KHUTBAH IDUL FITRI – Membangun Manusia Berperadaban

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

    الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ جَعَلَ لِلْعِبَادِ يَوْمَ عِيْدٍ يَعُوْدُ عَلَيْهِمْ فِيْ كُلِّ سَنَةٍ وَ يَتَكَرَّرُ وَجَعَلَ لَهُمْ صَوْمَ رَمَضَانَ وَأَفْطَرَ.

    أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلٰهَ اِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ الْمَلِكُ الْأَكْبَرُ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ خَيْرُ الْخَلَائِقِ وَالْبَشَرِ. أَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الشَّافِعِ فِي الْمَحْشَرِ, وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ الْأَطْهَارِ

    أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ

    اَللهُ أَكْبَرُ. اَمَّا بَعْدُ

    قَالَ اللهُ تَعَالَى فِى الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

    اللهُ أَكْبَرُ, اللهُ أَكْبَرُ, اَللَّهُ اَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَاَصِيْلاً. اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ

    Jamaah Salat Idul Fitri rahimakumullah,

    Alhamdulillah, kita panjatkan puji dan syukur kepada Allah swt yang telah memberikan nikmat iman, islam, dan sehat wal afiat sehingga kita dapat menyelesaikan rangkaian ibadah ramadhan dan pada melaksanakan shalat Idul Fitri pada pagi hari ini.

    Shalawat dan salam, mari kita haturkan kepada Nabi Muhammad saw, juga kepada keluarganya, dan sahabatnya.

    Shalawat dan salam terlimpahkan bagi Nabi Muhammad, Rasul pembawa Risalah Islam sebagai misi pencerahan bagi umat manusia di seluruh persada bumi, juga kepada keluarganya, dan sahabatnya.

    اَللهُ اَكْبَرُ  اَللهُ اَكْبَرُ  وَللهِ الْحَمْدُ

    Jamaah Salat Idul Fitri rahimakumullah,

    Pagi hari ini kaum muslimin di segenap penjuru bumi hingga di negeri ini menunaikan Idul Fitri. Semua mengumandangkan takbir, tahlil, tasbih, tahmid, dan dzikir kepada Allah yang menggema ke seluruh penjuru negeri dan terhunjam dalam hati. Dengan berdzikir dilanjutkan shalat Idul Fitri yang khusyuk hingga ke relung hati itu dapat menjadi energi ruhani yang menghidupkan jiwa yang fithri untuk menjadi insan muttaqin nan sejati. Semoga kita yang menjalankan seluruh prosesi ibadah yang dituntunkan Nabi itu mendapat anugerah pencerahan diri sekaligus pahala di hadapan Ilahi Rabbi.

    اَللهُ اَكْبَرُ  اَللهُ اَكْبَرُ  وَللهِ الْحَمْدُ

    Jamaah Kaum Muslimin Rahimakumullah

    Baru saja kita segenap kaum muslimin selesai menunaikan shaum atau puasa Ramadhan disertai rangkaian ibadah lainnya selama satu bulan.

     

    Dalam Islam, puasa Ramadhan dan ibadah-ibadah lainnya, tidak berhenti pada ritual semata. Ibadah hakikatnya ialah “taqarrub ila Allah” atau mendekatkan diri kepada Allah dengan menjalankan segala perintah, menjauhi larangan, dan melaksanakan apa yang diizinkan-Nya sebagaimana disunnahkan oleh Rasulullah. Dari makna ibadah tersebut terbentuk kesalehan seorang muslim yang memiliki hubungan baik dengan Allah (habluminallah) sekaligus hubungan dengan sesama (habluminannas) dan lingkungannya, sehingga terpancar rahmat bagi semesta alam.

     

    Ibadah puasa bertujuan agar menjadikan orang beriman yang menjalankannya menjadi insan bertaqwa sebagaimana firman Allah:

    يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

    Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa.” (QS Al-Baqarah : 183)

     

    Oleh karena itu, di hari pertama setelah kita ditinggalkan bulan ramadhan ini ada baiknya kita bertanya pada diri kita sendiri, “Apa saja yang membekas dalam diri dengan puasa dan rangkaian ibadah lainnya selama satu bulan setiap tahun ini. Apakah kita sudah mendekati kriteria sebagai orang yang bertakwa?

     ليس العيد لمن لبس الجديد و لكنّ العيد لمن تقوئه يزيد

    Hari raya Idul fitri bukan bagi orang-orang yang mengenakan baju baru, tetapi bagi orang-orang yang takwanya bertambah).

    Yakni bagi mereka yang mempunyai kemauan, semangat, dan etos untuk terus memperbaiki tidak hanya kehidupan pribadi dan keluarga, tapi juga kehidupan sosial-kemasyarakatan, sosial-politik, berbangsa dan bernegara dengan landasan keagamaan yang otentik.

    Dalam QS Ali Imran: 134 Allah menyebut di antara ciri orang bertakwa ialah mereka yang senantiasa bersedia untuk berbagi dalam kondisi lapang maupun sempit, serta mampu menahan marah dan memberi maaf kepada sesama manusia.

    الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكَاظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ

    (yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. (QS Ali Imran: 134).

     

    Sedangkan di dalam (QS Al-Baqarah: 177) Allah juga mengingatkan kalau orang yang bertakwa itu selain beriman kepada Allah, kepada Malaikat, kepada Nabi,  iman Hari Akhir, dan menegakkan shalat, juga harus mereka yang berzakat, memberi kepada orang miskin, dan berbuat baik kepada sesama.

    BACA JUGA:   Khutbah Jumat - Gerhana Bulan Menurut Al-Quran dan Sains

    لَيْسَ الْبِرَّاَنْ تُوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَالْمَلٰۤىِٕكَةِ وَالْكِتٰبِ وَالنَّبِيّٖنَ ۚ وَاٰتَى الْمَالَ عَلٰى حُبِّهٖ ذَوِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِۙ وَالسَّاۤىِٕلِيْنَ وَفىِ الرِّقَابِۚ وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَ ۚ وَالْمُوْفُوْنَ بِعَهْدِهِمْ اِذَا عَاهَدُوْا ۚ وَالصّٰبِرِيْنَ فِى الْبَأْسَاۤءِ وَالضَّرَّاۤءِ وَحِيْنَ الْبَأْسِۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا ۗوَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُتَّقُوْنَ

    Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS Al-Baqarah: 177).

    اَللهُ اَكْبَرُ  اَللهُ اَكْبَرُ  وَللهِ الْحَمْدُ

     

    Jamaah Kaum Muslimin Rahimakumullah

    Orang yang berpuasa diharapkan akan memiliki kualitas kesalehan yang otentik dan menjadi pembentuk tindakan yang mulia (al akhlaq al karimah). Dengan kata lain, manusia yang bertakwa akan senantiasa menggunakan akal-budinya dengan baik agar tidak berperangai buruk seperti hewan, bahkan lebih buruk lagi, sebagaimana peringatan Allah dalam Al-Qur’an Al-A’raf 179:

     

    وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالإنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ (179)

     

     “Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah” (Q.S. Al-A‘rāf: 179).

     

    Memang, perilaku hewaniah itu kadang terlihat benar dan maju oleh alam pikiran dan teori ilmu pengetahuan, tetapi sejatinya salah kaprah sehingga merendahkan martabat dan kemuliaan manusia. Manusia modern yang semestinya membangun kehidupan dengan keadaban luhur, malah jatuh ke dalam sangkar-besi kemodernan yang dibangunnya sendiri, sehingga manusia menjalani kehidupan yang chaos.

     

    Alam pikiran dengan nalar rusak dapat memutarbalikkan kebenaran ilmu dan bahkan kehidupan yang benar menjadi salah atau disalahkan. Kemudian terjadi ironi, yang salah dibenarkan dan memperoleh dukungan luas, sementara yang benar disalahkan dan diketepikan.

     

    Jika merujuk pada QS Ali Imran 134, ibadah puasa idealnya juga harus semakin menyuburkan jiwa kasih sayang yang teraplikasikan dalam kebiasaannya untuk terus berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit dan bersedia memberi maaf orang yang berbuat salah kepadanya, bukan malah sebaliknya menjadi insan pengumbar amarah bukan penahan amarah. Jika tidak mau membantu sesama jangan bertindak semaunya.

    Jika tidak dapat memberi solusi atas masalah yang dihadapi, jangan menjadi bagian dari masalah dan mengabaikan masalah. Nilai kasih sayang antar manusia terhubung dengan kasih sayang Tuhan, sebagaimana hadits Nabi yang artinya:

     

    “Orang-orang yang penyayang itu akan dikasihi oleh Yang Maha Penyayang dan Yang Mahasuci lagi Mahatinggi, maka sayangilah makhluk yang ada di bumi niscaya kalian akan disayangi oleh makhluk yang ada di langit.” (H.R. ‘Abdullāh bin ‘Amr ra).

     

    Islam juga mengajarkan nilai “tarāḥum” atau welas asih dengan sesama secara praksis. Surah Al-Mā‘ūn misalnya. Ajaran welas asih dari Al-Mā‘ūn mendasarkan perjuangan hidup secara bersama sehingga yang kuat mau berbagi dengan yang lemah, bukan sebaliknya mengorbankan yang lemah. Mereka yang lemah pun tetap berbuat baik terhadap sesama.

    وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (7)

    “dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (Al-Ma’un: 7)

    Penderitaan akibat pandemi ini mestinya diletakkan dalam rasa kemanusiaan yang sempurna tentang pentingnya hidup “peduli dan berbagi” dalam bingkai nilai kasih sayang yang diajarkan Islam. Kyai Dahlan dengan cerdas dan orisinil mampu menerjemahkan ajaran welas asih dari Al-Mā‘ūn ke dalam pranata modern berupa wujud rumah sakit (hospital, ziekenhuis), rumah miskin (armeinhuis), dan rumah yatim (weeshuis).

     

    اَللهُ اَكْبَرُ  اَللهُ اَكْبَرُ  وَللهِ الْحَمْدُ

    Jamaah Kaum Muslimin Rahimakumullah

    Walau sudah kita jalani selama satu bulan, ada baiknya kita memahami ulang makna puasa yang telah kita jalani. Semoga dengan selalu mengingat makna puasa ini, hidup kita selalu dapat terkendali untuk terus berproses  menjadi manusia yang bertakwa.

    BACA JUGA:   HISAB AWAL BULAN RAMADHAN, SYAWAL DAN DZULHIJJAH 1445 H

    Puasa atau al-shaumu mempunyai makna dasarnya ’berhenti dari’ atau al-imsak, yaitu ’menahan diri’. Verbal syariah menahan diri dari makan, minum, dan pemenuhan kebutuhan biologis dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Sedangkan Makna hakikinya ’menahan diri dari hawa nafsu atas dunia’, yang sering menjerumuskan manusia pada cinta dunia melampaui batas, sehingga hidupnya jadi pemuja kesenangan (hedonis), pengejar kegunaan (pragmatis), dan pemburu kesempatan (oportunistis) dengan mengabaikan nilai-nilai utama kebenaran, kebaikan, dan etika.

     

    Energi rohaniah ibadah puasa terletak pada daya pengendalian diri (self-control) setiap insan Muslim yang berpuasa dari segala pesona duniawi agar tak menjadi pemburu kuasa dunia yang melampaui takaran. Dunia diperbolehkan untuk diraih dan dinikmati secukupnya, selebihnya dimanfaatkan untuk kemaslahatan hidup bersama.

     

    Urusan dunia, seperti meraih harta dan takhta, pun harus diikhtiarkan dengan cara baik dan diperuntukkan bagi kebaikan sehingga segala raihan duniawi itu menjadi bekal sekaligus jalan keutamaan menuju kebahagiaan hidup sejati di akhirat kelak. (QS Al-Qashas: 77).

    وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الأرْضِ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ (77)

    “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

    Ajaran puasa berbeda dengan tradisi pra-Islam, yakni sebagai ajaran ”pengekangan nafsu” dan bukan ”penebusan dosa”. Puasa dalam Islam ”merupakan tindakan ibadah yang sah untuk mengendalikan hawa nafsu”. Latar historisnya, bangsa jahiliah sebelum Islam dikenal rakus, mengumbar nafsu, dan kejahatan yang melampaui batas. Karena itu, perlu didekonstruksi bukan dengan anti-pemenuhan kebutuhan duniawi, yang diperlukan pembatasan atau pengendalian.

    Puasa merupakan jalan rohani membangun benteng kokoh di dalam diri setiap Muslim dari keliaran nafsu duniawi yang sarat pesona. Hasrat makan, minum, dan hasrat biologis merupakan gambaran simbolis dari segala nafsu dunia, menurut sufi ternama Jalaluddin Rumi bagaikan ”ibu dari semua berhala”.

    Segala petaka hidup bermula dari hawa nafsu primitif yang tak terkendali, yang mendorong manusia ingin menguasai dunia melampaui batasan. Korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kesewenang-wenangan, menguras alam, perang, dan berbagai kejahatan di muka bumi bermula dari hasrat berlebih akan kejayaan duniawi itu.

    Hawa nafsu dunia, seperti penguasaan harta, takhta, dan kuasa inderawi lainnya, jika tanpa rem spiritual tidak akan pernah berhenti. Laksana pesona gunung emas dalam ilustrasi hadis Nabi. Jika manusia meminta gunung emas pertama, setelah memperolehnya akan meminta yang kedua, setelah itu meminta gunung emas ketiga.

    اَللهُ اَكْبَرُ  اَللهُ اَكْبَرُ  وَللهِ الْحَمْدُ

    Jamaah Kaum Muslimin Rahimakumullah

    Selalu banyak ruang, alasan, pembenaran, sekaligus faktor pendukung bagi manusia untuk memenuhi hasrat duniawinya yang tak berkesudahan. Tuhan pun memberi label ”at-takatsur” bagi mereka yang rakus dunia itu, yang tiada akan berhenti kecuali ajal kematian memisahkannya.

     

    Karena itu,  ”Puasa amat cocok sebagai cara untuk mengendalikan dorongan nafsu hewani manusia, terutama di kalangan suku-suku bangsa yang masih setengah beradab”.

    Makna lainnya, tanda bangsa beradab ialah hidup bermartabat dan tidak rakus dalam memenuhi kebutuhan duniawi, serta memanfaatkan kecukupan kuasa dunia itu untuk hidup bermakna dan berfaedah menggapai derajat keutamaan.

    Titik tuju puasa agar setiap insan Muslim meraih puncak kualitas diri terbaik yakni menjadi al-muttaqun, orang-orang bertakwa (QS Al-Baqarah: 183). Di antara ciri bertakwa ialah memberi di saat lapang dan sulit, menahan marah, memberi maaf, serta tidak melakukan perbuatan buruk dan keji (QS Ali Imran: 134-135).

     

    Mereka yang lulus puasa ialah yang sukses menaklukkan jiwa primitifnya menuju kualitas diri yang secara rohaniah paripurna. Itulah puasa sebagai jalan terjal menuju pencapaian puncak rohaniah tertinggi yang tercerahkan, yakni spiritualitas luhur perpaduan harmonis antara nilai-nilai Ilahiah dan insaniah yang terpancar dalam segala kebajikan hidup di muka bumi.

    Puasa sebagai jalan rohani pengendalian hawa nafsu manakala dilakukan pada tingkat khusus (khawas al-khusus) melahirkan sikap futhuwah, kesatriaan diri. Ketika orang berpuasa diajak berseteru atau hal-hal buruk, dia akan menjawab ”inni shaimun”, aku sedang berpuasa.

    BACA JUGA:   KHUTBAH JUMAT - MARI BERPARTISIPASI DALAM PEMILU

     

    Cita-cita hidupnya naik kelas signifikan dari kegemaran meraih kesuksesan fisik-ragawi ke spiritualitas tertinggi (irfa’), yang mencerahkan semesta kehidupan bersama. Manusia berspiritualitas tinggi orientasi hidupnya bergerak dari homo sapiens ke homo deus (manusia berangkat dari sekedar satu spesies hewan menjadi makhluk berperadaban) untuk menjadi makhluk modern.

    اَللهُ اَكْبَرُ  اَللهُ اَكْبَرُ  وَللهِ الْحَمْدُ

    Jamaah Kaum Muslimin Rahimakumullah

    Dari sisi yang lain, puasa sejatinya merupakan energi rohaniah yang dahsyat untuk diproyeksikan membangkitkan kekuatan umat Islam agar menjadi khayra ummah di bumi nyata. Dimulai dari membangun kekuatan rohani sebagai basis utama, kemudian memancarkan perubahan alam pikiran, tindakan, dan karya atau amaliah yang berkemajuan sesuai dengan jiwa Islam.

     

    Islam yang membangkitkan kesadaran untuk maju meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat (QS Al Baqarah: 201).

    وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (201)

    Islam yang meletakkan takwa sepadan dengan kesadaran masa depan terdekat (dunia) maupun terjauh atau akhirat kelak (QS Al Hasyr: 18).

    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (18)

    “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

     

    Dasar rohani yang dibangun puasa Ramadan ialah terbentuknya insan yang bertakwa sebagai aktor yang rohaninya sempurna atau paripurna sebagai kekuatan penggerak kehidupan yang baik dan luhur. Baik secara vertikal (habluminallah) maupun horizontal (habluminannas). Hal ini sesuai dengan tujuan puasa agar pelakunya menjadi orang yang bertakwa, la’allakum tattaqun (QS Al Baqarah: 183).

     

    Takwa adalah puncak kualitas kepribadian dan sosok terbaik manusia yang berbasis pada iman dan kebaikan yang melampaui (QS Al Baqarah 177).

    Orang bertakwa itu mampu menahan amarah dan pemaaf sekaligus menjadi sosok terbaik (QS Ali Imran: 134).

    Orang bertakwa, baik sebagai pemimpin negara, pengusaha, politikus, pegawai, profesional, elite masyarakat, dan lebih-lebih pejabat serta tokoh agama, haruslah memiliki sifat nabi. Yaitu, sidik, amanah, tabligh, fatanah, dan uswah hasanah.

    Kesalehan dan keberagamaan orang takwa tidak disalahgunakan untuk meraih kepentingan-kepentingan duniawi yang rendahan. Serta menghalalkan segala cara yang tercela, baik atas nama pribadi maupun kroni dan golongan.

    Bermula dari kualitas individu muslim yang bertakwa kemudian bertransformasi secara kolektif menjadi umat terbaik. Dari pribadi takwa yang berkualitas tinggi terbentuk masyarakat dan kehidupan yang berkualitas utama, yakni umat terbaik di segala bidang kehidupan.

    Karena itu, agar puasa tidak berhenti menjadi ritual ibadah yang formalistis mengikuti rukun syariat semata, jadikan ibadah tahunan tersebut sebagai proses transformasi rohaniah yang aktual. Itu demi menuju terbentuknya umat Islam berkualitas dan tampil sebagai khalifah di muka bumi.

    Pada hari raya Idul Fitri ini, semoga kita senantiasa menjadi wakil Allah di muka bumi yang senantiasa menyebar rahmat dan menghalau mudarat.

    Akhirnya, mari berdo’a kepada Allah SWT agar seluruh amal ibadah kita diterima Allah, diampuni dosa dan kesalahan, serta selalu berada di jalan Allah yang lurus untuk meraih ridla dan karunia-Nya.

     

    DOA

    بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

    اللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمُسْلِمَاتِ وَالمُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ الاَحْيِاءِ مِنْهُمْ وَالاَمْوَاتِ اِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَاتِ فيَا قَاضِيَ الحَاجَاتِ

    اَللهُمَّ اِنَّا نَسْئَلُكَ سَلاَمَةً فِى الدِّيْنِ وَعَافِيَةً فِى الْجَسَدِ وَزِيَادَةً فِى الْعِلْمِ وَبَرَكَةً فِى الرِّزْقِ وَتَوْبَةً قَبْلَ الْمَوْتِ وَرَحْمَةً عِنْدَ الْمَوْتِ وَمَغْفِرَةً بَعْدَ الْمَوْتِ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

    رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنتَ ٱلْوَهَّابُ

    رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

    اللَّهُمَّ أَعِزَّالْإِسْلَامَا وَالْمُسلِمِين

    وَجْمَعْ كَلِمَةَ الْمُسْلِمِينَ عَلَى الْحَقِّ يَا رَبَّ الْعَلَمِينَ

    اَللَّهُمَّ أَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِنَا كَمَا أَلَّفْتَ بَيْنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنْصَارِ

    اَللَّهُمَّ رَبَّنَا تَـقَـبَّلْ مِنَّا صَلاَتَنَا… وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ

     وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ, رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

    رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

    سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ  وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

    وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

     

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *