HPT Halaman 1 s/d 5: Muthala’ah Aqidah Muhammadiyah

    بسم الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

    لا إله الا الله وحده لاشريك له ويه الحول والقوة الحَمْدُ للهِ المُبْدِى لِلعَوالِم والمُعِيدِ الأروح إلى الأجسام يَوْمَ القِيامَةِ والصَّلاة والسَّلامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ خاتم النبيين وافضل المُرْسَلِينَ وعلى اله أجمعين. وقد ورد في الحديث عَنْ عُمَرَ رضي الله عنه قال: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِندَ رَسُول الله (صلعم) ذات يوم إذ طلع عَلَيْنَا رَجُلٌ شديد بياض الثياب شَدِيد سواد

    الشعر لأيرى عليه اثر السفر ولا يعرفه منا أحد حتى جلس إلى النبي (صلعم) فأسند ركبتيه إلى ركبتيه ووضع كفيه على فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا محمد أخبرني عن الإسلام قال رسول الله (صلعم): الإسلام أن تشهد أن لا إله إلا الله وأن مُحَمَّدًا رَسُولُ الله وتقيم الصلاة وتؤتي الزكاة وتصوم رمضان وتحج البيت ان استطعت إليه سبيلا. قال: صدقت فعجبنا له يسأله ويصدقه. قال: فأخبرني عن الإيمان. قال: أن تُؤْمِن با الله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره. قال : صدقت. الحديث رواه مسلم).

     

    PENDAHULUAN

    “Bismillahirrohmanirrohim”

    (Dengan nama Allah, Maha Penyayang, Maha Pengasih)

    Tiada tuhan selain Allah sendiri, tiada bersekutu dan dengan-Nyalah adanya daya-kekuatan. Segala puji untuk Allah yang menciptakan semua ‘alam dan yang mengembalikan ruh kepada jasadnya di hari Kiamat. Rahmat dan Salam semoga terlimpah pada junjungan Nabi Muhammad s.a.w. penutup para Nabi dan seutama-utamanya Utusan, serta pada sekalian keluarganya.

    Tersebut dalam hadist, dari shahabat ‘Umar ra: “Saat kami duduk pada suatu hari bersama-sama Rasulullah saw. datanglah seorang laki-laki, putih bersih pakaiannya hitam bersih rambutnya, tak terkesan padanya tanda orang yang sedang bepergian dan tiada seorangpun diantara kami yang mengenalnya; kemudian ia bersimpuh dihadapan Nabi dengan merapatkan kedua lututnya pada kedua lutut Nabi dan meletakkan kedua telapak tangannya pada paha Nabi. Lalu ia berkata: “Hai Muhammad, terangkanlah padaku tentang lalam!”. Nabi menjawab: “lalam ialah engkau mempersaksikan: tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mengerjakan sholat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan pergi Haji bila kamu mampu melakukannya”. Kata orang itu: “Benar engkau”. Maka kami terheran, kenapa ia bertanya lalu ia membenarkan. Orang itu bertanya lagi: terangkanlah padaku tentang Iman!” Nabi menjawab: “Iman ialah bahwa engkau percaya akan Allah, malaikatnya, kitab kitab-nya, Rasul-rasulnya, hari kemudian dan percaya akan takdir baik dan takdir buruk Orang itu berkata Benar engkau!” (Hadist riwayat Muslim).

    اما بعد فإن الفرقة الناجية (1) من السلف اجمعوا على الاعتقاد بأن العالم كله حادث خلقة الله من العدم وهو أى العالم قابل للفناء (2) وعلى أن النظر في الكون لمعرفة الله واجب شرعًا (3) وَها نَحْنُ تشرع في بيان أصول العقائد الصحيحة

    Kemudian dari pada itu, maka kalangan ummat yang terdahulu, yakni mereka yang terjamin keselamatannya (1), mereka telah sependapat atas keyakinan bahwa seluruh alam seluruhnya mengalami masa permulaan, dijadikan oleh Allah dari ketidak-adaan dan mempunyai sifat akan punah (2). Mereka berpendapat bahwa memperdalam pengetahuan tentang alam untuk mendapat pengertian tentang Allah, adalah wajib menurut ajaran Agama (3) Dan demikianlah maka kita hendak mulai menerangkan pokok-pokok kepercayaan yang benar

    الإيمان بالله عز وجل

    يجب علينا أن نؤمن بالله ربنا (4) وهو الإله الحق الذي خلق كل شيي

    وهو الواجب الوجود (5) و الأول بلا بداية والآخر بلا نهاية (6) ولا يشبهة شيئ من الكائنات (7) الأحد في الوهيته وصفاته و افعاله (8) الحي القيوم (9) السميع البصير (10) وهو على كل شي قدير (11) إنما أمره إذا أراد شيئا أن يقول له كن فيكون (12) وهو عليم بما يفعلون

    (13) المنصف بالكلام وكل كمال المنزه عن كل نقص وَمُحَالٍ (14)

    يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ. بَيَدِهِ الأمْرُ كله وَإِلَيْهِ يَرْجِعُوْنَ (15)

     

    IMAN KEPADA ALLAH YANG MAHA MULIA

    Wajib kita percaya akan Allah Tuhan kita (4). Dialah Tuhan yang sebenarnya, yang menciptakan segala sesuatu dan Dialah yang pasti adanya (5). Dialah yang pertama tanpa permulaan dan yang akhir tanpa penghabisan (6). Tiada sesuatu yang menyamai-Nya (7). Yang Esa tentang ketuhanan-Nya (8). Yang hidup dan pasti ada dan mengadakan segala yang ada (9). Yang mendengar dan yang melihat (10). Dan Dialah yang berkuasa atas segala sesuatu (11). Perihal-Nya apabila ia menghendaki sesuatu la firmankan: “Jadilah”! maka jadilah sesuatu itu (12). Dan dia mengetahui segala sifat kesempurnaan. Yang suci dari sifat mustahil dan segala kekurangan (14). Dialah yang menjadikan sesuatu menurut kemauan dan kehendak Nya. Segala sesuatu ada ditangan-Nya dan kepada-Nya akan kembali (15).

    BACA JUGA:   Fatwa Tarjih Penyelenggaraan Maulid

    تنبية

    ما كَلَّفْنَا اللَّهُ بِالْبَحْثِ فِي الاعْتِقادِ بِمَا لا تَصِلُ إِلَيْهِ عُقُولُنَا (16) لأَنَّ عَقَلَ الإنسان لا يستطيع أن يصل إلى مَعْرِفَةِ ذاتِ اللهِ وَكَيْفِيَّةِ إِنْصَافِهِ بِصِفاتِ فلا تَبْحَتْ عَنْهُ (17) وَلَيْسَ فِي وُجُودِهِ تَعَالَى شَكٍّ أَفِي اللهِ شَكٍّ فاطر السَّمَوَاتِ وَالأَرْض ؟ (ابراهيم (10)

     

    PERHATIAN

    Allah tidak menyuruh kita membicarakan hal-hal yang tidak tercapai oleh akal dalam hal kepercayaan (16). Sebab akal manusia tidak mungkin mencapai pengertian tentang Dzat Allah dan hubungannya dengan sifat-sifat yang ada pada-Nya. Maka janganlah engkau membicarakan hal itu (17). Tak ada kesangsian tentang adanya. “Adakah orang ragu tentang Allah yang menciptakan langit dan bumi”? (Surat Ibrahim: 10),

    وقد سدَّ القرآن على العقول باب الخوض فيما لا تبلغه المدارك بقوله تعالى ليس كمثله شيء. ونص على أن قوة العقل محدوده وانَّهُ مُحيط بالناس في قوله: يعلم ما بين أيديهم وما خلفهم ولا يُحيطون به علمًا

    وكفى بالمُؤْمِنِيْنَ شُعْلا أنْ يَتَدَبَّرُوا فِي مَخْلُوقاتِهِ لِيَسْتَدِلُوا عَلَى وُجُودِهِ وقُدْرَتِهِ وَحِكْمَتِهِ (18)

    Memang Al-Qur’an telah menutup pintu pemikiran dalam membicarakan hal yang tak mungkin tercapai oleh akal dengan firman-Nya yang berbunyi: “Tiada sesuatu yang serupa dengan-Nya”. (QS.Syura: 11). Diapun telah menjelaskan bahwa kekuatan akal itu terbatas dan bahwa Dia meliputi semua manusia, dalam firman-Nya: “Dia tahu segala yang ada dimuka dan dibelakang mereka sedang pengetahuan mereka tak mungkin mendalami-Nya.” (Surat Thaha ayat 110). Bagi orang mukmin cukuplah bila mereka memikirkan segala makhluk- Nya, guna membuktikan ada-Nya, kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya.(18)
    ==========

    MUTHALA’AH

    (Muthala’ah merupakan kegiatan akademik yang sangat dinamis dan demokratis. Kegiatan ini bukan diskusi biasa atau debat kusir khas sosial media, melainkan forum ilmiah dewasa karena kita dipaksa agar kembali membuka teks-teks otoritatif yang tidak hanya bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits, tetapi juga pendapat ulama dalam Kutub al-Mu’tabarah.)

    Tauhid adalah keyakinan mengenai Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang tidak beroknum dan bersekutu. Pembahasan soal konsep Tauhid ini merupakan topik yang telah banyak dibahas para ulama di masa silam. Sekurang-kurangnya ada dua kelompok besar dari kalangan Ahlu al-Sunah wa al-Jamaah dengan pendekatan yang berbeda dalam membahas konsepsi tauhid ini, yaitu: Asy’ariyah dan Salafiyah.

    Tauhid Menurut Asy’ariyah

    Paparan Imam Al-Asy’ari mengenai konsep tauhid dapat dibagi ke dalam tiga aspek: dzat, shifat, dan af‘al. Dalam aspek dzat, Allah sebagai satu-satunya entitas yang tidak bermula dan tidak berakhir (qadim dan baqa). Hanya Allah yang menempati posisi eksistensi absolut (al-wajib al-wujud), sementara ciptaan-Nya hanya bersifat nisbi (al-mumkin al-wujud). Hal tersebut dapat terjadi karena menurut Al-Ghazali, Allah tidak tersusun atas atom (‘aradh) dan aksiden (jawhar) sehingga sangat mustahil disamai dan diserupai oleh makhluk-Nya.

    Dalam aspek shifat, kalangan Asy’ari menolak keras penggambaran (takyif) dan penyerupaan (tasybih) karena sifat Allah tidak seperti sifat makhluk, sebagaimana dzat Allah tidak seperti dzat ciptaan-Nya. Dalam tradisi ilmu kalam perkara ini disebut dengan tanzih, yakni menghindarkan Allah dari hal-hal yang menyerupai makhluk dan sifat manusia. Dalam bahasa al-Qur’an, kita kenal dengan ungkapan laisa ka mitslihi syai’un yang artinya tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.

    Dalam aspek af’al, kalangan Asy’ari mengatakan bahwa Allah telah menciptakan dan mengatur seluruh realitas alam semesta. Karena memiliki sifat qudrah dan iradah, Allah mengetahui persoalan-persoalan juz’iyyat, mengetahui segala rahasia yang disembunyikan, mengambil bagian dalam proses-proses kehidupan manusia, sehingga kekuasaan Allah atas makhluk-Nya begitu mutlak.

    BACA JUGA:   Kompilasi Fatwa MTT PP Muhammadiyah Seputar Puasa dan Ibadah Ramadhan

    Tauhid Menurut Salafiyah

    Paparan Salafiyah, terutama yang dikomandoi Ibnu Taimiyah, mengatakan bahwa konsepsi tauhid dari kalangan Asyariyah tidak lengkap. Karena mereka hanya membahas satu aspek dari tauhid yakni Rububiyah semata dan melupakan unsur Uluhiyah. Padahal, tauhid Uluhiyah merupakan esensi paling utama dari konsep tauhid sebab mengesakan Allah dalam hal ibadah. Dengan kata lain, persoalan ibadah harus benar-benar berlandaskan dalil Al Quran dan al Sunah agar tidak menyimpang.

    Bagi kalangan Salafi, seorang muslim yang bertauhid Uluhiyah telah secara otomatis melakukan tauhid Rububiyah, sedangkan orang kafir—bisa jadi—hanya Rububiyah. Singkatnya, orang-orang non muslim yang meyakini Allah sebagai pencipta, pemberi rizki, pengatur alam semesta, sekurang-kurangnya mereka telah memiliki tauhid Rububiyah. Namun Ibn Taimiyyah membatasinya bahwa kaum musyrikin Arab mengakui keesaan Allah SWT dalam menciptakan langit dan bumi, tetapi itu tidak mengeluarkan mereka dari kesyirikan karena mereka menyekutukan-Nya dalam ibadah.

    Selain Rububiyah dan Uluhiyah, Salafiyah turut mengenalkan tauhid al-asma’ wa al-shifat. Dalam memahami nama dan sifat Allah, haruslah menegasikan segala yang berlawanan dengan kemahasempurnaan Allah. Dengan tegas, nama dan sifat Allah harus bersandar pada prinsip tauqifi atau penetapannya berdasarkan Quran-Sunnah serta tidak memberi wewenang kepada akal manusia.

    Tauhid Menurut Muhammadiyah

    DI Muhammadiyah, persoalan akidah dibahas dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Kitab Iman sebagai keputusan Kongres Muhammadiyah ke-18 di Solo tahun 1929. Dalam putusan tersebut, Muhammadiyah sendiri tampaknya tidak ingin banyak terlibat dalam perkara ilmu kalam. Muhammadiyah ingin terlepas dari perdebatan teologis yang tidak produktif antara Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah, Salafiyah dan lainnya.

    Satu sisi, butir-butir tauhid yang dituntunkan oleh Muhammadiyah dalam HPT ini mirip dengan konsep 13 atau 20 sifat wajib bagi Allah khas Asy’ariyah. Namun, dengan catatan bahwa Muhammadiyah menghindari untuk membicarakan hal-hal yang tidak tercapai oleh akal, sehingga cukuplah berpikir mengenai makhluk-Nya untuk membuktikan kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya. Muhammadiyah juga menganggap bahwa sifat Allah tidak terbatas karena Allah itu Maha Mutlak tanpa adanya batasan.

    Di sisi yang lain, uraian Kitab Iman dalam HPT ini lebih mirip dengan cara penulisan Salafiyah, persoalan akidah dijelaskan melalui ayat-ayat dan hadis. Kitab Iman dibangun di atas landasan rukun Islam yang lima dan rukun iman yang enam dan diikuti dengan dalil-dalil yang meneguhkan keimanan dan keyakinan umat. Akan tetapi, penjelasan iman ini juga berbeda dengan kalangan Salafi, Ibnu Taimiyah dan pengikutnya yang membagi tauhid menjadi tiga bagian: Rububiyah, Uluhiyah dan asma’ wa sifat.

    Kesimpulan Hasil Muthala’ah

    1. Di kalangan orang Muhammadiyah, nampaknya tidak ada penolakan konsepsi tauhid dibagi menjadi tiga lapis: Rububiyah, Uluhiyah dan Asma’ wa Sifat. Namun dengan catatan, seseorang yang tidak beribadah kepada Allah dan beramal saleh sesuai dengan tuntunan Al Quran dan al-Sunnah, meskipun meyakini bahwa Allah pencipta, pemberi rizki, pengatur alam semesta, tetap dikategorikan sebagai individu yang tidak bertauhid alias kafir.

    2. Pada persoalan keberadaan Allah, warga Muhammadiyah berbeda pandangan. Satu pendapat mengatakan bahwa Allah berada di atas langit (QS. Al Mulk: 16) tepatnya bersemayam di atas ‘arsy (QS. Thaha: 5). Bahkan dalam Quran terkadang menggambarkan tentang ketinggian Dzat Allah (QS. Al-Ma’arij: 4). Pendapat lainnya mengatakan bahwa Allah tidak di atas melainkan ada di mana-mana dan begitu dekat dengan kita (QS. Qaf: 16 dan Al Baqarah: 186). Pandangan lainnya mengatakan bahwa keberadaan Allah itu bersifat transenden sekaligus imanen.
    ===

    Dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) persoalan akidah dikemukakan secara sederhana. Persoalan Akidah dibahas dalam Kitab Iman sebagai keputusan Kongres Muhammadiyah ke-18 di Solo tahun 1929. Di dalamnya dinyatakan bahwa setiap muslim wajib beriman kepada Allah sebagai al-Ilahul Haq, yang menciptakan segala sesuatu. Allah itu pasti dan wajib adanya (wajib al–wujud). Dialah yang pertama tanpa permulaan dan Maha Akhir tanpa penghabisan (al–awwalu bila bidayah wa al-akhiru bila nihayah).

    BACA JUGA:   Bacaan Shalat Sesuai HPT

    Al-Awwal atau yang pertama tanpa permulaan, sering disebut juga dengan sifat qidam dan berakhir tanpa penghabisan, sering juga disebut dengan baqa. Tiada sesuatu yang menyamai-Nya, atau biasa disebut Mukhalafatu lil Hawaditsi (berbeda dengan makhluk). Yang Esa tentang ketuhanan, sifat dan af’al-Nya, kadang disebut dengan wahdaniyah. Dan lain sebagainya.

    Di satu sisi, butir-butir tauhid yang dituntunkan oleh Muhammadiyah ini mirip dengan konsep 13 atau 20 sifat wajib bagi Allah khas Asy’ariyah. Namun, dengan catatan bahwa Muhammadiyah menghindari untuk membicarakan hal-hal yang tidak tercapai oleh akal, sehingga cukuplah berpikir mengenai makhluk-Nya untuk membuktikan kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya. Muhammadiyah juga menganggap bahwa sifat Allah tidak terbatas karena Allah itu Maha Mutlak tanpa adanya batasan.

    Di sisi yang lain, uraian Kitab Iman lebih mirip dengan cara penulisan Hanbali, persoalan akidah dijelaskan melalui ayat-ayat dan hadis. Kitab Iman dibangun di atas landasan rukun Islam yang lima dan rukun iman yang enam dan diikuti dengan dalil-dalil yang meneguhkan keimanan dan keyakinan umat. Akan tetapi, penjelasan iman ini juga berbeda dengan kaum salafi, Ibnu Taimiyah dan pengikutnya yang membagi kepada Rububiyah, Uluhiyah dan asma’ wa sifat.

    Adanya irisan dan kemiripan ijtihad Muhammadiyah dengan beragam kelompok menunjukkan bahwa Persyarikatan yang didirikan KH. Ahmad Dahlan tahun 1912 ini begitu terbuka dengan pluralitas aliran dalam Islam. Muhammadiyah tidak mengikuti suatu mazhab tetapi pada saat yang bersamaan tidak anti dengan pandangan mazhab. Pandangan mereka hanya sebatas pilihan, bukan sebagai keharusan.

    Nampaknya, Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah ingin terlepas dari perdebatan teologis yang tidak produktif antara Murji’ah, Khawarij, Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah dan lainnya. Muhammadiyah tidak ingin melupakan hal-hal yang lebih esensial dan nyata seperti menciptakan kesejahteraan umat dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
    ===

    Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Hamim Ilyas mengatakan bahwa rumusan akidah antara Muhammadiyah dan aliran teologi Asy’ariyah memiliki banyak persamaan. Hanya saja ada perbedaan nyata yaitu: dalam Asy’ariyah, akidah tauhid menjadi sistem kepercayaan spiritual, sementara dalam Muhammadiyah menjadi sistem kepercayaan etis.

    “Karena itu, Ahlil Haqqi wa Sunnah dalam Muhammadiyah pengertiannya menjadi penganut kebenaran yang membesakan dari ketidaksejahteraan, ketidakdamaian, dan ketidakbahagiaan dan pengikut sunnah generasi salaf yang mengembangkan kesalehan pribadi dan kesalehan sosial.”

    Selain ada persamaan dan perbedaan dengan Asy’ariyah, Muhammadiyah dengan gerakan Wahabi juga demikian. Persamaan Muhammadiyah dan Wahabi ialah keduanya menggunakan slogan ‘kembali kepada al-Quran dan al-Sunah’, tidak berafiliasi mazhab tertentu, dan penekanan terhadap ajaran tauhid yang murni. Sementara perbedaannya, Wahabi kerap kali mempraktekkan intepretasi teks keagamaan secara literal, tidak adaptif dengan konteks zaman, dan cenderung memilih pendapat yang sulit dengan alasan kehati-hatian (ihtiyat).

    “Akidah tauhid wahabi itu konservatisme untuk mewujudkan kehidupan yang puritan, tidak ada campuran dari yang lain dalam hampir segala hal. Kalau salafi jihadi, akidah tauhidnya itu revivalisme, yaitu untuk membuat umat Islam menjalani hidup sekarang ini seperti hidup yang dijalani pada zaman Nabi Saw, Sahabat, dan Tabiin,” kata Hamim.

    Salah satu ajaran Wahabi ialah anjuran agar perempuan tidak banyak keluar rumah. Mereka sangat membatasi peran perempuan di ruang publik. Hal tersebut lantaran mereka berkeyakinan bahwa perempuan pada masa kenabian hingga generasi tabiin hanya mengurusi hal-hal domestik rumah tangga semata. Artinya, perempuan tidak bisa menjadi pemimpin.

    Berbeda dengan Muhammadiyah, ‘Aisyiyah sebagai organisasi Islam dengan paham keagamaan yang moderat telah mencontohkan bagaimana seharusnya perempuan berkiprah di ruang publik. Mereka tidak hanya mengurusi rumah tangga, namun perempuan juga memiliki tanggung jawab yang sama dalam tugas-tugas sosial untuk pencerahan dan kesejahteraan umat manusia. Artinya dalam pandangan Muhammadiyah, perempuan boleh menjadi pemimpin.

    “Muhammadiyah itu sistem akidah tauhidnya yaitu sistem kepercayaan etis, sehingga tauhid berfungsi untuk kesejahteraan, kebahagiaan, dan kedamaian di dunia dan di akhirat. Hal ini tentu saja berbeda.”

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *