Khutbah Jum’at: Empat Nilai Dasar Beragama

    اَلْـحَمْدُ لِلّهِ الَّذِيْ نَـحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ،

    أَشْهَدُ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُـحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ لاَنَبِيَّ بَعْدَهُ

    وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ نَبِيِّنَا مُحَمَّد وَعَلَى اَلِهَ وَ اَصْحَبِهَ وَمَنْ وَّالَاهُ اَمَّا بّعْدُ فَيَاعِبَدَاللهِ أُوْصِيْكُمْ وَأِيَّايَ بِتَقْوَى االلهِ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَدْ فَازَالْمُتَّقُوْنَ

    Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah

    Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam. Kita sebagai hamba Allah harus senantiasa meningkatkan keimanan dan berharap ampunan dari Allah. Semoga segala amal ibadah yang kita perbuat dapat diterima Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Shalawat dan salam semoga tercurah pada Nabi Muhammad SAW, teladan umat Islam yang senantiasa menjunjung kemanusiaan, yang perangai-perangainya dapat dijadikan kompas moral kehidupan, sikapnya yang sidik, amanah, tabligh, dan fathanah dapat menjadi mata air keteladanan yang mencerahkan semesta.

    Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah

    Hari-hari ini kehidupan beragama hadir tanpa spiritualitas. Karena kehidupan beragama kita hanya berisi pengulangan tanpa penghayatan mendalam atas ajaran-ajaran Islam sehingga tidak menyentuh kedalaman kalbu manusia. Terkadang salat yang kita kerjakan seperti hanya sebatas yang bersangkut paut dengan hukum-hukum tentang syaratnya, rukunnya, sah dan batalnya saja. Kita tidak lebih laiknya mesin yang diprogram untuk menegakan salat tanpa merasakan kesan setelahnya.

    Karenanya, dalam menjalankan agama, jangan sampai didasarkan atas suatu konstruksi pemikiran yang sempit dan koridor-koridor normatif yang serba membatasi. Melainkan harus diisi dengan nilai-nilai agama yang universal dan merespon tantangan terkini. Terdapat empat nilai yang paling esensial dalam beragama.

     

    Pertama, al-Tawhid (tauhid).

    Nilai dasar tauhid mengajarkan kepada kita bahwa satu-satunya Wujud Mutlak adalah Allah, Dia-lah satu-satunya entitas yang tidak bermula dan tidak berakhir (qadim dan baqa). Sedangkan manusia dan segala makhluk-Nya adalah kenyataan yang masa kehidupannya tak lebih dari dua atom perjalanan waktu karena keberadaan mereka yang senantiasa hancur (fana). Yang fana adalah semesta, Allah Swt abadi.

     

    Nilai tauhid pula menjadi dasar seluruh konsep dan aktivitas umat Islam, baik ekonomi, politik, sosial maupun  budaya. Hakikat tauhid adalah penyerahan diri yang bulat kepada kehendak Ilahi, baik menyangkut ibadah maupun muamalah, dalam rangka menciptakan pola kehidupan yang sesuai kehendak Allah. Jadi salat, hidup, mati, itu semuanya kita orientasikan hanya kepada Allah dan karena Allah. Sebagaimana Firman Allah SWT:

    قُلْ اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ

    Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam (QS. Al-An’am: 162)

    Tauhid tidaklah dimaksudkan sebagai doktrin keagamaan dalam pengertian kepercayaan (belief), kewajiban (obligation), atau larangan (prohibition). Tapi pembentuk prisma pandangan hidup yang menurunkan gagasan-gagasan mulai dari etika, moral, pendidikan, maupun politik.

     

    Salah satu ungkapan yang sangat masyhur di kalangan praktisi tasawuf Islam dari dahulu hingga sekarang,  bernama Yahya bin Muadz Ar-Razi adalah

    ُمَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّه

    Artinya, “Barang siapa yang mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Tuhannya.”

     

    Kedua, al-Ittiba’ (mengikuti).

    Nilai dasar beragama ini mengemukakan tentang pentingnya setiap Muslim selalu menaati seluruh larangan dan perintah Allah Swt sekaligus meneladani dan mengikuti Rasulullah Saw.

    Agama Islam dibangun di atas wahyu dan dalil yang shahih, bukan akal dan pendapat. Maka jika datang suatu perintah ataupun larangan dari Kitabullah atau sunnah (hadits) Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam, wajib bagi menerimanya dan bersegera untuk menerapkannya dengan melaksanakan perintah atau menjauhi larangan. Oleh karena itu dahulu para salaf rahimahumullah berjalan mengikuti nash-nash. Mereka menghukumi seseorang di atas jalan yang benar selama dia mengikuti atsar.

    Zuhri berkata, “Risalah datangnya dari Allah, kewajiban Rasul SAW  adalah menyampaikan dan kewajiban kita adalah menerimanya.”

    Ketika menjelaskan perkataan Ath-Thahawi, “Telapak kaki Islam tidak akan tegak kecuali di atas permukaan menerima dan pasrah,” Ibnu Abil ‘Izz berkata, “Yaitu tidak akan kokoh keislaman seseorang yang tidak menerima dan tunduk kepada nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah, tidak menolaknya dan tidak mempertentangkannya dengan pendapat, akal dan logikanya.”

    Di dalam Al Quran terdapat banyak ayat yang memerintahkan kaum Muslim untuk ittiba Nabi Saw agar hidupnya selamat di dunia dan akhirat. Allah Swt berfirman:

    BACA JUGA:   Evaluasi Amal Setiap Hari

    قُلْ اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ ۚ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْكٰفِرِيْنَ

    Katakanlah (Muhammad), “Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir (Ali Imran ayat 32)

    وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

    “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha terhadap mereka dan mereka ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka Surga-Surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemeangan yang besar.” [At-Taubah/9:100]

    Ayat tersebut sebagai hujjah bahwa manhaj para Shahabat ridhwanullahu ‘alaihim jami’an adalah benar. Dan orang yang mengikuti mereka akan mendapatkan keridhaan dari Allah Jalla wa ’Ala dan disediakan bagi mereka Surga. Mengikuti manhaj mereka adalah wajib atas setiap Mukmin. Kalau mereka tidak mau mengikuti, maka mereka akan mendapatkan hukuman dan tidak mendapatkan keridhaan Allah Jalla wa ’Ala dan ini harus diperhatikan.

    يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا

    Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (An-Nisa’ Ayat 59).

    Posisi ittiba kepada Allah dan Rasul-Nya mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam. Ittiba dapat menjadi syarat diterimanya amal, bukti kebenaran cinta seseorang kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, serta menjadi sifat utama orang-orang yang shalih.

    Beberapa tingkatan untuk mencapai ittiba.

    Pertama, ittiba dimulai dengan meninggalkan semua larangan Allah dan mengerjakan semua perintah-Nya.

    Kedua, menjaga hal-hal sunnah dan meninggalkan hal-hal makruh.

    Ketiga, menerapkan adab dan niat mengikuti sunnah Rasulullah dalam hal-hal mubah.

    Untuk mencapai tingkatan ini, seorang Muslim harus gigih memerangi hawa nafsunya. Ini dilakukan agar seseorang dapat mengikuti Allah dan Rasul-Nya dengan rasa nikmat serta nyaman di hati.

     

    Ketiga, al-Taysir (kemudahan).

    Nilai dasar yang ketiga ini merupakan salah satu prinsip penting dalam Islam yang diberikan Allah agar manusia tetap bersemangat dan tekun dalam menjalankan ajaran agama, terutama dalam situasi sulit. Dalam kaidah usul fikih dinyatakan setiap kesulitan, pada dasarnya, menuntut kemudahan (al-masyaqqah tajlib al-taysir).

    Dalam hal ini, pemahaman terhadap kaidah Kesulitan Melahirkan Kemudahan adalah mutlaq diperlukan untuk melakukan suatu ijtihad atau pembaharuan pemikiran. Hadirnya kaidah fiqh ini, dimana Kesulitan Melahirkan Kemudahan membuktikan bahwa agama Islam dengan segala perangkatnya sangat memperhatikan hal-hal perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik kebutuhan sosial maupun ekonomi. Hal ini dapat dibuktikan ketika Alloh Swt membolehkan kaum Muslimin untuk berinteraksi sekaligus bertransaksi dengan kaum yang non-Muslim, bahkan Alloh Swt memberikan keleluasaan kepada para mukalaf dalam menentukan aktifitas ekonominya yang disesuaikan dengan kadar kemampuannya. Akan tetapi dengan demikian kaidah yang hampir Qath’i ini yaitu masyaqqah dibatasi oleh syariat guna menjaga originalitas kemaslahatan manusia dari aturan yang dibuat oleh sang pencipta.

    وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

    “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al-Hajj [22]: 78). 

    Salah satu contoh kemudahan dalam beragama disebut dalam QS. Al-Baqarah: 185, yang berbunyi:

    شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗ وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

    Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur (QS. Al-Baqarah: 185).

    Dengan prinsip kemudahan ini pula, tidak semua orang diwajibkan berpuasa. Namun secara umum terdapat dua cara menebus utang puasa, yaitu: qadla dan fidyah (QS. Al Baqarah: 184).

    BACA JUGA:   KHUTBAH JUMAT - MARI BERPARTISIPASI DALAM PEMILU

    Adanya berbagai kemudahan dalam ajaran Islam ini agar memastikan umat Islam dapat menjalankan agama tanpa susah payah dalam dimensi ruang dan waktu, dan mendorong agar rajin menjalankan agama, lantaran bisa dilakukan dengan mudah dan tanpa kesulitan. Tidak heran pula bila sekelas ulama besar kontemporer Yusuf Qaradlawi dalam kitab Al-Ijtihad fi al-Syariati al-Islamiyyah menegaskan bahwa prinsip yang melandasi hukum Islam adalah taysir atau kemudahan.

    Melaksanakan rukhsah di masa sulit bukan berarti rendahnya kualitas iman seseorang, melainkan cara Islam memberikan solusi alternatif berdasarkan kemudahan dan kemasalahatan.

     

    Keempat, nilai mashlahat.

    Selain taysir, prinsip utama lainnya dalam Islam adalah maslahat. Lawan sepadan dari masalahat adalah mudlarat. Hal tersebut berdasarkan hadis Nabi yang diriwayatkan Ahmad menyebut bahwa laa dlirara wa laa dlirara¸ tidak mudlarat dan memudaratkan. Al-Ghazali dalam kitab Mushtasfa min Ilm al-Usul berpendapat bahwa relasi yang terbangun antara syariat dengan istislah (kemaslahatan) sangat erat sekali. Menurut Imam al Ghazali maslahah adalah upaya memelihara tujuan hukum Islam, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda.

    Setiap hal yang dimaksudkan untuk memelihara tujuan hukum Islam yang lima tersebut disebut maslahah. Sebaliknya, setiap hal yang merusak atau menafikan tujuan hukum Islam yang lima tersebut disebut mafsadat, yang oleh karena itu upaya menolak dan menghindarkannya disebut maslahah.

     

    Sesungguhnya tujuan pensyariatan hukum adalah untuk merealisir kemaslahatan dan menolak timbulnya kerusakan dalam kehidupan manusia. Maslahah mursalah merupakan dalil hukum untuk menetapkan hukum atas persoalan-persoalan baru yang secara eksplisit tidak disebutkan di dalam al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbûlah.

    Maslahah Mursalah berarti prinsip kemaslahatan yang dipergunakan untuk menetapkan suatu hukum Islam. Juga dapat berarti, suatu perbuatan yang mengandung nilai maslahat atau bermanfaat dan menolak atau mencegah mafsadat         ( جلب المصالح ودرء المفاسد ).

    Maslahah Mursalah merupakan bagian dari syariat yang tidak boleh dikesampingkan. Meskipun ia tidak disebutkan dalam nash secara tekstual, tapi secara substansial ia dibutuhkan manusia, lebih-lebih yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan pokok (Dzaruriyyah) mereka. Oleh karena itu, maslāhah mursālah merupakan salah satu dasar tasyri’ yang penting dan memungkinkan untuk melahirkan nilai-nilai kebaikan jika para ahli mampu mencermatinya secara tajam dalam kaitannya dengan ilmu syariat.

     

    Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa maslāhah mursālah itu difokuskan terhadap lapangan masalah yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam Alquran dan sunnah yang menjelaskan hukum- hukum yang ada penguatnya melalui suatu i’tibār. Juga difokuskan pada hal- hal yang tidak didapatkan adanya ijma’ atau qiyas yang berhubungan dengan kejadian tersebut.

    Contoh Maslahah Mursalah

    Adapun beberapa contoh masalah yang menggunakan ketentuan hukum berdasarkan maslahat yaitu antara lain:

    1. Sahabat mengumpulkan Alquran dalam satu mushaf alasannya semata- mata karena maslahat, yaitu menjaga Al-qur’an dari kepunahan atau kehilangan kemutawatiranya karena meninggalnya sejumlah besar penghapal Al-quran dari generasi sahabat.
    2. Khulafau ar-Rasyidin menetapkan keharusan menanggung ganti rugi kepada pada para tukang. Padahal menurut hukum asal, bahwasanya kekuasaan mereka didasarkan atas kepercayaan. Akan tetapi ternyata seandainya mereka tidak dibebani tanggung jawab mengganti rugi, mereka akan berbuat ceroboh dan tidak memenuhi kewajibannya untuk menjaga harta benda orang lain yang berada dibawah tanggungjawabnya.
    3. Umar bin Khattab RA sengaja menumpahkan susu yang dicampur air guna memberi pelajaran kepada mereka yang berbuat mencampur susu dengan air. Sikap Umar itu tergolong dalam kategori maslahah, agar mereka tidak mengulangi perbuatannya lagi.
    4. Diperbolehkannya mengangkat seorang penguasa mafdhūl (bukan yang terbaik). Penolakan akan bai’at dikhawatirkan berakibat timbulnya kemudharatan, kerusakan, kegoncangan serta kekosongan pemerintah.
    5. Apabila uang kas negara mengalami defisit, dan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pembiayaan tentara, maka bagi pemerintah diperbolehkan menarik pungutan wajib kepada orang- orang kaya untuk menutupi kebutuhan mereka yang mendesak, sampai baitul mal mendapatkan masukan uang atau kebutuhan mereka tercukupi.
    6. Apabila keadaan serba haram menggejala dan melanda diseluruh dunia atau pada suatu daerah tertentu yang penduduknya mengalami hambatan untuk pindah kedaerah lain, dan mereka sulit mendapat lapangan pekerjaan yang baik (halal) dan terdesak oleh kebutuhan yang melebihi dari sekedar mempertahankan hidup, maka bagi mereka diperbolehkan secara terpaksa untuk memasuki dan menerima lapangan pekerjaan yang buruk demi menolak darurat dan menutupi hajat (kebutuhan).
    7. Pencatatan berbagai aktivitas transaksi di lembaga-lembaga pemerintahan, perkantoran dan Pengadilan menjadi alasan atau ilat hukum terwujudnya kemaslahatan memelihara dan menjamin hak-hak terutama pada masa modern ini yang telah muncul berbagai masalah muamalah yang tidak jarang menimbulkan kecurangan dan kurangnya kepercayaan, misalnya, keharusan pencatatan akad nikah (Buku Nikah) dan perceraian di laksanakan di Pengadilan Agama dibuktikan dengan Akta Cerai.
    8. Penggunaan metode hisab daripada metode rukyat untuk penyatuan kalender Islam global yang memberi maslahah berbagai ritual ibadah, misal haji.
    9. Tuntunan Beribadah dimasa pandemi Copid-19 seperti, mengganti Sholat Jum’at dengan sholat Dzuhur, meninggalkan sholat Jum’at bagi Muslim yang terpapar pandemi , tidak melaksanakan Sholat berjama’ah di Masjid, menutup sementara masjid, menggunakan masker dalam sholat, menggunakan hand sanitizer, seperti dibulan Ramadhan sekarang dengan tidak melakukan Buka puasa Bersama, tidak melakukan Sholat Taraweh dan Witir Berjama’ah di Masjid cukup dengan keluarga di rumah. Tidak melakukan I’tikaf di Masjid, teknis mengeluarkan Zakat Fitrah dan mal dengan mengoptimalkan penjemputan oleh amilin, meniadakan pelaksanaan Idul fitri dan tradisi berma’afan secara langsung bersentuhan, Menunda pelaksanaan Resepsi dan aqad nikah, Pola pengurusan jenazah yang terpapar pandemi, membatasi Interaksi sosial di Masa pandemi ( Work From Home, Tidak boleh Mudik, Kedermawanan, memaksimalkan penggunaan Kas Masjid untuk Penanggulangan Covid-19, dll).   Semuanya ini merupakan bentuk Ijtihad yang dilakukan oleh Ulama dan Ulil Amri di Indonesia untuk upaya lahiriyah memutus mata rantai penyebaran wabah yang akan menimbulkan kemadlaratan bagi dirinya dan kemadlaratan bagi orang lain (la dharar wa la dhiror) artinya hal tersebut memperioritaskan keselamatan diri dan keselamatan bersama (fiqih al-awlawiyat).
    BACA JUGA:   KHUTBAH JUMAT - MANFAAT INTROSPEKSI DIRI

     

    Adanya kemaslahatan dalam prinsip ajaran Islam menandakan bahwa penderitaan merupakan sesuatu yang harus ditinggalkan. Sebab Islam tidak mengajarkan pencapaian prestasi spiritual melalui penderitaan. Allah memang memberikan penderitaan berupa sedikit ketakutan, kelaparan, dan kekurangan harta, akan tetapi hal itu untuk mengangkat derajat manusia, sebagaimana dalam QS. Al Baqarah ayat 155 yang berbunyi:

    وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ

    Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar (QS. Al Baqarah: 155).

    بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ. فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

     

    Khutbah Kedua

     

    الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ هَدَانَا لِهذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ الْمُبِيْنُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ صَادِقُ الْوَعْدِ الْأَمِيْنُ، اللّهُمَّ فَصَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، أَمَّا بَعْدُ، فَأُوْصِيْنِي وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ حَقَّ تُقَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ،

    إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَاأَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَقَرَابَتِهِ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّاتِهِ أَجْمَعِيْنَ

    اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ وَيَا قَاضِيَ الْحَاجَاتِ.

    ربنا ظلمنا أنفسنا وإن لم تغفر لنا وترحمنا لنكونن من الخاسرين

    ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا ربنا إنك رؤوف رحيم

    ربنا لا تزغ قلوبنا بعد إذ هديتنا وهب لنا من لدنك رحمة إنك أنت الوهاب

    ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار

    وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين

    عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

     

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *