagaan tapal batas negara berfungsi untuk mempertahankan kedaulatan dengan menempatkan pasukan bersenjata dan peralatan perang lainnya di wilayah perbatasan darat, laut, dan udara, sebagaimana hal ini merupakan kewajiban bagi TNI.

    Dalam pengertian yang lain, ribath juga bersifat kejiwaan. Ribath dalam pengertian ini memiliki tiga bentuk, yaitu: Usaha untuk menjaga diri supaya tidak terjerumus ke dalam perbuatan dosa, usaha untuk ‘memaksa diri’ dalam mengerjakan amal-amal saleh dan membiasakannya terus menerus, Usaha untuk meraih kesempurnaan dalam ibadah meskipun terasa berat.7 Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda,

    Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ؟ قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَى إِلَى الْمَسْجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ فَذَٰلِكُمُ الرِّبَاطُ فَذَٰلِكُمُ الرِّبَاطُ فَذَٰلِكُمُ الرِّبَاطُ

    “Apakah kalian mau aku tunjukkan amalan yang dapat menghapus dosa dan mengangkat derajat? Mereka menjawab, “Mau , wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda, “Menyempurnakan wudhu’ pada saat-saat yang tidak disukai, memperbanyak langkah kaki menuju ke masjid, dan menunggu shalat setelah shalat. Yang demikian itulah ar Ribath” (Hadis ke-39 dari Jami’ At-Tirmidzi, Hadis ke-369 dari Shahih Muslim)

    Dari hadits ini dapat diambil beberapa faidah:
    1. Dianjurkan bagi para pendidik, ketika mengajarkan sesuatu, hendaknya menggunakan uslub/metode “menawarkan”. Yang demikian itu, pada gilirannya akan membuat anak didik lebih dan siap memperhatikan atau mendengar dengan seksama sesuatu yang akan disampaikan oleh pendidiknya.
    2. “Pada saat-saat yang tidak disukai” maksudnya adalah ketika matahari bersinar terik di musim panas, atau malam hari di musim dingin dan menjelang shubuh. Karena pada saat-saat seperti itu, orang lebih cenderung untuk mencukupkan diri pada syarat sahnya wudhu’. Sehingga terkadang, banyak sunnah-sunnah wudhu’ ditinggalkan.
    3. Hadits ini merupakan bantahan terhadap pendapat yang mengatakan bahwa bersuci dengan air yang panas akibat sengatan matahari hukumnya makruh. Pendapat ini tertolak karena berlawanan dengan hadits yang shahih. Jika benar hukumnya makruh, tentu Nabi tidak mengajarkan umatnya agar berlomba-lomba dalam hal makruh.
    4. Berjalan menuju ke masjid lebih utama daripada berkendaraan. Namun jangan sampai dalam menerapkan sunnah menyebabkan sunnah yang lebih utama ditinggalkan. Misalnya: Jangan gara-gara ingin berjalan kaki ke masjid, menyebabkan ketinggalan shalat berjama’ah. Hendaknya yang rumahnya lebih jauh dari masjid, lebih awal berangkat agar dapat berjalan kaki menuju masjid dan tidak ketinggalan berjama’ah. Atau bagi yang rumahnya sangat jauh dari masjid, sehingga mengharuskan dirinya berkendaraan, maka hendaknya memarkir kendaraannya agak jauh dari masjid, supaya tetap dapat menerapkan sunnah berjalan kaki menuju masjid. Wallaahu a’lam.
    5. Berjalan dengan langkah pendek-pendek lebih utama daripada langkah panjang-panjang. Karena secara matematis saja, dengan jarak yang sama, langkah pendek-pendek lebih banyak daripada langkah panjang-panjang. Dengan demikian, kebaikan atau keutamaan yang didapat juga akan lebih banyak. Walhamdulillah.
    6. Bersuci di rumah lebih utama daripada di masjid. Karena berjalan ke masjid yang dapat menghapus dosa dan menaikkan derajat adalah dalam keadaan telah berwudhu’. Oleh karena itu di dalam hadits, berwudhu’ disebutkan terlebih dahulu daripada amalan yang lain.
    7. Menunggu shalat setelah shalat maksudnya adalah hatinya senantiasa merindukan akan datangnya waktu shalat yang berikutnya. Sama halnya dengan orang yang hatinya tergantung di masjid. Maksudnya, bukan orang yang senantiasa berada di masjid dan tidak pernah keluar setapak kaki pun dari masjid.
    8. Menyempurnakan wudhu’, berjalan kaki menuju masjid, merindukan datangnya waktu shalat merupakan jihad fi sabiilillah. Karena seorang muslim -ketika melakukan hal-hal tersebut- berjuang dengan gigih melawan nafsunya. Karena melawan hawa nafsu bukan perkara ringan, maka Rasulullah menyerupakannya dengan “ar ribath” yang pada asalnya merupakan istilah di dalam medan jihad.

    Dengan menggunakan kata ribath, beliau memberikan perumpamaan seseorang yang membiasakan diri dalam keadaan wudu untuk bersiap salat, melangkahkan kaki ke masjid dan memakmurkan seperti orang yang ribath yang memiliki pahala besar. Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan makna ribath dalam hadis tersebut, asal makna ribath adalah al-habsu (menahan) atas sesuatu, seakan-akan ia mengikat dirinya untuk melakukan ketaatan ini. Beliau juga mengatakan bahwa hadis ini mengandung pengertian tentang jenis ribath yang lebih mudah dan lebih memungkinkan untuk dikerjakan, sehingga berjaga-jaga untuk salat merupakan satu jenis dari ribath. Beliau menukil pendapat tersebut dari al-Qadhi ’Iyadh. Penafsiran ini menguatkan apa yang disampaikan oleh Abdullah bin Mubaarak rahimahullah, bahwa ribath tak hanya dibutuhkan di medan perang saja.9 Sedangkan al-Mubaarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi mengaitkan antara dua jenis ribath ini, pengertian asal dari ribath adalah ketika dua kubu saling berjaga di perbatasan yang diperkirakan dari arah tersebut lawan akan menyerang.

    Membiasakan diri untuk bersuci dan yang semisalnya itu seperti ribath dalam jihad, karena hal itu dapat menghadang jalan-jalan setan untuk mengelabui jiwa dan menundukkan nafsu serta mencegah dari respon gangguannya. Ada pula pendapat yang menjelaskan maknanya bahwa amal tersebut bisa menahan seseorang dari maksiat dan mencegahnya dari hal-hal yang haram, dengan demikian ribath dalam hal ini bermakna penjagaan diri terhadap maksiat dan hawa nafsu.10 Di sisi lain, hadis Ini menggambarkan keutamaan menjaga salat, sekaligus keutamaan ribath yang dijadikan sebagai “iming-iming” pahala yang dijanjikan, karena memang ribath memiliki pahala yang besar, dan keutamaan seperti itu bisa diraih di waktu aman (tidak dalam keadaan berperang). 11

    Selain dari dua pengertian tersebut, ribath juga dapat diartikan sebagai tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dan mengkonsentrasikan diri untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah semata. Ribath di sini bermakna penjagaan terhadap keilmuan yang dipimpin oleh seorang syekh yang terkenal dengan ilmu dan kesalehannya. Ribath dalam hal ini banyak ditemukan pada masa Bani Umayyah dan Abbasiyah. Selain beribadah dan berzikir mereka juga belajar ilmu agama. Adapun materi yang diajarkan dalam ribath tersebut adalah berbagai materi tentang kesufian (tasawuf, falsafah, kalam, fiqh), latihan dalam merintis jalan kepada Allah Swt., zikir, tafakur, dan esoterisme (penghayatan).

    Kata ribath dan berbagai derivasinya terdapat dalam lima ayat dalam AlQur’an , Salah satunya yaitu firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 200 berikut ini:

    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

    “Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”(QS. Ali Imran: 200).

    Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menyebutkan penafsiran ayat ini bahwa semakin bertambah kesucian, semakin bertambah pula kesulitan yang dihadapi. Ada musuh yang berasal dari luar, yaitu kaum kafir yang selalu menentang, ada pula musuh yang lebih berbahaya, yaitu kaum munafik (lawan yang mengaku kawan), dan ada pula musuh yang sangat berbahaya, yaitu hawa nafsu yang tidak terkendali. Oleh karena itu, untuk menguatkan iman, hendaklah berpegang teguh pada empat hal yang disebutkan dalam ayat di atas, yaitu: sabar, menguatkan kesabaran, bersiap siaga, dan bertakwa.

    Dalam hal ini, ribath atau bersiap-siaga menurut Buya Hamka adalah memperkuat penjagaan, mengokohkan kewaspadaan, termasuk mengawasi perbatasan negara Islam dari negara musuh, sehingga apabila ada penyerbuan tiba-tiba, pasukan telah siap siaga. Selain itu, ribath dari penjelasan tafsir di atas dapat juga berarti menjaga dan mengokohkan kewaspadaan terhadap batas-batas diri. 15 Pada umumnya, di saat orang-orang sedang berada dalam situasi aman dari perang dan berada di tempat yang damai, mereka akan berleha-leha, cenderung lengah dan terbuai oleh kenyamanan. Maka ribath dengan pengertian siaga di jalan ketaatan senantiasa diharuskan; kapan, di mana dan dalam situasi apapun. Agar umat tidak berada dalam kelemahan, malas untuk berjaga jaga, sehingga pada gilirannya mereka tidak akan mampu bertahan di jalan istiqamah yang penuh dengan tantangan di seluruh lininya.

    Berdasarkan beberapa penjelasan di atas dapat terlihat bahwa ada beberapa model ribath yang berlaku, pertama ribath bermakna menjaga perbatasan kota di saat perang secara zahir, kedua ribath bermakna menjaga perbatasan diri agar berada dalam ketaatan dan tidak tergelincir pada hal-hal batil, dan ketiga ribath bermakna penjagaan terhadap keilmuan dengan cara berkumpulnya para sufi di suatu tempat untuk melangsungkan pendidikan dan pengajaran, tempat itulah yang kemudian dinamakan ribath. Model ribath pertama dan kedua adalah implementasi di era modern saat ini, apakah umat muslim dapat meraih keutamaan ribath meski tidak berada di era khilafah.
    frasa ribathul ja’syi (الجأش رابط) yang berarti orang yang mempunyai keteguhan dan kekuatan hati, dikarenakan hatinya tetap dan kuat menghadapi segala tantangan. Kata rabith (رابط )juga diartikan dengan rahib atau pemimpin agama karena ia memiliki kekuatan iman kepada Tuhannya.

    Secara terminologi ribath adalah tinggal di tempat yang berada di tengah-tengah umat muslim dan kaum kafir, untuk menjaga umat muslim dari serangan. Dapat pula bermakna melaksanakan salat lima waktu secara teratur di mesjid. Kemudian terkait wakaf, ribath berarti rumah-rumah yang dibangun di jalan untuk musafir, orang asing, ataupun orang miskin yang kemudian berkembang menjadi tempat pengajaran ilmu-ilmu kaum sufi.

    Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan ribath memiliki dua makna, pertama ribath secara fisik yaitu menetap di perbatasan suatu wilayah untuk menjaga keamanan warga negara dari segala sesuatu yang membahayakan dan mendatangkan ancaman, kedua ribath secara non fisik yaitu menjaga batas-batas diri secara spiritual agar tidak terjerumus dalam kesesatan yang membahayakan iman. Ribath jenis ini dapat dilakukan dengan konsisten melaksanakan ibadah dan menyempurnakan wudu.

    Melaksanakan ribath merupakan sikap antisipasi untuk selalu siap siaga menghadapi lawan, kedua belah pihak menambatkan kuda-kuda mereka selain di waktu jihad. Hal ini bertujuan agar pihak lawan mengetahui bahwa pasukan siap bergerak kapan saja, sehingga apabila panggilan jihad telah datang maka pasukan telah siap menghadapi musuh. Akan tetapi jika pasukan santai dan lalai pihak musuh dapat menyerang tanpa menunggu persiapan dari pasukan dan akibatnya musuh akan memenangkan pertempuran. Ribath membutuhkan kesabaran dan menunggu di tempat serta berjuang sendiri untuk itu. Oleh karena itu mempersiapkan salat dan menunggu waktunya adalah termasuk ribath. 18

    Menurut Muhammad At-Tamimi ribath memiliki dua maksud.
    Pertama, berjaga-jaga di wilayah perbatasan dari kejahatan musuh, seolah-olah telah diikat sehingga mereka menetap di sana.

    Maksud kedua yaitu seseorang yang tenang, kuat hati dan jiwanya. Ibnu Qutaibah mengatakan bahwa asal dari ribath adalah pihak yang satu mengikat kuda-kuda perang mereka, dan pihak yang lain juga melakukan hal yang sama, sebagai persiapan untuk menghadapi peperangan. Lalu kata ribath ini kemudian digunakan untuk istilah berdiam diri di perbatasan untuk melakukan penjagaan, meskipun orang-orang yang melakukannya tidak membawa kuda. Sehingga yang berkembang kemudian, ribath dimaknai sebagai barak atau benteng untuk para mujahid yang berjihad memerangi kaum kafir.

    Pada tahapan berikutnya, ribath yang pada mulanya memang berfungsi sebagai benteng tersebut mengalami perubahan makna. Sehubungan dengan pendidikan, ribath berarti tempat kegiatan kaum sufi yang ingin berkonsentrasi beribadah semata dan ingin menjauhkan diri dari kehidupan duniawi. Ribath dalam pengertian ini, biasanya dihuni oleh orang miskin yang secara bersama-sama menjalankan aktivitas keilmuan di samping melakukan praktik-praktik sufistik. Disamping itu, mereka juga memperhatikan kegiatan keilmuan.
    Pada umumnya, ribath dibangun untuk sufi laki-laki, namun ada juga ribath yang dibangun untuk sufi wanita. Di sana mereka bertempat tinggal, beribadah, dan mengajarkan pelajaran agama di dalamnya. Pada perkembangan lebih lanjut, setelah munculnya madrasah, banyak madrasah yang dilengkapi dengan ribath-ribath.

    Klasifikasi Ribath
    Berdasarkan ayat-ayat yang menggunakan kata ribath dalam Al-Qur’an, kata-kata yang memiliki arti kekuatan atau ketetapan terbagi menjadi dua kategori berikut:
    a. Ribath Zahir (Kekuatan Fisik) Seperti yang digambarkan di dalam QS. Al-Anfal ayat 60, yang memerintahkan agar umat Islam mempersiapkan diri menghadapi musuh dengan kekuatan yang terdiri dari kuda yang siap digunakan di dalam peperangan (ribath al-khail). Menurut Muhammad Abduh dalam tafsir Al-Manar, pada zaman Rasulullah saw, kuda yang telah dilatih untuk berperang paling besar dukungannya dalam memenangkan peperangan. Oleh karena itu, Allah mengaitkan kata ribath yang berarti kekuatan dengan kuda tersebut.
    b. Ribath Batin (Kekuatan Nonfisik) Seperti tergambar dalam QS. Al-Kahfi ayat 14, ayat ini menggambarkan keteguhan pendirian pemuda-pemuda dalam menegakkan agama tauhid di tengah-tengah gencarnya ancaman raja yang zalim terhadap mereka. Ribath dalam hal ini berarti kekuatan dan ketetapan hati atau keteguhan pendirian dalam menegakkan kebenaran.

     

    Keutamaan Ribath dalam Islam
    Sebagaimana telah dijelaskan pengertian ribath, yang bermakna melakukan penjagaan di perbatasan negeri muslim untuk memberikan kekuatan kepada kaum muslim dalam menghadapi serangan orang-orang kafir. Melakukan ribath sangat besar keutamaannya dan mendapatkan ganjaran pahala yang melimpah. Imam Ahmad berkata tidak ada satu pun amal yang dapat menyamai kedudukan dan pahala dari jihad dan ribath. Ribath merupakan kegiatan menjaga keamanan umat muslim dan kehormatan mereka, serta menjadi kekuatan bagi penduduk di perbatasan negeri dan para pasukan perang.

    Imam Bukhari menjelaskan dalam kitab al-jihad bab tentang keutamaan ribath sehari di jalan Allah. Dia mengutip firman Allah Swt. berikut ini:
    “Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”(QS. Ali Imran: 200).

    Berdasarkan penafsiran Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar tentang lima ayat yang berbicara tentang ribath, diketahui bahwa terdapat dua jenis ribath dalam Al-Qur’an. Pertama ribath fisik, yaitu seseorang yang secara zahir terjun ke medan perang untuk membela dan menegakkan ajaran Islam, dapat pula bermakna penjagaan terhadap negara dari berbagai macam ancaman. Adapun bentuk praktiknya adalah berjaga-jaga di wilayah perbatasan dengan mendirikan posko penjagaan dan mempersiapkan segala peralatan serta kendaraan sebelum terjadinya perang. Ribath yang kedua adalah ribath non fisik, yaitu penjagaan secara ruhiyah agar tidak terjerumus dalam kesesatan dan berkomitmen untuk mengerjakan amal saleh secara terus menerus.

    Ribath jenis kedua tidak dapat menggantikan ribath yang pertama, keduanya tetap wajib dijalankan oleh umat Islam agar tetap siaga di jalan Allah secara zahir dan batin. 2. Implementasi ribath di era kontemporer ini semakin beragam. Keutamaan ribath tidak hanya didapatkan oleh tentara yang menjaga wilayah perbatasan, namun dapat diraih oleh seorang muslim yang menjaga muslim lainnya dari sesuatu yang membahayakan. Seiring dengan kemajuan IPTEK, medan ribath pun semakin banyak, sehingga harus dijaga agar tidak dapat dimanfaatkan oleh musuh. Medan ribath tersebut adalah penjagaan wilayah perbatasan yang telah dibatasi undang-undang, penjagaan di bidang kesehatan, keamanan, intelektual, penelitian ilmiah, serta penjagaan di media sosial.

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *