Oleh: M. Danusiri (Pleno PDM Kota Semarang)
Amanah merupakan dambaan setiap umat karena dengannya umat menjadi aman, tenteram, sejahtera, dan bahagia. Akantetapi antara das sein (yang seharusnya) dan das solen (yang senayatanya) sering tidak seirama. Amanah nyaris merupakan istilah teknis menunjuk kepada siapapun yang menjadi pemimpin, penguasa, dan pejabat meskipun berlaku bagi manusia kebanyakan dalam urusan yang secara sosiologis hanya bernilai sepele, umpama titipan untuk menyampaikan surat undangan rapat di tingkat RT.
Dalam urusan kenegaraan, amanah dilawankan dengan istilah korupsi, penggelapan, mark up, sunnat, dan penyelewengan kewenangan. Jika suatu negara dikenal karena korupsinya, di situlah amanah menjadi barang langka. Tentu berbagai gejolak merebak di mana-mana. Kalaupun bisa direpersi oleh penguasa, sebenarnya hanyalah menjadi api sekam. Pada saat yang tepat pasti baraapi itu mengobar dan memberangus apa saja yang dilewatinya. Kerusakan fasilitas umum, saling menculik dan membunuh tidak bisa dilewatkan. Negara benar-benar chaos. Menurut sabda Nabi, ulama pun ternyata juga ada yang tidak amanah. Demikian sabda beliau:
حَدَّثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدِيثَيْنِ رَأَيْتُ أَحَدَهُمَا وَأَنَا أَنْتَظِرُ الْآخَرَ حَدَّثَنَا أَنَّ الْأَمَانَةَ نَزَلَتْ فِي جَذْرِ قُلُوبِ الرِّجَالِ ثُمَّ عَلِمُوا مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ عَلِمُوا مِنْ السُّنَّةِ وَحَدَّثَنَا عَنْ رَفْعِهَا قَالَ يَنَامُ الرَّجُلُ النَّوْمَةَ فَتُقْبَضُ الْأَمَانَةُ مِنْ قَلْبِهِ فَيَظَلُّ أَثَرُهَا مِثْلَ أَثَرِ الْوَكْتِ ثُمَّ يَنَامُ النَّوْمَةَ فَتُقْبَضُ فَيَبْقَى أَثَرُهَا مِثْلَ الْمَجْلِ كَجَمْرٍ دَحْرَجْتَهُ عَلَى رِجْلِكَ فَنَفِطَ فَتَرَاهُ مُنْتَبِرًا وَلَيْسَ فِيهِ شَيْءٌ فَيُصْبِحُ النَّاسُ يَتَبَايَعُونَ فَلَا يَكَادُ أَحَدٌ يُؤَدِّي الْأَمَانَةَ فَيُقَالُ إِنَّ فِي بَنِي فُلَانٍ رَجُلًا أَمِينًا وَيُقَالُ لِلرَّجُلِ مَا أَعْقَلَهُ وَمَا أَظْرَفَهُ وَمَا أَجْلَدَهُ وَمَا فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةِ خَرْدَلٍ مِنْ إِيمَانٍ وَلَقَدْ أَتَى عَلَيَّ زَمَانٌ وَمَا أُبَالِي أَيَّكُمْ بَايَعْتُ لَئِنْ كَانَ مُسْلِمًا رَدَّهُ عَلَيَّ الْإِسْلَامُ وَإِنْ كَانَ نَصْرَانِيًّا رَدَّهُ عَلَيَّ سَاعِيهِ فَأَمَّا الْيَوْمَ فَمَا كُنْتُ أُبَايِعُ إِلَّا فُلَانًا وَفُلَانًا
Rasulullah saw menceritakan kepada Kami dua kejadian. Satunya betul-betul telah kulihat, dan satunya masih kutunggu-kutunggu. Beliau menceritakan kepada kami. “Diawal mula amanat diturunkan dalam relung hati para hamba, kemudian mereka tahu Alquran dan tahu Sunnah. Beliau menceritakan kepada Kami tentang diangkatnya amanah. Beliau bersabda: “Seseorang tidur nyenyak dan amanat dicabut dari hatinya sehingga bekasnya bagaikan bekas perjalanan. Dia tidur nyenyak, amanat dicabut kembali dan bekasnya bagaikan kutu di tangan, seperti baraapi yang digelindingkan di kakimu sehingga nampak memar (beram-beram) dan kau lihat nampak memar (beram-beram) padahal sebenarnya tidak mengapa. Kontan manusia berbondong-bondong berbaiat, dan nyaris tak seorangpun menunaikan amanat. Selanjutnya ada berita: ‘Di Bani Fulan bin Fulan ada laki-laki terpercaya’. Di katakan kepada Laki-laki tadi; ‘Alangkah bijaknya dia, alangkah cerdasnya dia, alangkah pemberaninya dia, padahal sama sekali tak ada setitik iman pun dalam hatinya. Telah berlalu suatu masa bagiku yang aku tidak peduli siapa diantara kalian yang berbaiat, sebab jikalau ia muslim, kemuslimannya menuntunnya kepadaku, dan jikalau ia nashrani, pemungut pajaknya akan menuntunnya kepadaku, adapun hari ini, aku tidak membai’at selain si ‘fulan’ dan fulan (HR. Bukhari: 6016).
Menyimak hadis ini dapat diketahui bahwa di suatu masa, ada orang yang bisa disebut ulama kharismatik karena kealimannya. Akan tetapi, menurut Rasulullah ulama tersebut nihil iman. Penyebabnya doyan tidur. Tentu berbagai alasan antara lain kesehatan. Ulama tipe demikian ini biasanya penjilat kekuasaan, orientasinya amplop, menciptakan berbagai ritual dengan bungkus amalan keutamaan, dan membangun opini yang kedengarannya indah, sinergitas antara ‘ulama’ wal umara’. Penguasa sangat nyaman mengenai keberadaan ulama’ ini karena tidak ‘mengganggu sepak terjang keculasan mereka.
Secara ideologis, ulama oportunisme kemungkaran penguasa sangat buruk akibatnya. Di dunia keluar dari umat Muhammad. Beliau bersabda:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ حَلَفَ بِالْأَمَانَةِ فَلَيْسَ مِنَّا
(Barangsiapa yang bersumpah dengan amanah, maka bukan dari golongan kami (HR. Abu Dawud, 2831). Di akhirat, dia amat celaka.
Demikian Rasul bersabda:
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللَّهُ رَعِيَّةً فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ إِلَّا لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
(Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; “Tidaklah seorang hamba yang Allah beri amanat kepemimpinan, namun dia tidak menindaklanjutinya dengan baik, selain tak bakalan mendapat bau surga (HR. Buhari: 6617).
Melihat kenyataan budaya pemimpin culas dan ulama su’ di negri konoha menggiring pada pernyataan bahwa ulama sejati hanya bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Ulama semacam ini biasanya teraleniasi dari percaturan sosial, bahkan terdeskriminasi sebagai, intolerans, radikal, dan terorisme. Sebenarnya, yang terjadi adalah maling teriak maling.